Selasa, 10 Juni 2014

Mengelolah keuangan dalam Krisis

Mengelola Keuangan Menghadapi Gejolak Ekonomi

gejolak ekonomi
Buat yang punya simpanan di saham atau reksadana saham, pasti dalam kondisi panik atau paling tidak resah, menyaksikan anjloknya harga saham di bursa dan merosotnya nilai tukar rupiah beberapa minggu ini. Khawatir harga saham yang terjun bebas akan memangkas nilai investasi yang digunakan untuk dana pendidikan anak dan dana pensiun. Bagaimana nasib pendidikan anak-anak nanti,  apakah dana pensiun akan cukup kalau nilai investasi turun terus. Ini pertanyaan – pertanyaan yang banyak muncul. Semuanya berujung pada bagaimana mengelola keuangan dalam kondisi gejolak ekonomi?
Sebelum itu, saya ingin menekankan bahwa gejolak ekonomi adalah sebuah keniscayaan dalam suatu perekonomian. Tidak ada ekonomi di dunia ini yang bebas atau kebal dari krisis ekonomi. Semuanya pasti pernah dan akan mengalami serangan krisis ekonomi suatu saat nanti.
Dalam teori ekonomi makro, perekonomian dikatakan mengalami siklus. Tidak mungkin booming terus, tetapi juga tidak mungkin krisis terus.
Indonesia paling tidak sudah dua kali mengalami krisis ekonomi, tahun 1998 dan 2008, dimana pasar saham dan nilai rupiah anjlok drastis. Namun, dalam dua periode gejolak tersebut, ekonomi kembali bangkit, tidak hanya ke titik awal (sebelum krisis) tetapi ke level yang lebih tinggi lagi.
Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengelola keuangan supaya selalu siap menghadapi siklus dalam ekonomi. Paling tidak terdapat empat hal yang perlu diperhatikan.

1. Jangan Panik dalam Mengelola Keuangan

Dalam kondisi gejolak, siapa sich yang tidak panik. Apalagi yang dipertaruhkan adalah aset pribadi, dana pendidikan dan dana pensiun yang implikasinya amat penting buat kita dan keluarga.
Setuju, panik itu manusiawi. Tetapi, kondisi panik tidak menguntungkan karena keputusan yang diambil cenderung terburu-buru dan prone-error, yang justru dapat merugikan keuangan Anda.
Supaya tidak panik, bagaimana? Anda harus melihat gejolak ekonomi dalam perspektif yang tepat. Gunakan data – data historis sebagai pijakan menganalisa krisis karena data relatif objektif dibandingkan persepsi dan opini yang cenderung subjektif. Dengan melihat data, kita belajar apakah tindakan yang diambil sudah tepat atau belum.
Meskipun sudah 15 tahun yang lalu, masih segar di ingatan tahun 1998, sebagai fresh graduate dan baru bekerja,  saya menyaksikan harga saham Astra Internasional (salah satu perusahaan terbesar di bursa) jatuh tanpa ampun dan menyentuh level terendah di kisaran Rp 600 sd Rp 800 per lembar. Saat itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indikator harga – harga saham di bursa efek, meluncur mencapai level terendah di 256.83 pada Sept 1998 atau turun 65% dari level 731,62 di awal Juli 1997.
Tahun 2008, akibat dampak dari gejolak di ekonomi Amerika Serikat, IHSG jatuh curam. Dalam waktu 10 bulan, awal Januari sampai akhir Oktober dalam tahun yang sama di 2008, harga – harga saham anjlok 57% dari level tertinggi IHSG 2,610 ke IHSG 1,111.
Dalam dua kejadian itu, 1998 dan 2008, yang meskipun berjarak 10 tahun lamanya, reaksi yang muncul sama. Kondisi panik muncul dimana-mana dan banyak yang tanpa pikir panjang menjual saham atau mencairkan reksadana saham dalam keadaan rugi yang tidak kecil. Melakukan apa yang disebut cut-loss. Khawatir nilai investasi sahamnya tergerus habis.
Apakah cut-loss langkah yang tepat?
mengelola keuangan
Berikut data IHSG selama periode krisis di 1998, dari 1997 sampai akhir 2000 (sumber data IHSG: Yahoo Finance). Point A adalah titik terendah IHSG saat itu, kelihatan jurang yang dalam.
Namun, hanya dalam waktu tidak kurang dari 2 tahun, tepatnya di akhir 2000, IHSG sudah pulih ke level sebelum krisis.
mengelola keuangan
Hal yang sama terjadi di krisis 2008. Dalam periode IHSG 2007 – 2010, point B adalah titik terendah dimana banyak yang melakukan aksi jual atau cut-loss. Tidak sampai 2 tahun, IHSG sudah kembali bertengger di tingkat sebelum krisis, tepatnya di Januari 2010 (krisis Oktober 2008).
Kesimpulannya, jika panik dan melakukan cut-loss, Anda akan mengalami kerugian yang tidak kecil.
Recovery pasar berlangsung dengan cukup cepat. IHSG berbalik positif dalam waktu relatif pendek dan memberikan reward kepada yang bertahan dengan tidak melakukan cut-loss.
mengelola keuangan
Tidak hanya itu.
Kerugian yang jauh lebih besar menimpa Anda yang cut-loss, yaitu hilangnya kesempatan menikmati gurihnya return saham dalam jangka panjang.
Sejak Juli 1997 sampai dengan akhir Agustu 2013, IHSG sudah mencetak kenaikkan keuntungan 470%. Kalau cut-loss, Anda tidak merasakan kenaikkan nilai investasi saham hampir 5 kali lipat. Berikut perkembangan IHSG 1997 – 2013. Dengan melakukan cut-loss di titik A (krisis 1998) atau di titik B (krisis 2008), Anda kehilangan kesempatan menikmati rentang kenaikkan harga saham yang dicapai pada titik C.
Ini bukan isapan jempol. Saya alami sendiri.
Karena sifatnya jangka panjang, investasi saya di reksadana saham untuk dana pensiun tidak pernah diusik, apapun kondisi pasar, termasuk ketika badai 1998 dan 2008 datang. Hasilnya, dana pensiun saya menikmati kenaikkan nilai secara berlipat – lipat, jumlahnya lebih dari cukup untuk menutup kerugian harga saham di 1998 atau 2008.
Kesimpulannya apa untuk mengelola keuangan? Merujuk pada data – data historis, Anda sebaiknya tidak menjual saham atau mencairkan reksadana saham kalau investasi saham tersebut memiliki tujuan keuangan diatas 5 tahun. Pengalaman dua krisis sebelumnya menunjukkan harga saham pulih kurang dari 5 tahun.
Karena itu, kapan tujuan keuangan perlu dicapai menjadi hal yang penting untuk dilihat berikutnya.

2. Apakah Tujuan dan Investasi Sudah Cocok dalam Mengelola Keuangan

Tujuan keuangan menjadi hal yang krusial karena dampak krisis terhadap rencana keuangan Anda ditentukan oleh bagaimana kecocokan antara tujuan keuangan dan instrumen investasi yang dipilih. Menurut perencana keuangan, Ligwina Hananto, Tujuan Lo Apa!
Contohnya, jika uang muka rumah untuk tahun depan dicapai dengan investasi di saham, bisa dipastikan, Anda akan kalang kabut, pusing kepayang menyaksikan harga saham berguguran.
Tetapi kondisinya berbeda. Jika investasi saham digunakan untuk tujuan dana pensiun yang baru dibutuhkan 20 tahun lagi dari sekarang. Gonjang – ganjing pasar tidak akan menggoyahkan Anda untuk menjual saham.
Masalahnya dan ini masalah besar dalam rencana keuangan. Banyak yang tidak memperhatikan tujuan keuangan ketika melakukan investasi. Membeli produk investasi dahulu, baru menentukan tujuan keuangan.
Ini terjadi akibat banyak yang membeli produk keuangan karena di-drive oleh riuh rendahnya kondisi pasar keuangan. Ketika saham sedang naik, ikutan membeli saham. Ketika harga emas naik daun, buru – buru mengalihkan dana dari saham ke emas. Saat pasar modal anjlok, reksadana saham dicairkan dan dipindahkan ke tabungan atau deposito karena panik dan khawatir.
Yang harus dilakukan adalah melihat kembali tujuan keuangan (ingat tujuan keuangan duluan), misalnya dana pensiun, dana pendidikan, uang muka rumah, dana liburan dan lain-lain, kemudian memastikan apakah instrumen investasi untuk mencapai tujuan keuangan tersebut sudah tepat atau belum.
Kalau tujuan keuangan dibawah 5 tahun, sebaiknya jangan ditempatkan di saham, lebih baik di reksadana pendapatan tetap. Jika diperlukan tahun depan, instrumen seperti deposito, reksadana pasar uang akan lebih tepat. Untuk investasi diatas 5 tahun, saham menjadi pilihan yang paling menarik karena return tinggi dengan risiko yang terkendali seiring jangka waktu investasi yang panjang.
Dengan investasi yang sesuai dengan tujuan keuangan, munculnya gejolak tidak akan membuat panik karena Anda tahu bahwa gejolak tidak akan banyak mempengaruhi portfolio investasi Anda. Mengelola keuangan menjadi lebih efektif.

3. Mengelola Keuangan dengan Mengendalikan Pengeluaran

Dalam kondisi ketidakpastian, Anda perlu berjaga –jaga dalam mengelola keuangan. Kenapa? Karena tidak yang tahu dengan pasti, kapan gejolak akan selesai. Yang banyak dilakukan para pengamat atau pejabat adalah hanya memprediksi kapan gejolak selesai.
Cara yang paling efektif adalah mengendalikan pengeluaran rumah tangga. Hal – hal yang tidak urgen dan penting, yang lebih ke keinginan (‘wants’), sebaiknya dilihat kembali. Jika memungkinkan ditunda terlebih dahulu.
Uang yang ada sebaiknya disisihkan guna meningkatkan porsi dana darurat. Dana darurat yang kuat akan membantu saat investasi sedang turun. Saat butuh dana, Anda bisa menggunakan dana darurat dan tidak perlu merealisasikan investasi yang pasti akan rugi.
Banyak yang mengalami kerugian saat krisis  karena terpaksa harus menjual instrumen investasinya disaat harga – harga sedang dibawah. Jika punya dana darurat yang cukup, Anda bisa menggunakan dana darurat dan tidak perlu menjual investasi di harga sale.

4. Melakukan Diversifikasi Investasi dalam Mengelola Keuangan

Gejolak ini mengingatkan kembali pentingnya melakukan diversifikasi investasi dalam mengelola keuangan. ‘Don’t put your eggs in one basket’. Investasi disebar ke dalam beberapa instrumen dan tidak terkonsentrasi hanya pada instrumen tertentu.
Masalahnya, diversifikasi sering dilupakan. Kenapa? Karena orang sering mengejar instrumen investasi yang sedang naik daun dan menempatkan sebagian besar dana ke instrumen tersebut. Diversifikasi ditinggalkan karena dianggap tidak menguntungkan.
Selama ini kinerja saham sedang bagus-bagusnya. Akibatnya, banyak yang terpicu menempatkan sebagian besar investasi di dalam saham, baik melalui reksadana atau beli langsung di broker saham. Implikasinya tidak bagus. Konsentrasi portfolio investasi di saham menjadi membengkak. Tidak jarang saham sudah mencapai 70 sd 80% porsi portfolio kita.
Dalam kondisi pasar saham yang stabil, hal itu tidak jadi masalah. Namun, pasar saham tidak mungkin selalu stabil, pasti ada saat harga saham bergejolak, seperti yang dialami beberapa minggu ini. Ketika IHSG di bursa turun, kita bisa bayangkan apa yang terjadi dengan kekayaan yang terkonsentrasi di saham.
Sebaiknya kita meninjau kembali dan melakukan rebalancing investasi dengan tujuan mengurangi porsi yang sudah terlalu tinggi dan menambah porsi yang masih kurang dalam keranjang portfolio kita.
Rebalancing investasi adalah upaya diversifikasi. Seharusnya dilakukan secara rutin dan tidak hanya saat kondisi pasar turun saja. Kalau dilakukan secara rutin, rebalancing dapat memproteksi portfolio terhadap gejolak ekonomi.
Demikian hal – hal yang perlu dilakukan dalam mengelola keuangan menghadapi gejolak ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar