Selasa, 07 November 2017

Kejanggalan Klaim Asuransi

Ini bukan perkara baru. Sengketa klaim antara perusahaan asuransi jiwa dengan nasabahnya bak kisah klasik yang kerap berulang. Persoalan yang muncul nyaris serupa:  pihak asuransi menolak klaim biaya perawatan nasabahnya.

Ironi industri asuransi mulai dari kekecewaan para nasabah hingga yang berujung kematian. Apalagi mengingat betapa gigihnya para agen asuransi saat menawarkan produknya, yang penuh janji manis soal kemudahan klaim.

Berangkat dari kasus klaim PT Asuransi Allianz Life Indonesia yang berujung pidana dan penetapan tersangka dua petingginya, kami pun mencoba menelusuri persoalan yang mendasari munculnya sengketa klaim asuransi jiwa.

Baca: Geger Klaim Asuransi

Konon, seorang karyawan asuransi dianggap berprestasi bila berhasil mencari nasabah baru. Selain itu, khusus di bagian klaim, prestasi diukur dari keberhasilan menggugurkan pengajuan klaim nasabah.

Memang belum ada fakta keras soal target pengguguran klaim yang mesti dilakukan seorang karyawan asuransi. Namun, seorang pengacara nasabah asuransi, Alvin Lim, mengungkapkan secara blakblakan hasil penyelidikan dari beberapa kasus sengketa klaim yang pernah ditanganinya.

“Klaim itu ada target. Jadi, misalnya masuk (pengajuan) klaim Rp100 miliar. Kalau diterima semua, si manajer klaim mungkin tidak bertahan lama di sana. Selain itu, target bonus mereka juga dilihat dari performa berapa banyak (klaim) yang bisa ditolak,”  ujar Alvin saat berbincang dengan Metrotvnews.com di Jakarta, Senin 2 Oktober 2017.

Jadi, ia melanjutkan, kalau klaim bisa ditolak, kenapa tidak? Sementara sisanya, yang tidak bisa ditolak, diupayakan pembayarannya diperlambat. “Ini bicara cashflow. Bila dalam satu waktu premi masuk lebih kecil daripada pengajuan klaim, tentu memperlambat pembayaran (klaim) menjadi sebuah strategi,” ucapnya.

Perilaku semacam ini tampak wajar dalam sebuah bisnis. Pemasukan diupayakan sebesar mungkin. Adapun sebaliknya, beban pengeluaran ditekan sekecil-kecilnya. Semua dilakukan atas nama menjaga “kesehatan" perusahaan.

Pembayaran klaim termasuk dalam kategori beban perusahaan jika merujuk laporan keuangan perusahaan asuransi.

Nah, persoalan ini turut menjadi sorotan Warsito Sanyoto selaku pengacara yang juga sebagai investigator klaim sejumlah perusahaan asuransi ternama. "Ya, perusahaan asuransi tentu menghendaki adanya claim ratio serendah mungkin dibanding premi yang masuk," kata Warsito kepada Metrotvnews.com, Selasa 3 Oktober 2017.

Namun, menurut Warsito, seharusnya pengajuan klaim tidak boleh dihindari apabila klaim itu benar dan terbukti terjadi suatu kerugian. Walaupun begitu, sebagai seorang claim investigator yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan asuransi, Warsito berusaha menjelaskan bahwa ia masih tetap mampu bekerja secara profesional.

"Meski perusahaan asuransi yang membayar saya, tapi penyelidikan saya atas sebuah pengajuan klaim tetap objektif, tidak memihak, baik kepada perusahaan maupun tertanggung (nasabah)," paparnya.

Jangka Waktu

Setiap penolakan pengajuan klaim oleh perusahaan asuransi ternyata tidak melulu sah dan benar. Dalam beberapa kasus, kami menemukan kejanggalan yang mengisyaratkan penolakan secara halus.

Modus yang kerap dipakai pun beragam. Salah satunya memanfaatkan perjanjian di polis asuransi.

Umumnya, nasabah atau pihak pengaju asuransi enggan membaca secara rinci kesepakatan dalam polis yang diberikan seorang agen asuransi. Alasan yang muncul adalah kepercayaan.

Ambil misal, persoalan batas waktu proses pencairan klaim. Hal ini tidak di atur di dalam polis. Biasanya dialami pemegang polis asuransi yang bersifat reimburse atau penggantian pembayaran.

Artinya, setelah nasabah mengajukan klaim, pihak asuransi berhak membayarnya kapanpun - tanpa batas waktu. Boleh jadi ini terkait claim ratio tadi, memperlambat pembayaran klaim saat premi asuransi yang masuk kecil.

Sebaliknya, nasabah diberikan batas waktu untuk mengajukan klaim sejak dirinya dirawat. Bila dalam tenggat waktu tertentu klaim tidak diajukan, maka dianggap tidak mengajukan klaim.

Begitu pula soal pembayaran premi. Bila nasabah atau tertanggung mengalami keterlambatan dalam membayar premi, dalam jangka waktu tertentu, polisnya bisa ditutup sepihak oleh perusahaan asuransi.

Mantan Ketua Dewan Asuransi yang juga Dosen Asuransi dan Manajemen Risiko di Universitas Indonesia, Hotbonar Sinaga, menyatakan perjanjian dasar di sebuah perusahaan asuransi seharusnya dibuat sederhana. Pasalnya, banyak agen asuransi yang tidak menjelaskan detail ihwal perjanjiannya kepada calon tertanggung.

"Sebaiknya tidak boleh lagi (perjanjian dalam polis) hurufnya kecil-kecil. Kalau hurufnya masih kecil-kecil dan agen tidak menjelaskan detail, laporkan ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," cetusnya saat ditemui di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 30 September 2017.

Syarat tambahan

Modus lainnya adalah meminta dokumen secara terus menerus, sebagai syarat pencairan klaim. Alvin Lim mengatakan, cara ini banyak ditemukan di sejumlah sengketa klaim.

"Seperti (kasus) Allianz yang meminta surat klarifikasi. Terus menerus meminta keterangan medis lanjutan dari dokter, sehingga dokter yang merawat (nasabah) marah dan tidak mau mengisi," kata Alvin.

Saat dokumen tidak lengkap, ditambah habisnya tenggat waktu pengajuan klaim, maka perusahaan asuransi memiliki alasan yang cukup untuk menggugurkan klaim si nasabah. "Parahnya lagi, syarat (surat klarifikasi dan rekam medis) yang diminta itu tidak tertera dalam prosedur pengajuan klaim di dalam buku polis," ungkap Alvin.

Sepatutnya, menurut Alvin, perusahaan asuransi sudah mengetahui bahwa catatan medis lengkap itu sifatnya rahasia.

Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008. Dokter yang menangani pasien atau pihak rumah sakit hanya bisa memberikan ringkasan atau resume medis. Dilarang mengeluarkan catatan lengkap riwayat pasien alias rekam medis.

“Soal ketentuan catatan medis lengkap, yang saya tahu cuma Allianz saja yang memberlakukan. Mereka sudah menerapkannya sejak lama,” papar Alvin.

Alhasil, dari sederet sengketa klaim berbasis permintaan rekam medis ini, tersisa satu perntanyaan besar. Apakah pihak asuransi tidak mempercayai dokter dari rumah sakit yang menjadi rekanannya?

Opini dokter

Dalam sebuah perusahaan asuransi, biasanya ada seorang dokter yang bertugas memeriksa atau memverifikasi pengajuan klaim dari nasabah. Kepentingannya, agar perusahaan mengetahui kebenaran penyakit dan perawatan nasabahnya.

Nah, yang jadi masalah, sering kali dokter verifikator di perusahaan asuransi atau sering disebut dokter klaim, menegasikan keputusan dokter di rumah sakit. Pendapat kedua dokter ini kerap berbeda.

Sebagai contoh, seorang dokter rumah sakit merujuk pasiennya untuk dirawat. Pada sisi lain, dokter klaim berdasarkan resume medis menganggapnya tidak perlu dirawat. Dengan begitu perusahaan asuransi tidak perlu menanggung biayanya.

"Itu karena dokter klaim hanya melihat diagnosa atau resume, tidak melihat kondisi pasiennya," kata Alvin.

Situasi semacam ini ditemukan dalam kasus penolakan klaim nasabah Allianz, mendiang Belki Sukiyo.

Belki adalah penerima manfaat Hospital Surgical, Hospital Income, juga Critical Income. Belki dirawat di RS Siloam selama empat bulan. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp6 miliar lebih.

Karena klaimnya ditolak, maka keluarga memutuskan merawat Belki di rumah. Pada Juli 2017, Belki pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Tidak ada yang salah dengan penolakan klaim itu. Sebab, semasa Belki sakit, dokter belum mengetahui persis penyakit apa yang dideritanya. Hasil pemeriksaan laboratorium pun tidak menunjukkan adanya kelainan.

Tapi, kondisi fisik Belki terus menurun dan melemah, bahkan hilang kesadaran. Selama empat bulan itulah Belki dipantau dan diberikan perawatan intensif oleh rumah sakit.

"Bagi dokter rumah sakit, walau tak terdiagnosa (penyakitnya), mereka mempertimbangkan kondisi fisik. Bila mengkhawatirkan, pasien dirujuk untuk dirawat. Sementara dokter klaim hanya melihat hasil laboratorium saja. Ya, keduanya adalah dokter, tapi kepentingannya beda," kata Alvin.

Namun, setelah kisah wafatnya Belki ini menyeruak di media sosial, pihak Allianz pun menyetujui untuk membayarkan salah satu klaim mendiang Belki, sebesar Rp135 juta.

"Semoga klaim lainnya juga segera dibayarkan," cetus Alvin.



Tak terdaftar

Tak hanya Allianz, Alvin mengungkapkan bahwa sengketa klaim juga menimpa banyak perusahaan asuransi yang lain. Termasuk persoalan "kesaktian" dokter klaim.

"Ada sejumlah nasabah berbagai perusahaan asuransi yang saya dampingi soal ini. Sedikitnya 15 klien yang kasusnya sedang berjalan," kata Alvin.

Dari informasi ini, kami pun mencoba memeriksa status dokter klaim di sejumlah perusahaan asuransi, melalui aplikasi cek dokter di situs resmi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Hasilnya, kebanyakan dokter klaim di beberapa perusahaan asuransi statusnya tidak terdaftar alias tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari KKI. Meskipun ada yang terdaftar, namun STR-nya banyak yang sudah kedaluwarsa.

Aturan mainnya, tanpa STR, kompetensi seorang dokter patut dipertanyakan. Sudah dipastikan juga dokter tersebut tidak memiliki rekomendasi profesi, termasuk Surat Izin Praktek (SIP).

Satu di antaranya adalah Manager Claim Allianz Indonesia yang kini berstatus tersangka, dr. Yuliana Firmansyah. Dari hasil pencarian, nama Yuliana dinyatakan tidak terdaftar di KKI.

Sayangnya, setelah beberapa kali menghubungi pihak Allianz, kami belum mendapatkan respon terkait hal ini. Termasuk pesan singkat kepada Head of Corporate Communications Allianz Indonesia, Adrian DW, tidak berbalas.

Bila dokter klaim di perusahaan asuransi tidak memiliki STR, maka mahfum jika kompetensinya dipertanyakan saat memutuskan seorang pasien berhak atau tidak untuk dirawat di rumah sakit.

Soal STR dan SIP, pemerintah sudah mengaturnya dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Merujuk pada Pasal 78 UU Praktik Kedokteran, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanankepada masyarakat, seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter yang telah memiliki STR atau SIP, dapat dipidana penjara paling lama lima tahun, atau denda paling banyak Rp150 juta.

Sementara bagi perusahaan atau seseorang yang dengan sengaja mempekerjakannya, berdasarkan Pasal 80, dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp300 juta.

Perlu revisi

Lantas, bagaimana pendapat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait status "bodong" dokter klaim ini?

Ketua PB IDI Daeng M. Faqih tidak melihatnya sebagai pelanggaran hukum. Alasannya, belum ada aturan khusus untuk dokter verifikator alias dokter klaim di perusahaan asuransi.

Menurut Daeng, dokter klaim bukan dokter yang sifatnya terapis, mendiagnosa dan mengambil tindakan. Dokter klaim adalah dokter umum yang dikelaskan sebagai dokter penilai.

Biasanya, bila berhadapan dengan penyakit yang spesifik atau lebih kompleks, dokter klaim meminta pendapat dokter spesialis lain, atau bertanya ke profesi, dalam hal ini IDI. Setelah itu barulah dia mengambil keputusan untuk perusahaan asuransi tempat dia bekerja.

Tetapi, kata Daeng, secara substansi, karena dokter klaim turut menentukan apakah seseorang dirawat atau tidak dalam tindakan medis selanjutnya, sepatutnya terdaftar KKI.

"Sebab, kalau teregistrasi pasti terjaga kualitas, mutu, dan pengetahuannya. Ini terkait juga kepercayaan masyarakat," tutur Daeng saat kami hubungi, Sabtu, 7 Oktober 2017.

Dia pun mengakui, perbedaan pendapat antara dokter di rumah sakit dengan dokter klaim masih sering terjadi. “Makanya, saya pribadi setuju, standarisasi dokter verifikator perlu diperbaiki, agar penilaian yang dikeluarkan untuk perusahaannya (asuransi) berbasis standar kedokteran terkini.”

IDI berharap, dokter yang bekerja sebagai verifikator terdaftar di KKI dan memiliki rekomendasi profesi, sebagaimana laiknya seorang dokter. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan asuransi lebih elok bila mempekerjakan dokter yang terdaftar