Selasa, 24 Februari 2015

Hubungan Anak Dengan Orang Tua

Parents, tahukah anda bahwa hubungan terpenting dalam hidup anak adalah ikatan mereka dengan orang tua? Dan semuanya itu dimulai sejak anak berusia 0-12 bulan. Hubungan orang tua yang hangat, dapat diandalkan, dan menyenangkan dapat menjadi landasan pembelajaran anak untuk dapat menciptakan hubungan baik dengan orang lain di masa depannya.

Selanjutnya di usia 1-3 tahun, anak mulai menunjukkan ketertarikan bersosialisasi dengan anak lainnya dan mulai menunjukkan kecenderungan berteman dengan gender yang sama. Kemudian di usia yang keempat, anak mulai mengerti tentang adanya perbedaan gender.

Saat menginjak usia 5-7 tahun, anak akan mulai memilih teman main yang nantinya dijadikan teman baiknya, hubungan ini biasanya akan berlangsung lama. Ini juga adalah saat anak mulai mengerti adanya peran timbal balik dalam pertemanan.

Ketika anak mulai dekat dengan sesama gendernya, di usia 8-11 tahun mereka akan mulai berspekulasi tentang bagaimana rasanya bermain dengan lawan jenis. Sehingga inilah yang kemudian menjadi awal anak lelaki dan perempuan mulai merasa tertarik satu sama lain.

Menurut Psikolog Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, MM., Psi., perbedaaan gender seharusnya tidak membatasi anak untuk berteman dengan lawan jenisnya. “Karena Tuhan menciptakan dua jenis kelamin dan keduanya bukan untuk di diskriminasi,” ungkapnya.

Pertemanan yang dimaksud di sini tentunya adalah pertemanan yang dalam tahap wajar. “Wajar yang di maksud adalah wajar sebagaimana laki-laki dan perempuan. Anak-anak normal pada umumnya bergaul. Pastinya ada sopan santun, ada caring, bisa main bersama, dan ada empati,” jelas Psikolog sekaligus President Director Personal Growth tersebut.

"Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam mendidik anak. Daripada batasan, akan lebih baik bila orang tua mengarahkan anak pada aturan main," jelas ibu dari dua anak ini. Menurutnya, didikan ini tidak hanya pertemanan dengan lawan jenis, termasuk pertemanan dengan sebaya, lebih muda, atau yang lebih tua.

Orang tua sangat berperan dalam menunjukkan bagaimana normalnya berlaku sebagai anak lelaki atau anak perempuan, orangtualah yang harus menuntun dan menunjukkan cara berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Karena
value yang ditanamkan sedari kecil berpengaruh sangat besar dalam menentukan perilaku anak di masa depan.
 

“Misalnya, bagaimana sebagai laki-laki kecil dia harus memperlakukan dirinya, memperlakukan perempuan dengan benar. Itu akan dibawa sampai dia remaja."

Oleh sebab itu menurutnya, saat nilai itu sudah kuat dalam dirinya maka pengaruh buruk dari lingkungan atau pertemanannya tidak akan mampu mengalahkannya. “Seheboh-hebohnya teman itu berpengaruh, nilai keluarga itu sudah lebih kuat terlebih dahulu. Apa yang diajarkan oleh orang tua itu akan selalu di bawa,” tegas wanita lulusan Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, ada banyak sekali yang anak dapatkan di keluarga. Anak tidak akan dapat tumbuh sendiri ke arah yang baik tanpa adanya pengawasan dan pengontrolan oleh orang tua sejak kecil. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua benar-benar menerapkan peran parenting. Orang tua harus mau membuka ruang diskusi dan komunikasi ketika menyadari anaknya mulai menjalin ketertarikan dengan lawan jenis, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan kedepannya.

Pernikahan Langgeng

Bagi anda yang telah menikah, urusan menjaga keutuhan pernikahan memang bukanlah perkara yang mudah. Proses pengenalan teman hidup ini disinyalir berlangsung seumur hidup. Dan dalam perjalanannya, setiap pasangan akan sangat mungkin menemukan konflik. Karena pada dasarnya pria dan wanita adalah dua mahluk yang berbeda.

Meskipun demikian, pasangan menikah tetap bisa menemukan cara untuk menjaga keutuhan pernikahan mereka. Menurut para ilmuwan, lima cara ilmiah berikut dapat mendukung kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga:

Pilih pasangan dengan cara pandang sama tentang uang
Peneliti Scott Rick dari University of Michigan’s Ross School of Business mengungkapkan bahwa individu cenderung memilih pasangan yang punya gaya memanfaatkan uang yang berbeda dengan dirinya. Hasil survei berasal dari penelitian terhadap 1.000 orang yang menikah dan yang tidak menikah.

Dan anehnya, perbedaan pola pandang menyangkut finansial inilah yang justru menjadi sebab dari konflik besar dengan jangka waktu yang panjang dalam rumah tangga. Sedangkan pada pasangan
yang memiliki cara pandang sama terhadap uang ditemukan bahwa, kemungkinan konflik lebih rendah. Sebagai contoh, saat seorang pemboros menikah dengan seorang yang terbiasa hemat, maka akan lebih menimbulkan konflik; dibandingkan dengan pemboros yang menikah dengan seseorang yang juga boros.

Seks rutin bisa menjadi solusinya

Mungkin tanpa disadari kita menikah dengan orang yang 'moodian'. Meskipun begitu, bukan berarti orang seperti ini tidak mampu untuk menjalin hubungan jangka panjang.

Penelitian oleh Michelle Russell dan James McNulty dari University of Tennessee mengungkapkan bahwa hubungan seks yang rutin dapat membantu orang dengan suasana hati yang bergejolak menjadi lebih terkendali.

Mengucapkan “terima kasih” dan “kami”
Mengucapkan “terima kasih” merupakan bentuk penghargaan terhadap hasil kerja pasangan atas pekerjaan rumah. Pada tahun 2007, sebuah penelitian oleh Arizona State University membuktikan bahwa orang yang merasa dihargai ternyata lebih puas akan hubungan mereka dengan pasangan.

Selain itu, kata yang juga bisa mempererat hubungan pernikahan adalah kata “kami”. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Psychology  and Aging pada 2009 menemukan bahwa pasangan yang sering menggunakan kata “kami”, menunjukkan kepedulian yang lebih besar, lebih jarang bertindak negatif, dan lebih rendah kadar stresnya.

Pribadi yang ‘kuat’
Kuat berarti, tidak mudah ditekan perasaan negatif. Kadang kala, seseorang merasa kebahagiaan bisa didapat ketika dia menyalahkan pasangan, menuntut pasangan harus berubah, akan tetapi mereka enggan untuk memaafkan.

Padahal kebahagiaan sejatinya bisa diraih dengan meninggalkan pikiran dan perasaan negatif terhadap pasangan. Hal ini diungkapkan oleh psikolog James McNulty dari University of Tennessee.

Berusaha Keras

Survei terhadap 6.000 orang selama 20 tahun menemukan bahwa rasa cinta kebanyakan dari mereka terhadap pasangan masih sama. Dalam publikasinya di Review of General Psychology  diungkapkan bahwa kuncinya adalah usaha keras mereka untuk tetap merasakan jatuh cinta.

Kerukunan pernikahan merupakan buah dari usaha mereka yang selalu menyisihkan waktu merawat hubungan dengan pasangan. Selain itu, penulis penelitian Bianca Acevedo dari University of California, Santa Barbara mengungkapkan bahwa, “Mereka juga berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan lembut.”

Senin, 23 Februari 2015

Suma Ceng Liong

Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka mempelajari ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukarpun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!

Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.

Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka diapun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari Hek-i Mo-ong mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.

Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga. Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga setiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.

Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mujijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dau Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan. Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tidak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang. Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka diapun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil meuguasai kedua ilmu ini.

Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.

“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”

Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”

“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarangpun aku sudah mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat.”

Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiripun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.

“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.

Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Ketika aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”

“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”

“Tidak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”

Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulunya terlalu mengagulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai daripadanya, dan karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.

“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”

“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”

Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak perduli. Siapapun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itupun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu! Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”

“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”

“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”

Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok. Adapun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam. Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yalah kekalahan. Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapapun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.

Para pembaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat. Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoinya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisahSuling Emas Dan Naga Siluman .

Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-han-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu. Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.

Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, maupun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya. Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusnn di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.

Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederha dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi. Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in. Selain ini, dia pernah digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang tcrmasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khi-kang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!

Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini ia memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, ia masih memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sin-kang Im dan Yang kepadanya. Selain itu, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang amat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya!

Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiripun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula mempergunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.

Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tidak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.

Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.

Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Dan mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?

Seperti telah kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju ke utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.

Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.

Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita berkata dengan suara memohon. “....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”

Ceng Liong makin penasaran, akan tetapi Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Cin Liong, perlu apa mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”

Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda inipun melangkah mendekati kuil.

“Heh-heh, engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar ketika muridnya memasuki kuil tua itu.

Ruangan depan kuil itu kator karena gentengnya sudah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liang terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.

Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat kalau aku sudah bosan padamu!”

“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.

“Siauw-moi, bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita inipun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.

Ceng Liong semakin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainyapun agak bersih. Ketika dia melangkahi pintu tanpa daun itu masuk, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berobah merah karena malu. Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.

Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dau kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentn dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinyapun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk? Biarpun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.

“Apakah yang sedang terjadi di sini?” Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.

Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak memperdulikan Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum! Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka diapun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itupun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.

“Eh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”

Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi hanya mengeluarkan pertanyaan itu untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknyapun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!

“Aku tadi mendengar suara tangis dan orang minta pulang....” katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.

“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”

“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak perduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain. Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, lalu menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong.

“Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”

Barulah Ceng Liong mengerti dan diapun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka diapun tertawa lagi.

“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Engkau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.“Singgg....!” Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.

“Huhhh!” Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang sedemikian tenangnya seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk dan terdengar suara “krekk!” lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkannya ke atas lantai!

Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, kemudian mematah-matahkan pisaunya itu seperti orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka! Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”

Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”

Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!

“Setan cilik! Kau mau apa?”

“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”

Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya. “Keparat kau!”

“Jahanam kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”

Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong. “Mampuslah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.

Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak. “Wuuutt!” Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut. Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.

“Desss....!” Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.

Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Desss....!” Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.

“Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?” Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berobah pucat.

“Hek-i Mo-ong....!” serunya dan seruan ini ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang juga teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.

“Ah, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalahpahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.

Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.

“Ah, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es dan dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya! Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan menyerahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat daripadanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tuhuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.

Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar. Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan diri sendiri tanpa memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan “menghukum” mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.

“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”

Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Diapun merasa girang dan cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”

“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalahpahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”

“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”

“Bukit Nelayan....? Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?”

“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”

Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah mengetahui segalanya.”

Kembali Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kauingat di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”

Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Dan kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkanjuga kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.

Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. “Ah, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya maupun musuhnya. Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang diawali suara ketawa mengejek ini. “Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”

Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimanapun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biarpun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.

“Harap locianpwe suka menjelaskan!” katanya penasaran, sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.

“Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!”

Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tidak perduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua daripada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, maka dia terbelalak dan bertanya dengan suara terheran.

“Ah, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati.”

Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. “Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai daripada Bu Ci Sian.”

Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai daripada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Diapun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.

“Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... eh, orang she Kam yang lihai itu?”

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau cerdik seperti srigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”

Kini mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis inipun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka diapun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.

“Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apapun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?”

Hek-i Mo-ong tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....”

Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.

“Eh, apa yang kaulakakan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.

Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, “Mo-ong, aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini.” Dan diapun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, diapun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.

“Ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.

“Jai-hwa-cat! Kau majulah dan kaucoba kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak, memasang kuda-kuda dan kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.

Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimanapun juga, andaikata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.

“Hemm, orang muda, gurumu dan aku adalah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik kalau urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri,” katanya.

“Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan, bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!” Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang dikatakan berhati lemah tadi. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walaupun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.

Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membicarakan musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Buki Nelayan itu dengan mereka berdua. Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat dia merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Adapun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong. Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman).

Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai anggauta-anggauta yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman , marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.

Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas aseli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong- sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.

Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu. Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyikya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas aseli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh. Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk sulingpun lenyap berobah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus galungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.

Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu, dan keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.

Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya. Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.

Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapapun adanya gadis itu harus dia dapatkan!

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.

“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.

“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?” tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.

“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”

“Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.

Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.

“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.

“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja hanya memandang.

Enam orang pelayan itupun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka. Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria mencoba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika! Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!

“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!” Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam. Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Akan tetapi karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.

Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas soketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat daripada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.

“Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang! Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya! Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebeluan menangkapnya dan mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu! Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu. Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.

Hampir saja Ccng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernanna Tek Ciang itu. Bagaimanakah penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu! Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tidak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat daripada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!

Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam gadis itu sendiripun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka iapun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mujijat, akan tetapi ia belum menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat. Maka, iapun mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.

Karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimanapun juga, lawannya hanyalah searang dara remaja! Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan menangkis dengan usaha menangkap itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

“Plakkk!” Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa seperti dibakar. Cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sin-kang daripadanya! Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang dilakukan pula oleh Jai-hwa Siauw-ok.

Benturan tenaga sin-kang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimanapun juga, sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.

“Ciiiittt.... ciiittt....!” Tek Ciang menyerang ganas dan kini tusukan-tusukan jari tangannya yang mempergunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.

Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Kalau saja Bi Eng sudah berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya. Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.

“Desss....!”

Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan pingsan! Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berobah agak kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun amat hebat.

“Tolol kamu....!” Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang cepat melangkah mundur dengan muka pucat. Biarpun dia telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sin-kang yang membuatnya merasa tergetar jantungnya dan kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi khawatir.

“Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....”

“Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!”

Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan diapun menyesal. “Bagaimanapun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu akan mampu mengalahkan mereka.”

“Hei, ke mana engkau akan membawanya?” Tiba-tiba Tek Ciang berteriak. Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.

“Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya,” Ceng Liong berkata, ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak memperdulikan teriakan Tek Ciang.

“Tahan dulu....!” Tek Ciang hendak mengejar.

“Diam kau....!” Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya. Tek Ciang menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka diapun mengalah, bahkan diam-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.

“Sudahlah, mari kita mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,” kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya. “Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita.”

“Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid locianpwe,” kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.

“Cihh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi. Bagaimanapun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu! Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.

Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biarpun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen! Kadang-kadang timbul penyesalan di dalam hatinya mengapa dia, yang di waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan itu. Dia tahu bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikitpun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu aseli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Diapun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali ditolong, apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal, gadis itu akan tewas dan tak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.

Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika tiba-tiba dia dan dua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara suling itu. Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berabah menadi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimanapun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sin-kang untuk melawannya. Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan pengerahan sin-kang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi dan tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sin-kang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.

Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicarapun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka. Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapnn membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang tak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus! Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoinya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khi-kang yang amat tinggi.

Mereka kelihatan begitu rukun dan saling mencinta. Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Adapun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang dan agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan sakit hati guru-gnrunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.

Kini sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan dan mereka merasa heran dan kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadipun mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu “berisi”. Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu? Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura. “Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam keadaan sehat, Mo-ong?”

Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan tetapi mengandung penuh ancaman.

“Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!”

Kam Hong menarik napas panjang. “Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untu meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!”

Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka wanita cantik itu sambil bertanya, “Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?”

Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-lakiinipun baru sekarang bertemu dengannya.

“Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?” tanyanya, suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.

“Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini.”

Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh, “Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peribahasa ular mencari penggebuk!”

Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka diapun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, “Apa boleh buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai.” Setelah berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu punggung. Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Gi Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang hendak meniup suling! Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong maka diapun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.

Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya. Memang benar bahwa dia sudah menguasai ilmu baru seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi diapun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan khi-kangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu dibawa oleh tenaga khi-kang sampai jauh sekali.

“Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!”

Kam Hong tersenyum. “Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?”

Ucapan yang halus ini lebih menusuk daripada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya dan diapun mengeluarkan suara gerengan. Akan tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya sudah lebih dulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmnnya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan. Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka iapun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan kuatnya! Ci Sian terkejut, tidak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka iapun cepat menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapapun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dau sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sin-kang dan khi-kang pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka diapun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya!

“Tringg.... trakkk....!” Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan mempergunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri dan tenaga sin-kangnya menjadi jauh lebih hebat daripada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sin-kang.

“Hiyeeeeehhhh!” Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mujijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulan jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung lawan!

Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, akan tetapi dengan tenang dia menghantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat, dan tombaknya itupun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu. Karena itu, begitu kena dihantam oleh lengan kini Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan hancurlah kepala itu kalau terkena cengkeraman itu!

Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.

“Bretttt....!” Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci dan Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai daripada dahulu dan tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul kegembiraannya.

“Mo-ong, engkau makin tua makin hehat saja!” katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya! Kini Kam Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil terus mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu. Ketika dia terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong! Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Pemutaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.

Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es! Ia sendiri pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada keseanpatan lagi bertanya, iapun mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.

Melihat betapa dia dan gurunya dapat menandingi wanita yang hebat ini, timbul kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.

“Ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok daripada puterinya. Biarlah ia nanti diserahkan kepadaku saja. Timbul berahiku melihatnya, suhu!” Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan iapun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.

Akal muslihat Tok Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan dan orang yang sedang bertanding, sungguh merupakan pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang malah mendatangkan malapetaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri. Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak berniat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merobah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.

Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berobah, akan tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang melengking-kngking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.

Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga telahmengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan diapun terpelanting jauh.

“Mari pulang!” kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa memperdulikan tiga orang yang sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.

Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang inipun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.

“Mana.... mana nona?” tanya Ci Sian.

Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. “Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.

Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?

“Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!” tiba-tiba Kam Hong berkata dan diapun meloncat dan lari, diikuti isterinya.

“Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!” teriak Bu Ci Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!

Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang. Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang menggelisahkan hati mereka.



***



Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat. Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati lalu menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak memperdulikan teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara itu. Dia sudah memperhitungkan bahwa andaikata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.

Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.

Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya. Dia bukan ahli pengobatan, akan tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan diapun tahu bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka diapun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sin-kang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sin-kangnya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kombali sin-kangnya.

Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sin-kangnya yang panas, dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna kehijauau pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sin-kang yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!

Betapapun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta, akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti inipun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka iapun diam saja, bahkan ia lalu mcnerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sin-kangnya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sin-kang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan iapun mengeluh.

“Aduuuhhh....!”

Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil membantu nona itu bangkit duduk.

“Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah khawatir.

Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala. “Tidak sangat nyeri.... eh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?”

Ceng Liong menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, lalu diangkatnya lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. “Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-ong.”

Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara inipun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.

“Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?”

Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apalagi karena dia merasa malu akan sekutunya.

“Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya....”

Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. “Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?”

“Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak dapat merobah wataknya.... tapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?”

“Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....”

“Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.”

Bi Eng memaksa senyum. “Bagaimanapun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Eh, siapa namamu?”

“Namaku Ceng Liong.... dan.... dan engkau, nona?”

“Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku....”

“Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian.”

“Ah, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana....” Dara remaja itu bangkit berdiri, akan tetapi ia segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya, terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak sampai jatuh.

“Kenapa, nona....?”

“Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali....” Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walaupun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ccng Liong menjadi semakin khawatir.

“Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?”

Bi Eng menggeleng kepala. “Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.”

“Kalau begitu, mari kupondong engkau....”

“Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!” Tiba-tiba Bi Eng menghardik. Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona inipun tidak terkecuali, baru bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.

“Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini akupun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?” dia membantah penasaran.

Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikitpun tdak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Iapun tersenyum. “Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?”

Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. “Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong....”

“Siapa bilang tidak mau?”

“Engkau tadi....”

“Bukankah aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kaupondong dan engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, bukan untuk main-main, tentu saja aku mau.”

Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita. “Kalau begitu marilah, non.... eh, Bi Eng.” Dia lalu menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.

“Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?” tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu.

“Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmupun aku masih mampu mengangkatnya.”

“Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sin-kang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku....”


Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka namnak pucat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhunya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.

Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.

Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang merobohkan, pemuda ingusan itu yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan garunya terluka oleh orang tua gadis itu!

“Ceng Liong, ia milikku, berikan kepadaku!” kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan, menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.

“Berikan sandera ini kepadaku!” Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan. Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut. Akan tetapi kalau kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.

“Perlahan dulu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu. Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini lemah bahkan wajah gurunya amat pucat, napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itupun terluka, mungkin lebih parah daripada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.

Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah menderita luka yang lebih parah daripada mereka.

“Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!” katanya.

“Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!” kata pula Tek Ciang.

Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti akupun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!”

Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali. Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.

“Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yaug merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata disipitkan.

“Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah?” Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!

Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Biarpun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walaupun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.

Karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu menyerempet lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis itu.

“Dukkk....!” Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah akan dapat mereka hadapi muridnya dan merampas gadis itu. Diapun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan nyaring sekali.

“Diam kau....!” Dibentak dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan tubuhnya seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biarpun hanya beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, terdengar suara berbeletok ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok dan penjahat cabul ini menjerit mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari kepala yang berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!

Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut inipun sudah meloncat jauh dan melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi pukulan-pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah. Diapun cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila dan mengatur pernapasan.

Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara itu. Andaikata Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tanpa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan. Tadi dia tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu. Ketika gurtnya terjatuh, diapun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi diapun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya semakin hebat.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan kedua tangannya di dada dan pundak, lalu diapun mengerahkan sin-kangnya untuk membantu gurunya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, diapun tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.

“Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!” katanya terengah-engah.

“Mo-ong, tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu meringankan penderitaanmu,” kata Ceng Liong dengan halus. Kakek itu terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila, berhadapan dan Ceng Liong membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi murid datuk sesat yang demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?

Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, “Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku pergi dari sini....!” Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.

“Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya agar dapat memperoleh pengobatan,” Ceng Liong membantah.

“Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan perlawanan.”

“Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah....”

“Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang,” kata kakek itu.

Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, “Turutilah permintaannya, Ceng Liong, karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi.”

Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis ini. Akan tetapi diapun menjadi girang dan tanpa banyak cakap dia memondong tubuh Bi Eng dan bersama gurunya diapun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik. Dia menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri yang luar biasa lihainya itu.

Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengnn obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.

“Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah.”

Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya iapun menuang obat cair itu ke dalam perut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amispun tidak terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan tenaga mencegah muntah.

Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, “Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan muntah itu, engkau akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!”

Dapat dibayangkan betana kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biarpun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.

Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan. “Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya dengan suara membentak.

“Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”

“Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.

Kakek itu mengangguk dan tertawa. “Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik.”

Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya. “Apa.... apa maksudmu....?”

“Heh-heh, kau tunggulah saja.” Kakek itu lalu memandang Bi Eug yang masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. “Nona, nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang kaumakan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu.”

Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus, “Kakek iblis berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?”

“Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku akan mengembalikan nyawamu!”

“Ahhhh....!” Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.

“Dukkk!” Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sin-kang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.

“Ahhh....” kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhunya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul suhunya, dipapahnya duduk di atas rumput.“Heh-heh-heh....!” Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadinya memukulnya itu kini malah memapahnya. “Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat....”

Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat aneh, tidak lumrah manusia. Diapun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, akan tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itupun termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal. Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, melainkan karena pandangannya yang berbeda, bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kinipun gurunya telah melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini? Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah itu! Diapun merasa tidak perlu minta maaf walaupun hatinya menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!

“Mo-ong, mengapa kaulakukan itu? Terlalu sekali engkau!”

“Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja dan biarkan aku menyelesaikan urusanku denggan gadis itu!” Kakek itu masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu, mukanya yang tadi pucat tiba-tiba berobah merah, lalu pucat kembali. “Bagaimana, nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau takkan bisa menjawab lagi.”

“Kakek iblis! Kaukira aku ini orang macam apa? Kaukira aku takut mampus? Lebih baik mati daripada menuruti kehendakmu yang hina!”

“Eh-eh-eh, bocah sombong! Kaubilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkaupun belum tentu pantas menjadi isteri muridku, tahu?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong memprotes.

“Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya dan Ceng Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apapun!

“Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku berjanji.... seperti itu?” Bi Eng yang menjadi tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walaupun dara ini tadi sudah menunjukkan ketidaksetujuannya tanpa memperdulikan ancaman nyawa.

“Heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!”

“Ahhhh....!” Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun teringat bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan “urusannya” dengan gadis itu.

Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itupun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!

“Kakek iblis, kaukira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!” Dara remaja itu hampir muntah. Ia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.

“Bi Eng, jangan muntah....” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.

“Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih baik mati daripada menjadi isterinya?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!

“Desss....!” Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.

“Ahhh!” Ceng Liong terkejut dan cepat menghampiri, berlutut dan membantu pernapasan gurunya dengan saluran sin-kang dari telapak tangannya.

“Heh-heh-heh,” Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah engkau bahwa baru ini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah engkau?”

Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi Eng!

“Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”

“Uakhhhh....!” Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hehat itu tidak sempat mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.

Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. “Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!” teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.

“Heh-heh-heh....!” Kakek itu hanya tertawa.

“Cepat, Mo-ong!” Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.

“Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?”

Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. “Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!” bentak Ceng Liong.

“Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?”

Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.

“Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau membunuhku, gadis itupun akan mati dan engkau ditinggalkan dua orang yang mencintamu, atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kaucinta. Ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lehih enak aku yang mati!”

Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya! “Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”

Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berobah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap tak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja dia malah merasa girang!

“Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!”

“Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”

“Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”

Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.

“Hayo cepat berjanji sebelum aku berobah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.

Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. “Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini....”

“Sebutkan namamu dan nama nona itu!”

“Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng....” katanya dengan suara terpaksa sekali. Sementara itu, wajah Bi Eng berobah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu? Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!” kata kakek itu dengan girang bukan main.

“Suhu....”

“Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”

“Tidak, engkau adalah guruku dan sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya.”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itn dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!”

Ceng Liong melongo. “Ehh....? Jadi....”

“Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!”

Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng muntah-muntah! Dan yang dimnntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam! Ceng Liong mendekatinya, berlutut dan menekan-nekan tengkuk dan mengelus punggung gadis itu untuk membantunya mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak. Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar, wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan danenak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan bertindak bagaimana. Mereka telah menghinanya, menipunya, akan tetapi juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.

“Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni.” kata Hek-i Mo-ong dan seperti mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri seorang pendekar sakti iapun tahu bahwa nasihat itu amat tepat baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa amat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya.

Pada saat itu terdengar bentakan orang. “Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!”

Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu. Maka ketika terdengar bentakan itu, walaupun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini lalu membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.

Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak bongkok, pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa. Akan tetapi sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.

Pemuda itu agaknya tidak memperhatikan Ceng Liong karena pandang matanya ditujukan terus kepada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.

“Hek-i Mo-ong, jangan berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!” pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.

“Perlahan dulu, sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak pinggang menghadang. “Mau apa engkau datang menghampiri guruku dengan menghunus pedang?”

Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang. “Aih, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!”

Ceng Liong mengerutkan alisnya dan kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!

“Ah, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!”

Pemuda itu tersenyum. “Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!”

Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Diapun teringat kepada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar daripada seorang sesat, walaupun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Diapun menarik napas panjang.

“Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?”

Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak disangkanya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranyapun terdengar lembut.

“Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukau hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian yang adil!” Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali dan diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimanapun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak benar.

“Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu kalau engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidakadilan....”

“Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.

“Suhu....!” Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhunya hanya berpura-pura saja karena sebenarnya suhunya terluka parah dan tidak mungkin dapat menghadapi lawan tanggah.

“Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut campur, biar kuhabiskau riwayat bocah scmbong itu!”

Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di tangan, dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.

“Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”

“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”

Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat itu, muncullah dua orang tosu berpakaian kuning dan mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata, “Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan merekapun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.

Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.

“Dukk!” Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berobah.

“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.

Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berobah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat. Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biarpun bukan menjadi pendekar budiman yangg terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya menemaninya. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding secara adil melawan musuh besarnya.

Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andaikata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani mempergunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang.

Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.

Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!

Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas dan ayahnya sudah seringkali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.

Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walaupun mereka behum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya. Kakek itu sedang terluka parah dan kini didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempunyai harga diri. Ia tidak mungkin danat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urnsan pribadi dua orang itu. Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.

Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhehat desakannya. Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.

“Cetttt....!” Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehirgga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.

“Cratttt....!” Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.

“Crokkk....!” Betapapun lihainya Pouw Kni Lok dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping!

Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya. “Trakkk!” Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung runting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.

“Suheng, pergi....!” Pouw Kui Lok berseru. Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati, dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, nmeloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.

“Suhu....!” Ccng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya, wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!” Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu, apalagi ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.

Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat, akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tubuh Hek-i Mo-ong yang terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bcrcucuran dan menghilangkan rasa nyeri.

Akan tetapi begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan diapun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk lalu berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya! “Heh-heh-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.

Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri merekapun terculik dan nyaris celaka.

“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.

“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!” Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicarapun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan gembira menghadapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.

Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah berdiri menghadang antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!

“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya.” kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Diapun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!”

Akan tetapi anak muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang. “Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”

Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi siapapun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapapun juga!”

Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. “Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”

“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti daripada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di dadanya.

“Hahh!” Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.“Dukk! Dukk! Dukkk!” Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biarpun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata diadukan antara Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, juga semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.

Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat. Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan. Akan tetapi ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabnt suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.

“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.

Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.

“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini. Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!

Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.

“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”

“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.

“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”

Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.

“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”

“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.

Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.

“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Diapun melangkah maju dengan suling di tangannya.

“Siapapun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?

“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”

“Apa....?” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.

“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”

Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.

Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tanganpun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku....”

“Apa? Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”

“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”

Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”

“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.

“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”

Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Akan tetapi, mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biarpun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.

“Tidak, ibu, aku tidak mau.”

Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya. Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.

“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.

Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu kini memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.

“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalan mereka belum terikat jodoh....” Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang antat menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.

“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.

“Kam Hong, kau.... kau....!” Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.

“Suhu....!” Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.

Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. “Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, kalau memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.” Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pemuda itu sama sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.

Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik. Memang dia melihat dan mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka. Dia sendiri tidak menyetujui cara hidup gurunya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong. Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan tetapi cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!

“Kam-locianpwe,” katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tidak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, akupun tidak akan mengelak. Kalau locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun tidak akan melarikan diri.”

Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi, walaupun dia bersikap hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan!

Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.

“Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian enam orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biarpun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!”

Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur. Wajah Ceng Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya seringkali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merobah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.

“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, akupun tidak akan mundur selangkahpun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!” Diapun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.

“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”

Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”

Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka diapun menyelipkan snlingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.

“Orang muda, lihat seranganku!” katanya dan diapun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.

Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang, karena dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kiri ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun. Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.

“Dukk!” Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi. Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sin-kang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.

Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!

Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut. “Ilmu keji....!” Serunya dan diapun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mujijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.

“Plak-plak-plakk!” Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sin-kang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.

“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.

Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.

“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”

“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberitahu padaku,” kata Bi Eng.

Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....”

Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe, orang tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!” Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.

“Ceng Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.

“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.

Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”

Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milanayang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”

“Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini karena kalau kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tidak lagi memandang orangnya, manusianya, melainkan kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi. Ketika mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!

“Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”

Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.”

***
 

Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal, adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar Super Sakti yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga telah memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng Siang In bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka berusia kurang lebih setengah abad, kematangan lahir batin mereka sesungguhnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.

Akan tetapi, biarpun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga ketika mereka kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong! Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahuu mereka hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.

Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.

Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini. Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.

Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada.

Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin yang membuat dia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.

Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput. Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tatun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu membayangkan kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan kenakalan. Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.

Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong. Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.

Beberapa orang penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya. Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun mengenalnya. Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.

Dia merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah? Kalau mereka ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor. Ah, jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?

Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.

“Siapa di luar?”

Suara ibunya! Tak mungkin dia salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, sudah mendengar dan mengetahui adanya orang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.

“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.

Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”

Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun dan juga selalu memyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun. Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?

“Saya.... saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang. Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah. “Hemm, siapa engkau berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?” Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biarpun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi, walaupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.

Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus. Biarpun demikian, tak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata siapapun. Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.

“Ibu....!” Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah seringkali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.

Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.

“Siapa.... siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalammimpi. Ia ingat wajah ini, ingat pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau ia akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.

“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”

“Ceng.... Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri dan sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.

“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.

“Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.

“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?” Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya. Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dau kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata. “Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”

Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”

Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak. “Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong....?”“Benar, ibu. Dia menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”

“Haiiiittt....!” Tiba-tiba sesosok bayangan berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya, mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke belakang. Serangan pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga tidak dapat dikenal mukanya.

“Eh, kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran. Akan tetapi orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biarpun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Dukk....!” Kedua pihak merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.

“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?” Akan tetapi ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai, maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini. Dia melihat datangnya serangan yang ke tiga kalinya, dia meugerti pula bahwa lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang dan penuh keheranan.

“Hyaaaaatt....!” Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar biasa, akau tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap panas. Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak perduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun jnga. Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.

“Blarrrr....!” Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.

“Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.

“Ayah....!” Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya. “Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.

Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis!

Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!”

Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!

“Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?”

Siang In menahampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main. “Arak? Ah, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tnnggu, akan kumasak untuk kalian....!”

“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.” kata Ceng Liong gembira.

“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum.” kata Suma Kian Bu. Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa.Tak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.

“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”

Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong. Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka. Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bumenarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.

“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.

Ceng Liong tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”

Kian Bu menggeleng kepala. “Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”

“Kalau benar demikian?”

“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”

“Ayah hendak membunuhku?”

“Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?”

“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....”

“Ahhh....?”

Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.

“Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”

“Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”

Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinun tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan.

Suma Kian Bu menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”

Pemuda itu mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari malapetaka.”

Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.

“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih o1eh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat, sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum kaukuasai sepenuhnya, baru kauketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.”

Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya. Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!

***

Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal, adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar Super Sakti yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga telah memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng Siang In bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka berusia kurang lebih setengah abad, kematangan lahir batin mereka sesungguhnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.

Akan tetapi, biarpun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga ketika mereka kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong! Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahuu mereka hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho.

Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian, semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.

Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini. Dalam keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan sengsara.

Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu tidak ada.

Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin yang membuat dia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.

Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan rumput. Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tatun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu membayangkan kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan kenakalan. Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar membuat wajah itu nampak cerah sekali.

Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong. Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu pernah menjadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.

Beberapa orang penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya. Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni dusun mengenalnya. Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.

Dia merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah? Kalau mereka ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor. Ah, jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?

Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.

“Siapa di luar?”

Suara ibunya! Tak mungkin dia salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, sudah mendengar dan mengetahui adanya orang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.

“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.

Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”

Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun dan juga selalu memyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun. Akan tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?

“Saya.... saya ingin bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!” jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang. Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah. “Hemm, siapa engkau berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?” Kini sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biarpun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi, walaupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.

Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus. Biarpun demikian, tak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali memandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata siapapun. Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.

“Ibu....!” Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah seringkali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.

Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.

“Siapa.... siapakah.... anda....?” tanyanya gagap dan merasa seperti dalammimpi. Ia ingat wajah ini, ingat pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau ia akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.

“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”

“Ceng.... Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri dan sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.

“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.

“Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.

“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?” Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya. Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dau kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata. “Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”

Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”

Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak. “Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong....?”“Benar, ibu. Dia menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik kepadaku....”

“Haiiiittt....!” Tiba-tiba sesosok bayangan berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya, mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke belakang. Serangan pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam sehingga tidak dapat dikenal mukanya.

“Eh, kenapa kau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran. Akan tetapi orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biarpun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Dukk....!” Kedua pihak merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.

“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?” Akan tetapi ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai, maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini. Dia melihat datangnya serangan yang ke tiga kalinya, dia meugerti pula bahwa lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang dan penuh keheranan.

“Hyaaaaatt....!” Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa dingin luar biasa, akau tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap panas. Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan kedua tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak perduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun jnga. Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak tangan lawan.

“Blarrrr....!” Dua tenaga yang amat dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.

“Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.

“Ayah....!” Ceng Liong terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya. “Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka, dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.

Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis!

Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu sekarang!”

Dengan hati terharu karena dalam rabaan tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!

“Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan mana masakan?”

Siang In menahampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main. “Arak? Ah, ada kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor ayam kita. Tnnggu, akan kumasak untuk kalian....!”

“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.” kata Ceng Liong gembira.

“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum.” kata Suma Kian Bu. Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa.Tak lama kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.

“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua itu.”

Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong. Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka. Setelah pemuda itu menceritakan semua pengalamannya, Suma Kian Bumenarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.

“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.

Ceng Liong tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku.”

Kian Bu menggeleng kepala. “Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”

“Kalau benar demikian?”

“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”

“Ayah hendak membunuhku?”

“Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?”

“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....”

“Ahhh....?”

Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.

“Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”

“Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda, hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”

Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain, untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinun tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena adanya penggunaan.

Suma Kian Bu menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar.”

Pemuda itu mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari malapetaka.”

Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan matang.

“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih o1eh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat, sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum kaukuasai sepenuhnya, baru kauketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es.”

Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu keluarganya. Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!

***

Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walaupun sinarnya telah lama mengusir kabut dan menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.

Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja. Akan tetapi yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan apapun ketika dia memasang kuda-kuda dan menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga. Akan tetapi, tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap diantara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.

Pengintai itu menarik napas panjang dan mengumam seorang diri, “Hebat.... seorang pemuda yang hebat tak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda....” Kakinya bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.

“Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya kalau tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan mengintai.”

Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya.

Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang amat mengagumkan hati Ceng Liong.

Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata, “Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”

Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. “Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!” Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

“Plakk! Plakk!” Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu kini menggunakan lengannya untuk menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan mengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat. Keduanya menjadi semakin gembira ketika mendapat kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka diapun melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.

Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran. Mereka tidak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti inipun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.

Tiba-tiba, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka tersenyum ramah.

“Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”

Suma Kian Bu dan isterinya cepat membalas penghormatan tamu itu. “Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan juga kepada puteranya. Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap tidak mengenal aku, si pemburu miskin ini?”Suma Kian Bu memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan diapun lalu berseru, “Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!” Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.

Sim Hong Bu juga tertawa. “Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Murah, menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”

“Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa.” kata Suma Kian Bu.

“Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”

Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya, “Nah, saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”

“Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah sejak kurang lebih tiga tahun aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengarkan sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pendekar?”

Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala. “Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu dan tidak mendengar apapun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara Sim?”

“Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan membebaskan diri daripada belenggu penjajahan!”

Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan! “Tapi.... tapi....” keduanya menggagap.

Sim Hong Bu bersikap serius. “Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini....!” Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya. “Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?”

Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata mencorong seperti berapi- api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat. Teng Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu.

“Memang, sesungguhnya kamipun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....”

“Tentu saja tidak berdaya kalau kitadiam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan malapetaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?”

“Engkau betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk. “Biarpun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tidak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri. Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apa lagi, saudara Sim?”

“Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebarluaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dau kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menyebarluaskan dan mencari teman sehaluan inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”

“Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri dan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.

“Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.” Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang sejak tadi nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak segembira ayah ibunya.

“Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar. Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.



Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya dan tamu itu, kemudian dia menarik napas panjang. “Nanti dulu, ibu. Aku tidak bisa mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.”

“Hal-hal apakah yang belum kaumengerti?” Ayahnya bertanya.

“Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba saja merobah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”

“Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!” Ibunya berseru menegur. Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.

“Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya.” kata Suma Kian Bu.

“Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain.” kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.

“Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot. Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walaupun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walaupun hal ini patut disayangkan.”

“Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.

“Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut perikemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar maupun pengemis, apabila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa maupun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.”

“Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah Ceng Liong.

Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.

“Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa, dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang pernah kubaca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik daripada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?”

Tiga orang sakti itu menggeleng kepala. “Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapapun jeleknya pemerintahannya, kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang seringkali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.“Akan tetapi, kalau begitu kenapa tidak dari dulu- dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah? Kenapa ayah ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?”

“Itu lain lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu kalau saatnya belum tiba lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.”

“Tapi, bukankah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu pemberontakan seperti itu?”

“Bolehkah aku menjelaskan?” kata Hong Bu dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk, dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam inipun tidak akan didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”

“Kita usir penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya. Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya.

“Ayah, satu pertanyaan lagi.”

“Tanyalah.”

“Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.”

“Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.”

“Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapapun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, bahkan pernah menjadi panglima? Danbibi Puteri Milana juga pernah menjadi panglima? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?”

Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, diapun lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.

“Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tidak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain, sama sekali bukan pemberontakan para patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Seng-san. Memang banyak pula pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?”

Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan diapun menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.

Sampai malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.

“Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya pulau itu.

“Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.

Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk- angguk. “Aku sudah mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.”

“Apakah yang terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma Hui.”

“Bagus! Kamipun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahanya.”

“Dan maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.

“Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan, menyelidiki kemungkinan- kemungkinannya menarik jenderal itu ke pihak kita. Dia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao....”

“Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada bicaranya,” kata Ceng Liong.

Ayahnya mengangguk setuju. “Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”

Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal gin-kang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sin-kang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sin-kang yang diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.



Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”

Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.

Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan hanya potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justeru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit. Sepatunya dari kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Akan tetapi, tidak nampak sebuahpun senjata menempel di tubuhnya. Sepasang matanya tajam bersinar- sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit cupingnya, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa ia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali seperti diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah aseli seperti juga bibirnya.

Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan biarpun dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu. Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras dan dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak- watak aseli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.

“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.

“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekarpun suka bermain cinta, hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.

“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekarpun laki-laki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.

“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha!”
Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.

“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.

Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggauta gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.

Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.

“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.
“Kalian mau apa!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tak dapat dipertahankannya lagi.

“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamahpun tidak, mengganggupun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”

“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”

“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.

Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”

“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.

Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”

“Dan akupun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh!”“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara plak-plak beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka. Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itupun menjadi marah.

“Berani kau memukul kami?” Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu. Kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju dan dari serangan mereka, dapat dilihat bahwa mereka masih mempunyai niat kotor karena serangan mereka itu bukan pukulan melainkan cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya! Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana- sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut dan untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh- aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.

Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan tiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.

Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan ia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.

“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.

Tiga orang itu kini sudah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Kini yang ada dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.

“Haiiiittt....!” Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri merekapun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu. Namun, gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka, maka mereka menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi. Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas. Tiga kali ia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk dan lengan itu tentu saja menjadi lumpuh seketika.

“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.

Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lalu mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.

“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya, sikapnya tenang dan angkuh seolah-olah sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatanya lebih muda dan rendah.

Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi kalau tidak salah, ji-wi adalah orang- orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Dan tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggauta-anggauta Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap seperti penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek- lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”

Wajah dua orang kakek itu berobah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah. “Siancai, nona muda yang bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”

Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”

Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok- pemabok dan pengganggu wanita, juga pembohong-pembohong besar dan pengecut, tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatan mereka!”Si tosu gendut marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan, melintang di depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, hendak pinto melihat sampai di mana kelihaianmu.” Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya, dan ketika menyerangpun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu. Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian- pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat.

Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu sudah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua, kaki menendang ke arah lutut dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!

Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan amat baiknya dan tiga serangan beruntun itupun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena diapun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis. Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Akan tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, diapun segera mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.

“Dukkk....!” Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya menbuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.

“Totiang, apakah engkau masih hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah. Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sin-kangpun gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak memyambar ke arah kepala gadis itu!

“Wuuuuttt....!” Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka iapun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!

“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang. Dua orang kakek itupun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tidak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk dapat mengalahkan gadis itu.

Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.

“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji- wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.

Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkan mencampuri urusan kami dan apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu tadi?”

“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”

“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”

“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukan orang jahat, melainkan puteri pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Iaadalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”

Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biarpun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa namun nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.

“Tapi, nona ini telah melukai tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di sudut yang menguntungkan.

“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”

Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimanapun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid- murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek- lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”

Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak nama karena membela tiga orang murid mabok!

“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.

“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.

Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu
semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dari membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu. Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu.

Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara, dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka dan tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.

“Bi Eng....!”

“Ceng Liong....!”

Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan ia berdiri memandang dengan muka berobah merah sekali. Teringat ia bahwa yang berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!

Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya. Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahtwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.

“Bi Eng.... ah, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”

Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah diri jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!

“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek- kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”

Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan baru aku teringat ketika engkau mengeluarkan suling emas itu.”

Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkaupun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”

“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”
“Yang berobah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”

“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkaudatang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”

Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkaupun datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”

“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”

Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berobah merah. Hampir saja dia tadi menyebut “mertuaku”, bukan “guruku”.

Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar dicari tandingannya. Dan engkau masih mempunyai seorang guru lain daripada ayah bundamu?”

Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”

Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan diapun menarik napas panjang.

“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”

“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”

“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”
“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah padahal dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.

Ceng Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimanapun juga, andaikata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmupun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek- nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab malapetaka yang melenyapkan Pulau Es....”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Apa? Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.

Ceng Liong menghela napas panjang. “Dia berkali- kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan amat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”

“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”

“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”

Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.

Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”

“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”

Tiba-tiba wajah Bi Eng berobah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkau yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”

Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”

Bi Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, akan tetapi mana mungkin aku berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan orang tuaku saja....”

“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walapun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekalipun.”

Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan ia melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan- jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.

“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”

“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapapun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”

Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang, matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang! Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Akan tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh.

“Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.

“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kaucinta itu?”

Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu manjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... eh, memang ada, ya, ada memang....”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kaucinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”

“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.

“Hemm.... dan.... dan iapun cinta padamu?”

Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....” Karena pertanyaan- pertanyaan itu makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka diapun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.

“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”

“Aku.... aku takut, Bi Eng.”

“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”

“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasihat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”

Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta nasihat dariku? Ah, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”

Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.

“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kausimpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”

Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”
“Kalau itu sih belum pernah!”

Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Eh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?

“Aku kan wanita dan yang kaucinta itupun wanita, bukan?”

Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasihatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia mencintaku, dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”

“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, kalau pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tidak menyatakan cintamu, mana ia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasihatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”

“Begitukah nasihatmu, Bi Eng? Gadis itu benar- benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”

“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cintapadamu ....”

Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong, mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.

“Apa....? Apa yang kaukatakan itu....?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”

“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berobah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.

Melihat ini, Ceng Liong menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang menasihatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”

“Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”

“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”

“Tapi.... kita baru saja berjumpa dan kau menyatakan cinta....?”“Bi Eng, sejak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkaupun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”

Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya dan air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan diapun cepat menghampiri dan berlut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.

“Bi Eng.... ah, Bi Eng, kaumaafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah, aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi matipun aku tidak akan membalas.”

Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.

Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”

Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan biarpun pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.

“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain....”

Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berobah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.

“Tapi, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”

Gadis itu terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja....”

“Ah, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”

Gadis itu menggeleng kepala. “Diapun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua, dan kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”

Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!

“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijoodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”

“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”

Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”

“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eug?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”

“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas Kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim- locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu menggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.

“Ceng Liong.....!” Terdengar seruan lemah dan Ceng Liong seperti tertahan kakinya. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.

“Ceng Liong.... jangan.... jangan pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.

“Bi Eng.... apa artinya ini....?” Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan iapun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya. Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinyamembuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambutpun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarangpun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.

“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.

Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”

Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.

“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Biarpun dia belum berpengalaman, dan biarpun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.

Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang sejak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercaya kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, kemudian terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”

Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berobah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.

“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”

“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulupun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Pula, aku amat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi pengrusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”

“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, kenapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”

“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu....”

“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”

“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu agar mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”

“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga. Aku berani bersamamu menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”

Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Akupun tidak takut, Eng-moi....”

Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng- moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimanapun juga, selain lebih tua darimu, akupun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”

“Liong-koko.... ih, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itupun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja. Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan iapun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan merekapun berciuman, canggung namun mesra.

“Eng-moi, aku cinta padamu dan aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”

“Tak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungkan lebih dulu,tanpa memperdulikan isi hati antara yang bersangkutan.”



Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”

“Aku datang ke tempat ini bersama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”

Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu. “Akupun heran mengapa orang- orang seperti mereka itu hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu- ragu akan kebenaran pertemuan ini.”

“Menurut suhu, Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dahulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.

“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”

“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”

Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya, akan tetapi diapun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya dan mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian diapun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.

***

Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang- san itu nampak ramai walaupun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.

Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar- kejar pemerintah karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa. Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan. Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan dan kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga seringkali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan ada pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.

Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggauta yang puluhan orang banyaknya dan nampaklah bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing. Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng. Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur dan mereka itu nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri. Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning seperti pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara, diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam daripada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu. Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang datang dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggung. Sikapnya pendiam dan gagah, juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.

Karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu pria itu menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang. “Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”

Suaranya yang mengandung getaran khi-kang yang kuat itu mengatasi suara berbisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.

Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andaikata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!

Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya memperkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”

Terdengar teriakan “setuju!” dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini, sedangkan mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan. Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itupun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.

“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin tinggal diam saja. Maka sayapun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”

“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.

Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakan bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”

Semua orang kembali berisik menyatakan setuju. Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.

“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa- pai dan teriakan inipun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.

“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak- sorai teman-temannya.Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat agar suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, diapun berkata. “Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon- calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi diajukan sebagai calon. Harapdikemukakan alasan- alasan mengapa dia dicalonkan.” Sim Hong Bu sudah tahu siapa adanya tosu kurus yang memimpin rombongan Pek- lian-pai itu dan dia tahu bahwa biarpun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.

Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu memiliki pengetahuan yang luas disamping itu kepandaian tinggi, dan terutama sekali disamping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”

“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”

“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai. Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.

Sementara itu, sejak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana- sini, mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul. Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka diapun menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya lalu bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan sama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.

“Suhumu memang gagah perkasa.” Ceng Liong memuji lirih.

“Ya, dan kalau menurut aku, tidak ada yang lebih baik daripada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.

“Kalau begitu, kenapa tidak kauusulkan agar dia dicalonkan pula?”

“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?” Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi walaupun tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada, dan dengan pengerahan khi-kang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”

Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng daripada kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.

Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang akan mengajukan calon?”

Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!

“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.

“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”

Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai- goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah jahat, walaupun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar! Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar.Sebelum yang lain-lain mengemukakan pendapatnya dan sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian- li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!

“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat. Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.

“Heh, kau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.

“Dukk....!” Pertemuan dua buah lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tidak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenagabesar, maka melibat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerangpun terjadilah dengan serunya.

Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan keduanya selalu terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa- pai.

“Plakk! Plakk!” kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu dan demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itupun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.

“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka. Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja merekapun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa- pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jerih, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.

Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, lalu berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau- balau. Pertama ingin kami mendengar apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”

“Siancai....! Itulah yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking sehingga terdengar jelas karena memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khi-kangnya. Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang tadi dicalonkan menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu.

Ceng Liong sejak tadi merasa tidak setuju dengan sikap para tokoh yang hendak melakukan pemilihan bengcu melalui adu ilmu silat. Dan diapun melihat sesuatu yang menarik hatinya, yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap dengan Sim Hong Bu. Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk pemuda itu. Dia lalu bertanya kepada Bi Eng siapa adanya pemuda yang baru muncul itu. Bi Eng menoleh ketika ia memandang pemuda itu, wajahnya menjadi merah sekali.

“Itulah putera suhu....” katanya lirih.

Jantung dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi Eng tidak mencintanya dan memilih dia!

Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ketawa ini mengatasi semua suara berisik sehingga semua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu. Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa, maka semua orang dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang kesemuanya cantik- cantik. Mereka yang berada di situ, hanya ada beberapa orang saja yang sudah mengenalnya. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada mengejek. “Pertemuan macam apakah ini? Pertemuan antara orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah pertemuan gerombolan tukang pukul yang hendak pamer kepandaian silat? Ha-ha-ha, sungguh lucu!”

Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa adanya kakek itu, akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.

“Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang tidak setuju boleh mundur!”

“Harap cu-wi pikirkan baik-baik!” Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang lawan.

“Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara tentang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya. Nah, calon-calon sudah diambil dan kini tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!”

“Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang berseru. Sebagai ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan, maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu ini.

Sim Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas minta agar semua orang tenang. Kemudian dia berkata kepada Giam San-jin. “Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas.”

Giam San-jin tertawa. “Ha-ha, siapa yang tidak tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua ini adalah orang-orang yang sejak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada orang yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan siapa yang patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin pertemuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian, cu-wi yang mulia?”

Ucapan ketua Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada saat itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak lancang dan terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.

“Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”

Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong dan sejenak dia memandang tajam, kemudian dia mengangguk. “Silahkan, dan mudah-mudahan kekacauan ini dapat diredakan,” katanya sambil mundur.

Giam San-jin mengerutkan alisnya memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan hendak bicara itu, akan tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek. “Cu-wi sekalian, perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi mempertimbangkan dengan baik-baik.”

Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara pemuda ini terkandung getaran yang amat hebat, yang terasa sampai ke jantung mereka, tanda bahwa kekuatan khi-kang pemuda yang bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang memandan kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda itu.

Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan dalam pertemuan ini, maka dengan sikap tenang namun tegas diapun mulai bicara, suaranya tetap lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan baik oleh mereka semua.

“Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak cu-wi untuk merenungkan sejenak dan menjawab pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh datang berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini? Jawabannya tentu mudah dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan. Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan bengcu, kita tidak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan bahkan saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang dipergunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!”

Ucapan pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini menjadi penghalang yang menentangnya.

“Cara apapun yang kita adakan, adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik. Tujuan kita memilih bengcu yang benar-benar patut kita jadikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang menganggap diri pendekar?” demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai membantah, juga dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya sehingga terdengar lantang.

“Maaf,” kata Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata menentang pendapat itu, melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan amat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apalagi yang tewas tentu menimbulkan dendam dan hal ini akan memecah-belah persatuan antara kita. Pula, harus diingat bahwa seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu perang, walaupun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para pejuang yang bertempur. Yang penting adalah caranya untuk bersatu, karena caralah yang menentukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan.”

Semua orang yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama yang tadi menyetujui diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu, akan tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, merekapun ingin sekali kalau pibu diadakan agar mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu. Sementara itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda remaja yang tidak dikenal itu. Maka diapun melangkah maju menghampiri Ceng Liong dan menegur keras.

“Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimanapun juga, kami tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasihat-nasihat seorang bocah hijau seperti engkau!”Tentu saja ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai berobah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.

“Locianpwe,” katanya dengan sikap hormat. “Bagimanapun juga, saya akan menentang pibu yang diadakan untuk pemilihan bengcu.” Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas sekali. Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itupun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.

Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani menentangnya! “Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, ataukah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?”

Ceng Liong menggeleng kepala. “Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”

“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku melanjntkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani menentangku?”

“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapapun juga akan saya tentang kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.

“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan dulu siapa namamu?”

“Nama saya Suma Ceng Liong.”

“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.

“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya. Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.

“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”

Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya, karena memang banyak di antara pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.

“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.

Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya meruncing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak, “Mata-mata Mancu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”

Ceng Liong tersenyum pahit. Tak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia untuk membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun gerombolannya. Maka, diapun harus memberantasnya!

“Giam San-jin, akupun sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata. Majulah, bakan pribadimu yang kulawan, melainkan sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!”

“Bocah sombong! Engkau yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu. Seorang pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!

Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biarpun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja. Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kalipun totokan-totokannya menemui sasaran!

Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar. Namun, lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangannya yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan kanak-kanak saja.

Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang kesemuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan. Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimanapun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.

Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalahartikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Geng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.

Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri. Biarpun dia masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.

Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.

“Hyaaaat....!” Ceng Liong mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan. Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi diapun bukan seorang lemah. Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun serangan Ceng Liong yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong! Rambut itu bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sin-kangnya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.

Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan. Giam San-jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.

“Plakk....!” Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.

“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!” Ceng Liong berkata sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq tidak diharapkan itu.

Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul dan tangguh. Dia berseru. “Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya. Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.

Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata. Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.

Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah membantunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika pemuda itu menyahut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!

“Braaakkkk....!” Begitu tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah mempergunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yaug dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.Pada saat itu, terdengarlah suara halus. “Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat merangkak dan menggonggong!” Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendakmemasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!

Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan diapun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu. Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang tidak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.

Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan itupun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan! Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan tuan!

Ceng Liong sendiripun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!

Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.

“Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak memberontak walaupun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu. Pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”

Isterinya setuju. “Memang, akupun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”

Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee terkejut sekali.

“Bu-te, masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiripun dapat mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan bahkan enci Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”

Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana bersama suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.

Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah gedung Jenderal Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara untuk merencanakan pemberontakan menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.

Jenderal muda ini mengangguk-angguk. “Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Akan tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi berita ini.”

“Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang harus kita ambil.”

Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu lalu bicara, suaranya halus akan tetapi tegas. “Kita anggauta keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Akan tetapi dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air daripada penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat jelata.”

Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari tangan penjajah Mancu itu.

Demikianlah, dengan jalan menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua orang memandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pasukan tentara penyerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!

Bagaimanakah tempat itu begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing tadi.

“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”

Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.

Sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Akan tetapi, bagaimana tiba-tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biarpun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi diapun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.

Lalu siapa pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja, yang menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak. Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga menjadi anggauta para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng! Setelah berhasil mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu dan pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja.

Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan kepada kaisar dan dia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya! Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja ketika mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!

Kaisai lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu. “Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.

“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak tidaklah tepat, sri baginda!” Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ terkejut. Orang ini sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang, tidak menjadi marah, hanya merasa heran.

“Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong adalah seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan mampu menandingi para pendekar!”

“Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba atas dasar perhitungan yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang memimpin pasukan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah kalau paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”

Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon agar diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar itu!“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kaucoba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”

Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.

“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”

Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.

“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!” Jenderal Cao Hui menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka diapun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.

“Ciangkun, maafkan saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan menyambut serangan panglima itu. Gerakannya ini cepat bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.

“Plakk!” Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikitpun tidak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main. Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, akan tetapi kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikitpun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal inipun diketahui oleh Cao-goanswe, maka diapun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.

“Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”

Kaisar Kian Liong juga bukan seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walaupun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.

Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberitahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Mendengar ini, keluarga inipun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu lebih dulu daripada para perajurit pemerintah.

Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga. Akan tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru. “Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!”

Ucapan ini disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan siap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.

“Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka dan membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim Hong Bu berseru dan ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk memimpin.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Tahan dulu....!” dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang. “Saudara-saudara, dengarlah dulu sebelum turun tangan!”

Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.

“Siapakah mereka itu....?” Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di dekatnya. Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.

“Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es....”
“Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu....?” gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.

“Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.”
“Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?”

“Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula....”

“Ahh....!” Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dankagum. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat melihat mereka semua.

Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggauta keluarga itu. Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan, mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka. Ci Hong Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru. “Mereka adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Merekalah yang membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?” Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.

“Saudara sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. “Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang tidak tepat pada waktunya. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian agar menyerah dan jangan melawan!”

“Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan bangsamu!”

“Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”

“Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.

“Cu-wi, dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring. “Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan aku datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian Liong, harus diakui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup rakyat tidak sengsara. Pula pemerintah ini selalu menentang golongan jahat dan melindungi rakyat.”

“Engkau penjilat orang Mancu! Huh, tak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.

Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang. “Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan merajalelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan pemerintah sekarang amatlah kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andaikata dapat menang, hal yang sungguh tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum siap. Andaikata menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”

“Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lalu tindakan kami seperti apakah yang akan kauanggap gagah? Apakah kami harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha, itukah yang akan kauanggap sebagai perbuatan gagah?”

Kao Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap (baca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman ).

Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hormat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. “Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka. Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk membantu pemberontakan, melainkan untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi ini.”

“Nanti dulu, orang muda!” Tiba-tiha terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini sudah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan keluarga Pulau Es. “Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”

Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong Bu. “Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorangpun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiripun mengerti tentang jiwa patriot yang berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini akupun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingat, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa gelintir pendekar saja. Dan untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan yang lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.”

“Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian Lee.

“Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata Jenderal Kao Cin Liong.

“Akupun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini karena bagaimanapun juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan kalau cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu besar.”

“Omong kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru keras sekali. “Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!”

Ucapan Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak terbawa emosi dandapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.

“Kita lawan sampai mati....!” Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.

Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan diapun berteriak. “Kita adalah patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!” Sikap Sim Hong Bu ini menambah semangat mereka dan kembali para pendekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini Sim Houw putera Sim Hong Bu juga melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.

“Eng-moi....!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh semangat dan iapun sudah melolos suling emasnya.

Pada saat itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar. Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini maka dia memberi waktu habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan kini terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!

Melihat ini, Puteri Milana berseru. “Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!”

Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungnn. Adapun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing dan berpencaran untuk menyambut serbuan para perajurit pemerintah.

“Liong-ji....!” Teng Siang In berseru keras ketika melihat puteranya meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!“Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng Liong dan ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali. Ia tadi melihat betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu. Diam-diam ia merasa gelisah sekali, akan tetapi karena iapun bertugas melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat itu. Pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya? Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rambongan mereka yang mengelilingi para pendekar yang tidak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian berseru. “Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”

Para perajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar perajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini. Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu! Biarpun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!

Hutan Cemara yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini berobah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu mengamuk dan para perajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali amukan Bu-taihiap dan empat orang isterinya. Segera mayat para perajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka. Tak kalah hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berobah menjadi seekor naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya. Sim Houw yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya dan biarpun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi. Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan biarpun setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tidak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya. Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidak sedahsyat Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang inipun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.

Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong! “Eng-moi, jangan....!” kata pemuda itu dan Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang di depannya.

“Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tak disangkanya bahwa terjadi perpecahan antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!

“Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan lanjutkan....!” Ceng Liong berkeras menahannya. Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng dan ia menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.

“Koko, kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!”

“Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihat, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan tetapi kamipun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau ikut denganku, pergi, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini. Lihat, tidak mengerikankah semua ini....?” Ceng Liong membuka kedua tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.

Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.

“Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!”

“Tidak, Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita pergi saja dari sini, Eng-moi....”

“Tidak, koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.

“Aih, Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi kalau memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kaubunuhlah aku lebih dahulu daripada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan aku menjadi menyesal dan berduka.” Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis itu. Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali dan suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu menangis!

“Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong. Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka diapun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.

Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau tunangan Bi Eng! Dan pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biarpun belum sempurna, keampuhannya sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup!

Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali dan cepat diapun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya ilmu pedangnya.

Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali. Bagaimanapun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk melawan. Maka, biarpun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.

“Brettt....!” Biarpun kulit tubuhnya belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang. Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja membuktikan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.

“Tringgg....!” Tiba-tiba nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang masih terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis sebatang suling emas.

“Nona Kam.... kau.... kenapa....?” Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak memandang wajah Bi Eng. Biarpun gadis ini dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya gadis itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita. Oleh karena itu dia merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan “nona”. Tentu saja pemuda ini merasa kaget dan heran sekali melihat betapa tunangannya itu menangkis pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi nampak bingung dan menangis!

“Sim-koko, jangan serang dia!” kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata. Pada saat itu empat orang perajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang perajurit itu tanpa dapat bangun maupun bergerak lagi.

“Eng-moi, mari kita pergi....!” kata Ceng Liong. Bi Eng nampak ragu-ragu dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.

Pada saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan orang perwira dan perajurit pemerintah. Di antara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang laki-laki yang gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya terkejut karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong Kiam-sut! Ayahnya bukan hanya terdesak, akan tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya mandi darah dan biarpun pedang Pek-kong Po-kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa orang, namun luka-luka di tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan membuat ayahnya terhuyung-huyung. Kiranya, betapapun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang tak pernah berkurang jumlahnya karena setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini kehabisan tenaga dan berkurang kecepatannya sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.

“Ayah....!” Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung ketat itu dan diapun mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara melengking-lengking dan banyak perajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya. Akibat kehebatan pemuda ini, Tek Ciang sendiri menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Tadipun dia sudah mengenal Kai-liong Kiam-sut. Sebagai murid keluarga Cu, tentu saja dia sudah mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap murid bahkan mantu durhaka dari keluarga Cu itu. Maka ketika dia mengeroyok pendekar itu, dia mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut yang mempunyai dasar-dasar gerakan mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu, dan melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang untuk membunuhnya. Guru-gurunya sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang itu dan kini dia mendapatkan kenyataan betapa lihainya pendekar itu. Akan tetapi setelah dia dan kawan-kawannya hampir berhasil merobohkan Sim Hong Bu, tiba-tiba muncul pemuda yang amat lihai itu.

“Ayah....!” Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok ayahnya kocar-kacir.

“Houw-ji.... aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah dirimu.... engkau tidak boleh mati.... engkau harus melanjutkan perjuanganku kelak.... menyusun tenaga baru....” Sim Hong Bu terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah, pedangnya melintang di depan dada.

“Tidak, ayah.... aku harus melindungimu....”

Pada saat itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali merampas pedang pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai dan mengepung lalu menerjang ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara Sim Houw dan Tek Ciang. Sim Houw terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini amat tangguh, bukan hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu pula membalasnya dengan amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat melihat semakin nyata bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang ini mirip dengan Koai-liong Kiam-sut! Maka diapun memutar pedangnya dan begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam-sut dan Sin-siauw Kiam-sut, Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat! Suara melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkannya akan suara tiupansuling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.

Sementara itu, keadaan Sim Hong Bu semakin payah. Karena terlalu banyak mengeluarkan darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berkurang tenaganya dan menghadapi pengeroyokan para perwira, biarpun dia masih berbahaya dandapat merobohkan lawan yang terlalu dekat dengannya, namun dia menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan tubuhnya semakin terhuyun-huyung.

Melihat keadaan ayahnya ini Sim Houw memutar pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan melindungi ayahnya. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang panjang dan luas, membuat para pengeroyok Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Tek Ciang bersama kawan-kawannya datang menyerbu. Sim Houw merangkul ayahnya dan ayah ini berkata. “Houw-ji, pergunakan pedang ini, pergunakan Pek-kong Po-kiam....”

Sim Houw bertukar pedang dengan ayahnya dan begitu dia memutar Pek-kong Po-kiam, akibatnya hebat empat orang perwira terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa melompat mundur sampai jauh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk memondong ayahnya yang sudah lemah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.

“Pemberontak, hendak lari ke mana kau?” Tek Ciang yang menginginkan pedang pusaka itu melakukan pengejaran. Akan tetapi Sim Houw bersama ayahnya sudah menghilang di antara banyak perajurit yang masih bertempur dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa dan marah, lalu membantu para perajurit yang masih mengepung para pendekar.

Keluarga Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini lihai bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat orang isterinya adalah wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang dahulu terkenal dengan julukan Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa), bekas isteri tokoh keluarga Cu yang lihai, kini biarpun sudah berusia enam puluh tahun, masih ganas dan lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas nikouw itupun mengamuk di samping suaminya. Puteri Nandini, puteri Nepal yang menjadi seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima Nepal dan memang sejak dahulu ia bermusuhan dengan pemerintah, maka kini ia memperoleh kesempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak sekali perajurit yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang bongkok bernama Gan Cui yang juga lihai sekali. Nenek inipun mengamuk dan keluarga Bu yang terdiri dari lima orang ini telah merobohkan puluhan orang perajurit pemerintah.

Selain keluarga Bu ini, juga para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga para pendekar Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah orang-orang Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dahulu memang merupakan musuh-musuh lama pemerintah. Perang kecil itu terjadi di Hutan Cemara dan biarpun ratusan orang perajurit pemerintah roboh dan tewas, namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan karena kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.

Mulailah sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena melihat bahwa perlawanan mereka akan sia-sia saja, di antara mereka itupun mulai menyelinap dan mencari kesempatan menyelamatkan diri dari pembantaian para perajurit. Akan tetapi Bu-taihiap bersama empat orang isterinya tidak mau mundur selangkahpun! Bu-taihiap yang sudah tua itu agaknya tahu bahwa usianya tidak akan lama lagi dan dia memilih mati sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa.Agaknya empat orang isterinya itn amat setia kepadanya dan juga berpendirian sama maka merekapun mengamuk di samping suami mereka itu, sedikitpun tidak ingin mundur.

Akan tetapi, seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga Bu-taihiap ini ada batasnya. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh tewas di tangan mereka, akan tetapi saking banyaknya jumlah lawan, merekapun mulai kehabisan tenaga dan mulai terkena senjata lawan sehingga luka-luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari empat isteri Bu-taihiap itupun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnyapun roboh. Dia dan isteri-isterinya telah mempertahankan diri sampai titik darah terakhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang yang amat gagah perkasa. Perihal mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan Cemara itu akan selalu dikenang oleh para patriot di sepanjang masa. Mereka yang akhirnya berhasil lolos dari Hutan Cemara itulah yang bercerita tentang kegagahan keluarga Bu-taihiap dan pertempuran di Hutan Cemara itu terkenal dengan nama Banjir Darah Di Hutan Cemara.

Di antara seratus lebih orang yang melawan pasukan pemerintah, hanya ada belasan orang saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur di bawah hujan senjata. Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya kurang dari seratus orang itu ditebus dengan nyawa hampir seribu orang perajurit Mancu!

Louw Tek Ciang merasa gemas sekali melihat betapa keluarga Pulau Es berhasil menyadarkan banyak pendekar yang kemudian hanya digiring ke kota raja oleh Jenderal Cao seperti yang diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana. Tek Ciang tidak berani membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan muka di depan keluarga Pulau Es, melainkan mendahului pasukan pulang ke kota raja.

Barulah ketika keluarga Pulau Es diperkenankan menghadap kaisar bersama para pendekar yang urung memberontak, Tek Ciang menyelinap di antara para panglima. Ketika Cin Liong dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang berada di antara para panglima menghadap kaisar, mereka terkejut bukan main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan para keluarga Pendekar Pulau Es inipun diam-diam tahu siapakah yang menjadi pengkhianatnya sehingga pertemuan antara pendekar itu sampai diketahui kaisar dan disergap. Tentu iblis itulah yang menjadi biang keladinya. Akan tetapi keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah terjadi dan bagaimana iblis itu memperoleh kepercayaan kaisar. Hanya seorang di antara para pendekar yang berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya. Ketika berada di Hutan Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia berkesempatan bertemu dengan wakil Kun-lun-pai dan dia mendengar bahwa kekasihnya, Can Kui Eng, terbunuh oleh susioknya sendiri. Ketika dia bertanya dengan hati hancur tentang surat titipannya yang ditujukan kepada seorang panglima di kota raja, para wakil Kun-lun-pai tidak tahu. Mereka hanya menceritakan bahwa juga sebuah kitab pelajaran lenyap dari kamar perpustakaan Kun-lun-pai.

Ketika keluarga Pulau Es muncul dan menyadarkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan lima orang sutenya dari Kong-thong-pai juga ikut sadar dan menggabung dengan keluarga Pulau Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi setengah lumpuh oleh berita tentang kematian kekasihnya. Juga wakil-wakil Kun-lun-pai yang dapat melihat keadaan, ikut dalam rombongan keluarga Pulau Es. Ketika berada di dalam rombongan itu dan hanya menyaksikan terjadinya pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang melihat Louw Tek Ciang di antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu adalah seorang tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui Eng.

Karena itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar, Kwee Cin Koan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang dengan bermacam perasaan. Orang itulah yang tahu tentang kematian kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang akan dapat memberi keterangan dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya tidak mau banyak bicara tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiripun merasa sungkan untuk mendesak.

Kaisar Kian Liong merasa sedih mendengar pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara. Dia merasa penasaran sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya, bahkan tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah menolongnya ketika dia masih pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, ikut pula menjadi pemberontak dan tewas oleh pasukannya.

“Penasaran! Penasaran!” Kaisar menepuk-nepuk pahanya dengan wajah murung. “Mengapa mereka itu memberontak? Mengapa para pendekar yang dahulu selalu melindungiku, kini malah memberontak dan memusuhi aku?”

“Maaf, sri baginda,” tiba-tiba Puteri Milana berkata sudah memberi hormat. “Sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka secara pribadi.”

Kaisar memandang kepada nenek itu dengan alis berkerut. “Bibi Milana, engkau yang termasuk pendekar, akan tetapi pernah pula menjadi panglima kerajaan, jelaskanlah apa yang menyebabkan mereka memberontak kalau mereka tidak membenci dan memusuhi aku?”

Wanita itu kembali memberi hormat. “Hamba tahu benar bahwa para pendekar itu pada umumnya sayang kepada paduka, menjunjung tinggi keadilan dan memuji dengan kagum kebijaksanaan paduka di dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para pendekar itu merasa tidak senang melihat betapa tanah air mereka terjajah. Itulah sebabnya mengapa mereka memberontak.”

Kaisar Kian Liong menjadi lemas dan menundukkan muka sampai lama, berulang kali menarik napas panjang. Jauh di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh para pendekar itu. Dan apakah yang dapat dilakukannya? Penjajahan dari bangsanya, Bangsa Mancu, terhadap selurah Tiongkok ini dilakukan oleh nenek moyangnya dan dia hanya sebagai keturunan yang melanjutkan pemerintahan saja. Namun dia sudah berusaha untuk mendirikan pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari hati para pendekar.

“Dan bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa menghadap itu?” tanya kaisar kemudian, dengan sinar mata kesal memandang kepada mereka yang menghadap, berlutut di situ dan menundukkan muka.

“Hamba dan Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah kepada paduka,” kata Puteri Milana.

Kaisar menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar mengerutkan alisnya. Dia teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya dia sendiri mencurigai Jenderal Kao ini dan keluarga Pulau Es, akan tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga Pulau Es yang telah menyadarkan sebagian para pendekar dan karena itu maka pertempuran tidaklah sehebat kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan betapa hebatnya dan betapa banyaknya perajurit yang akan tewas sekiranya keluarga Pendekar Pulau Es ikut pula memberontak!

“Bagaimana, Kao-ciangkun? Apa keteranganmu tentang semua peristiwa ini?”

Cin Liong melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata dengan suara lantang, sedikitpun tidak kelihatan takut. “Harap sri baginda maafkan kalau hamba bicara secara terus terang saja. Sebetulnya, para pendekar yang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu sama sekali belum melakukan perbuatan memberontak. Para pendekar itu hanya ingin mengadakan pertemuan dan memilih seorang bengcu di antara mereka. Memang, harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai jiwa patriot dan merasa tidak suka akan penjajahan. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum ada rencana pemberontakan atau gerakan memberontak.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Boleh jadi demikian, akan tetapi mereka telah bersekongkol dengan Jenderal Gan!”

“Hamba tidak tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa para pendekar itu mengadakan pertemuan dan begitu hamba mendengar tentang persekutuan dengan Jenderal Gan dan ditangkapnya panglima itu, hamba bersama keluarga Pulau Es segera pergi ke Hutan Cemara untuk menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian dari mereka tidak mau dibujuk sehingga terjadi pertempuran itu. Akan tetapi, hamba telah berjanji kepada mereka yang sadar untuk memintakan ampun kepada paduka dan hamba percaya akan kebijaksanaan paduka untuk mengampuni saudara-saudara yang sama sekali belum memperlihatkan perbuatan memberontak ini.”

“Hamba juga memohonkan ampun bagi mereka,” kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.

Kaisar Kian Liong menghela napas panjang. “Baiklah, kami mengampuni mereka, akan tetapi mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan mengadakan persekutuan untuk memberontak lagi, kami akan bertindak dan tidak akan dapat mengampuni mereka lagi.” Para pendekar menghaturkan terima kasih atas kebijaksanaan kaisar. Mereka lalu diperkenankan keluar dari istana.

Peristiwa di Hutan Cemara itu tidak habis sampai di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa betapa sejak itu sikap kaisar berobah terhadap dirinya, dan karena dia sendiripun merasa betapa batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan setia kawan kepada para pendekar dan patriot, lalu tidak lama kemudian mengajukan permintaan untuk mengundurkan diri. Permohonan yang kedua kalinya ini tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu saja yang mendorong Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain lagi, yaitu ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh kaisar, diangkat menjadi seorang pembesar militer yang bertugas di utara!

“Si keparat itu!” Isterinya, Suma Hui mengepal tinju dan wajahnya nampak membayangkan kebencian. “Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau sampai dia menjadi pembesar, maka usahaku membalas kepadanya tentu akan mudah dicap pemberontak.” Demikian antara lain isterinya mengeluh dan akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri mengajukan permohonan kepada kaisar untuk meletakkan jabatannya. Setelah urusan itu selesai, dia bersama isterinya mulai melakukan penyelidikan dan mencari kesempatan untuk dapat menyergap Louw Tek Ciang dan membalas dendam sebelum oran itu memegang jabatannya di utara.




Ayah....!” Sim Houw mengeluh dengan sedih. Ayahnya terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya. Kini dia meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh hutan. “Ayah, bagaimana keadaanmu?”

Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang mata itupun sudah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.

“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng....?”

Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es. “Tadi aku tahu, ayah, akan tetapi ia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang. Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?

“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong....?”

“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu....”

“Dia.... dia cucu Peudekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara kalian....”

“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”

“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng....?”

Sim Houw menjadi semakin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berobah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?

“Ayah, kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biarpun kami sudah saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”

Anehnya mendengar ucapan, itu wajah orang tua itu nampak girang! “Bagus, bagus.... ah, senang hatiku mendengar ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi....”

Sim Houw membelalakkan matanya. “Ayah, apa.... apa maksudmu?” Dia masih bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal perjodohan yang harus dia putuskan itu.Ayahnya yang sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa detik lamanya, lalu pegangannya mengendur. “Dengar baik-baik.... Bi Eng saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku melihat dan mendengarnya sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan ayahmu.... ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali- kali.... menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma....” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai lemas.

“Ayaaaahhh....!” Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu. Baru detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang amat dicintanya. Ibunya tidak pernah memperdulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan hatinya itu. Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa jatuh cinta kepada gadis itu.

“Ayah....!” Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.

Pada saat itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang. Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu berada dalam bingung dan ragu.

“Suhu....!”
Sim Houw menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungan sendiri, pemuda yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan diapun memejamkan hatinya, lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.

“Suhu....!” Sekali lagi Bi Eng berseru dan kini gadis itupun lari menghampiri, lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah gurunya, tak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi pipinya. Sejenak ia terisak. Gurunya adalah seorang yang amat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya.

Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah. “Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”

“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah telah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!” Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng Lioug. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.

“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri sendiri.

Sim Houw menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih berlutut, “Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kaubela di Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”

Wajah gadis itu berobah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apapun resikonya ia berani menghadapinya. Maka iapun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu kini berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka iapun menyebut suheng kepadanya.

“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”

Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.

“Kam-sumoi, bagaimanapun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah ditunangkan dan sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”

“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.

“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”

Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini amat mengejutkan Bi Eng. Tak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, ia menjadi terkejut dan sejenak ia bungkam tak mampu mengeluarkan jawaban!

“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia mengangguk. “Benar, suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.

Kini Sim Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah siap untuk menghadapi serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya, melainkan bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.

“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”

Ceng Liong mengangguk perlahan. “Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”

Sim Houw menarik napas panjang. “Bagus, aku hargai kejujuran kalian berdua. Sekarang bereslah sudah....” dan diapun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.

“Sim-suheng.... kau.... kaumaafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.

Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggeleng kepala. “Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Akupun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi, karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan antara kita.”

Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali. “Suheng, betapa bijaksana hatimu....”

Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku....”
“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.

“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”

“Ah, suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng cemas. Gurunya amat sayang kepadanya dan hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya. Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.

“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua pihak takkan mendatangkan kebahagiaan, oleh karena itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”

“Ah, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian....” kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang suhunya.

“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”

“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”

“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah....!” Pemuda itu menutupi kedua mukanya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.

Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya daripada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.

Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak menyenangkan.

Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak perduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa ikatan-ikatan ini hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.



Suma Ceng Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam Hong dan Bu Ci Sian. Dengan terus terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri ini dan menceritakan segala hal tentang diri mereka, tentang pertemuan di Hutan Cemara, tentang tewasnya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara mereka dan tentang pertemuan mereka dengan Sim Houw.

Mula-mula Kam Hong dan isterinya terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong mengerutkan alisnya dan memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong Bu gugur, dia marah harus memegang teguh perjanjiannya dengan sahabat itu.

“Bi Eng, bagaimana engkau dapat mengharapkan aku melanggar janji terhadap seorang sahabat yang telah meninggal dunia?” katanya dengan nada lebih banyak menegur daripada bertanya.

“Ayah, suhu Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim Houw suheng.”

“Sudahlah, aku baru mau mempertimbangkannya kalau sudah mendengar sendiri penuturan Sim Houw!”

Biarpun dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah kekasihnya itu. Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia merasa canggung sekali, akan tetapi demi cintanya terhadap Bi Eng, diapun mempertahankan diri. Apalagi sikap Bi Eng amat manis dan gadis ini selalu membesarkan hatinya.

Akhirnya, saat yang dinanti-nantikanpun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini menjatuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan tak dapat menahan cucuran air matanya. Kam Hong dan isterinya merasa terharu sekali.

“Kami telah mendengar tentang kematian ayahmu, Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air matamu. Ayahmu tewas sebagai seorang pendekar dan patriot sejati yang gugur dalam perjuangan yang patut. Tak perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar kalau mudah saja mencucurkan air matanya.”

“Maaf, suhu, maafkan kelemahan teecu,” jawab Sim Houw.

Seperti yang sudah direncanakan dengan isterinya, apalagi di situ tidak terdapat Bi Eng dan Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong memancing. “Sim Houw, setelah ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu untuk mempercepat pelaksanaan pernikahanmu dengan Bi Eng....”

“Tidak, suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan antara teecu dan sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan....”

Kam Hong pura-pura kaget dan marah. “Sim Houw! Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Apa maksudmu?”

“Suhu, sebelum meninggal, ayah berpesan kepada teecu agar teecu menghadap suhu dan menyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar diputuskan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Kalau begitu puterinya tidak berbohong. “Apa alasannya mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?”

“Sederhana saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh dengan teecu, maksud teecu.... eh, sumoi dan teecu tidak saling mencinta....”

Inilah keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan isterinya. “Sim Houw, katakan sekali lagi, apakah benar-benar engkau tidak mencinta Bi Eng?” tanya Bu Ci Sian.

Sim Houw merasa bingung dan takut menghadapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku sejujurnya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya tidak akan suka dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat manis itu? Akan tetapi dia sendiripun tidak tahu apakah dia mencinta Bi Eng, suatu perasaan yang belum pernah dirasakannya. Yang jelas, mendengar bahwa Bi Eng mencinta pemuda lain, dia tidak merasa duka atau marah.

“Subo, maafkanlah teecu. Tentu saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang sebagai saudara seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta seorang pemuda lain. Bagaimana teecu dan ia dapat saling mencinta? Dan menurut ayah, jodoh tanpa cinta hanya akan berakhir dengan duka nestapa.”

Mendengar ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berobah pucat. Dahulu, dahulu sekali, ketika Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi seorang pemuda, Hong Bu pernah mati-matian jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia tidak membalas cintanya dan ia mencinta Kam Hong. Kemudian Sim Hong Bu menikah dengan Cu Pek In. Iapun menarik napas panjang dan tenggelam dalam kenangan.

Kam Hong merasa lega sekali mendengar ucapan muridnya ini. Jadi benar semua keterangan puterinya. Puterinya saling mencinta dengan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pular Es itu. Dan putusnya tali perjodohan puterinya dengan Sim Houw inipun sudah sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw sendiri.

“Baiklah, kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw. Ketahuilah bahwa sebetulnya kami telah mendengar kesemuanya itu dari Bi Eng.”

“Ah, jadi sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada suhu dan subo? Dan pemuda itu.... eh, maksud teecu, saudara Suma Ceng Liong....”

“Diapun sudah berada di sini. Mereka berdua sudah menceritakan semuanya kepada kami, akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri, Sim Houw.”

Wajah pemuda itu berseri gembira. “Ah, kalau begitu hati teecu menjadi lega dan gembira. Mereka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu amat gagah dan jujur, menjadi calon jodoh sumoi yang amat baik.”

Sim Houw tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan beramah tamah dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersama dari hidangan hasil buruan sepasang muda mudi itu, diapun berpamit dan mendapat doa restu dari suhu dan subonya yang merasa terharu dan kasihan, juga kagum terhadap murid itu.

Perjodohan antara Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong tidak mengalami banyak kesulitan. Suma Kian Bu dan Teng Siang In segera datang berkunjung ke puncak Bukit Nelayan setelah mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pinangan dan diterima dengan senang hati dan gembira oleh Kam Hong dan isterinya.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itupun dirayakan dengan amat meriah, dihadiri oleh orang-orang gagah dari segenap penjuru dan di dalam perayaan ini berkumpullah semua keluarga para pendekar Pulau Es dengan lengkap. Kam Hong dan isterinya merasa bangga dan berbahagia sekali dapat berbesan dengan keluarga Pulau Es apalagi setelah mereka mendengar penuturan mantu mereka tentang riwayatnya sampai dia menjadi murid Hek-i Mo-ong dan diajak menyerbu ke Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya merasa tidak senang melihat pemuda itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi kagum.

Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es. Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam Bi Eng. Dan biarpun Suma Ciang Bun masih merasa kehilangan Gangga, akan tetapi dia semakin matang dan semakin dapat mengenal diri sendiri, perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berobah melalui kewaspadaan.

Sebagai akhir tulisan dalam cerita ini, pengarang mengharapkan mudah-mudahan di samping menghibur dan menemani Anda di kala senggang, juga cerita ini mengandung manfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa kembali di lain kisah!