Rabu, 07 Juli 2021

Slamet Muljana & kontroversinya

 

“Kenyataan historis kadang-kadang terlalu pahit untuk ditelan dan terlalu pedas untuk dirasakan. Namun, sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya.” (Slamet Muljana, 1968).

Slamet Muljana menulis kalimat itu ketika mengantar bukunya, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” (Penerbit Bhratara, Jakarta, 1968). Apa boleh buat, tiga tahun kemudian, 1971, ternyata buku ini dibredel, ditarik, oleh Kejaksaan Agung dengan alasan buku terlarang karena isinya kontroversial, bisa mengganggu stabilitas politik, dan meresahkan masyarakat.

—————————————

SIAPA SLAMET MULJANA

Slamet Muljana lahir di Yogyakarta 21 Maret 1921 (beberapa informasi menyebutkan ia lahir tahun 1929, tetapi ini meragukan). Gelar B.A. diraihnya dari Universitas Gadjah Mada pada 1950, M.A. dari Universitas Indonesia pada 1952, dan gelar doktor dalam bidang sejarah dan filologi (ilmu naskah kuno) dari Universitas Louvain, Belgia pada tahun 1954.

Filologi adalah studi tentang teks-teks sastra dan catatan tertulis, penetapan dari keotentikannya dan keaslian dari pembentukannya dan penentuan maknanya. Filologi juga merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, biasanya dari zaman kuno (Wikipedia, 2014).

Sejak 1958, Slamet Muljana telah menjadi profesor pada Universitas Indonesia. Pekerjaan utamanya adalah dosen dan peneliti, baik di dalam maupun luar negeri, serta pernah menjadi direktur lembaga bahasa dan kebudayaan dan anggota dewan kurator lembaga studi-studi Asia Tenggara.

Slamet Muljana menulis artikel dan buku. Artikel-artikelnya dipublikasi di jurnal dalam dan luar negeri. Sebanyak 18 buku telah ditulisnya. Dari karya-karyanya, boleh dibilang Slamet Muljana telah meneliti dan menulis sejarah dari tahun 400 M (buku “Dari Holotan ke Jayakarta”) sampai tahun 1945 (buku “Kesadaran Nasional-dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan).

Pernah banyak disebutkan bahwa hidup Slamet Muljana adalah untuk Majapahit. Beralasan menyebutnya begitu sebab hampir setengah dari semua buku yang ditulisnya adalah untuk Majapahit. Buku pertamannya tentang Majapahit (“Nagarakrtagama” – 1953), buku terakhirnya pun, yang ditulis tiga tahun sebelum Slamet Muljana meninggal, juga tentang Majapahit (“Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” -1983). Maka boleh disebut lebih dari setengah usia hidupnya dicurahkan untuk Majapahit.

Slamet Muljana selain dikenal sebagai ahli sejarah, ia juga adalah seorang ahli bahasa, menulis beberapa buku tentang kaidah dan politik bahasa Indonesia, juga perbandingan bahasa-bahasa Asia Tenggara. (misalnya buku “Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara” -Balai Pustaka, 1964).

2 Juni 1986 di Jakarta, Slamet Muljana meninggal. Beberapa bukunya diterbitkan kembali oleh Penerbit PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta sejak tahun 2005. Kalau tak diterbitkan kembali, mungkin susah mencari buku-bukunya lagi, apalagi bukunya yang dibredel itu. Kini bukunya yang dibredel itu diterbitkan kembali.

Slamet Muljana juga dikenal sebagai peneliti dan penulis sejarah yang tidak jarang menyebabkan kontroversi karena beberapa karyanya yang memuat kesimpulan-kesimpulan mencengangkan yang berbeda dengan pengetahuan pada umumnya. Dan Slamet Muljana berani mengemukakannya secara terbuka baik melalui artikel-artikelnya di surat kabar, majalah, maupun buku. Tidak jarang pula ia berdebat dengan para ahli sejarah lainnya.

Saya memiliki beberapa buku karya Slamet Muljana, termasuk yang kontroversial, yang akan saya ceritakan lebih jauh berikut ini.

KONTROVERSI ASAL PARA WALI SONGO

Kontroversi Slamet Muljana yang paling terkenal dan menimbulkan reaksi keras muncul dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” (1968). Slamet Muljana sudah menduga dari awal bahwa bukunya ini akan menimbulkan kontroversi, maka ia menulis dalam kata pengantar buku ini seperti yang saya kutip membuka artikel ini.

Di buku ini, Slamet Muljana mengemukakan bahwa berdasarkan penelitiannya atas beberapa naskah yang selama ini jarang dirujuk oleh ahli lainnya (Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, naskah kuno dari Kelenteng Sam Po Kong), bahwa sebagian Wali Songo itu berasal dari Cina, atau Tionghoa peranakan.

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari pembentukan masyrakat Tionghoa Islam pertama di Nusantara yang dibentuk Cheng Ho di Palembang pada tahun 1407 setelah Palembang dibebaskan dari kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan perampok-perampok Hokkian. Raden Patah, seorang peranakan Tionghoa bernama Jin Bun dengan ibu Putri Cina (wanita peranakan) dan ayah Prabu Brawijaya V (Kertabhumi – raja terakhir Majapahit) lahir di Palembang pada 1455, didik secara Islam, dan datang ke Jawa pada 1474.

Di Jawa, dengan bantuan para Wali Songo yang sebagian juga datang dari Cina atau peranakan Tionghoa, Jin Bun mendirikan Kerajaan Demak, kemudian akhirnya menyerang dan meruntuhkan Majapahit pada 1478 yang sedang diperintah oleh ayahnya sendiri, Kertabhumi. Sejak itu pupuslah kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha di Jawa yang sudah ada sejak tahun 400 M, digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Beberapa Wali Songo yang berdarah Cina atau Tionghoa peranakan yang membantu Raden Patah meruntuhkan Majapahit dan menyebarkan agama Islam di Jawa adalah:

1. Bong Swi Hoo/ Raden Rahmat/ Sunan Ampel, asal Yunan yang datang ke Jawa pada 1445 dan membentuk masyarakat Islam Jawa di Ampel,
2. Gan Si Cang/Raden Said/ Sunan Kalijaga, asal seorang kapten kapal Cina di Semarang,
3. Toh A Bo/ Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati, anak Sultan Trenggana (Tung Ka Lo), raja Demak, yang merupakan panglima tentara Demak,
4. Dja Tik Su/ Jafar Sadik/Sunan Kudus,
5. Sunan Bonang, putra Sunan Ampel, peranakan Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa
6. Sunan Giri, murid Sunan Ampel, peranakan Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa

Disamping itu, dikatakan pula bahwa Kerajaan Demak sendiri berturut-turut diperintah oleh raja-raja beretnis Cina: Jin Bun (Raden Patah, 1478-1518), Yat Sun (Adipati Unus, 1518-1521), Tung Ka Lo (Trenggana, 1521-1546), Muk Ming (Sunan Prawata, 1546).

Pendapat Slamet Muljana ini menimbulkan reaksi yang keras baik di masyarakat maupun Pemerintah. Masyarakat selama itu berpendapat bahwa para Wali Songo berasal dari Arab/Hadramaut/Yaman, bukan dari Cina. Pada saat buku ini terbit (1968) saat itu tengah ada sentimen anti-Cina terkait dengan Gerakan 30 September yang diduga disokong oleh Pemerintah Cina. Dengan alasan itu pulalah buku ini dibredel – alasan politis.

Apakah benar atau tidak yang ditulis Slamet Muljana? Para ahli sejarah yang harus membuktikannya sebab buku Slamet Muljana ini belum ada lawannya. Tetapi beberapa fakta menunjukkan bahwa sinyalemen Slamet Muljana mungkin saja benar, misalnya bahwa Raden Patah memang merupakan putra Kertabhumi dengan seorang Putri Cina, sehingga Raden Patah punya darah Cina di samping Jawa.

Semua versi yang ada mengatakan bahwa asal Raden Patah berhubungan dengan Cina.

Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Selir Cina ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat).Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina itu adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong). Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun (orang kuat artinya, atau Al Fatah – pemenang dalam bahasa Arab), putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Cina (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak ini emang memiliki hubungan dengan Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.

Fakta lain adalah bahwa Sunan Ampel, yang berputra Sunan Bonang, juga punya darah Campa/Cina selatan sebab menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Campa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Campa Terakhir Dari Dinasti Ming. Campa lebih dulu menjadi daerah beragama Islam daripada Jawa. Pada abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini telah membawa pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Campa, yang baru terjadi di Jawa 500 tahun kemudian.

Apakah pendapat Slamet Muljana benar atau salah? Sulit menjawabnya. Yang harus dilakukan adalah menggali kembali sumber-sumber sejarah dari mana Slamet Muljana menurunkan kesimpulan-kesimpulannya.

KONTROVERSI FALATEHAN, FATAHILLAH, DAN SUNAN GUNUNG JATI

Pengetahuan umum mengatakan bahwa Falatehan, Fatahillah atau Sunan Gunung Jati itu adalah orang yang sama. Buku Dennys Lombard yang terkenal itu tentang sejarah Jawa (Le Carrefour de Javanais -Jawa: Silang Budaya) juga menyebutkan bahwa Falatehan = Fatahillah = Sunan Gunung Jati.

Namun Slamet Muljana dalam bukunya, “Dari Holotan ke Jayakarta” (1980) mengeluarkan kesimpulan yang mengejutkan : bahwa Falatehan/Fatahillah itu tidak sama dengan Sunan Gunung Jati, itu adalah dua orang yang berbeda. Dalam bukunya tentang masa akhir Majapahit di atas (1968), Slamet Muljana masih menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayat Fatahillah, tetapi di buku Holotan (1980), Slamet Muljana mengoreksinya.

Bahwa Falatehan atau Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati didasarkan Slamet Muljana (1980) atas penelitian naskah Purwaka Tjaruban Nagari tulisan Pangeran Arya Tjarbon (1720). Ini adalah naskah sejarah (babad) lokal wilayah Cirebon. Naskah ini sudah diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Indonesia oleh Sulendraningrat, penanggung jawab Sejarah Cirebon, dan diterbitkan oleh Bhratara (1972).

Naskah Purwaka Caruban Nagari menguraikan dengan jelas bahwa Panglima Demak yang berasal dari Pasai dan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kalapa pada tahun 1526 dan 1527 bernama Fadillah Khan. Slamet Muljana mengatakan bahwa Falatehan ialah transliterasi (pergantian huruf dan bunyi) dari nama asli Fadillah Khan. Nama aslinya adalah : Maulana Fadillah Khan Ibnu Maulana Makhdar Ibrahim al-Gujarat. Kemudian, naskah Purwaka Caruban Nagari pun sama sekali tak menyinggung pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta seperti diberitakan di banyak buku sejarah ketika Falatehan menduduki Sunda Kalapa dan mengusir Portugis. Nama Sunda Kalapa tetap dipakai sampai akhir tahun 1500-an. Tahun 1628, ketika pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia yang saat itu sudah diduduki Belanda (nama Batavia dipakai sejak tahun 1613), naskah Purwaka telah menyebutnya sebagai Jayakarta. Artinya ada pergantian nama dari Sunda Kalapa ke Jayakarta, tetapi itu terjadi sekitar akhir 1500-an dan awal 1600-an, bukan sejak 1527 seperti selama ini diketahui.

Slamet Muljana pun berargumen bahwa Falatehan itu adalah ulama sekaligus panglima perang Islam yang pernah hidup di Pasai , Demak, dan Banten sebelum ke Sunda Kalapa. Bagi ulama Islam seperti Fadillah Khan, nama Arab lebih cocok daripada nama Sanskerta. Seandainya ia mau mengganti nama Sunda Kalapa saat didudukinya, tak mungkin nama Sanskerta yang berbau Hindu seperti Jayakarta yang akan dipilihnya. Setelah menaklukkan Sunda Kalapa, Falatehan diangkat menjadi bupati Sunda Kalapa oleh Susuhunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati).
Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayattullah adalah dua orang yang berbeda. Kedua orang ini memang dua sahabat sebagai sesama ulama Islam.

Di atas Gunung Sembung, sebuah bukit di sekitar Cirebon, tempat makam para leluhur Cirebon, ditemukan makam Sunan Gunung Jati, sementara makam Fadillah Khan ada di Gunung Jati. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568, sedangkan Fadillah Khan (Falatehan/Fatahillah) wafat pada tahun 1570.

Demikian kontroversi soal Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati.

KONTROVERSI KELAHIRAN KOTA JAKARTA

22 Juni adalah hari ulang tahun kota Jakarta. Tanggal tersebut ditentukan sejak tahun 1956 ketika hasil penelitian Mr. Dr. Soekanto, ahli sejarah, diterima Pemerintah dan badan legislatif saat itu. Gubernur Jakarta Sudiro pada tahun 1954 meminta Mr. Mohammad Yamin (negarawan dan ahli hukum), Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan senior Jakarta), dan Mr. Dr. Soekanto (ahli hukum dan sejarah) meneliti kapan sebenarnya kota Jakarta lahir.

Tahun 1527, tahun saat Fatahillah mengalahkan Portugis di Teluk Jakarta telah dianggap sebagai asal kata Jakarta (Jayakarta saat itu), maka jadilah hari lahir Jakarta: 22 Juni 1527. Soekanto mempublikasikan hasil penelitiannya ke dalam buku berjudul, “Dari Jakarta ke Jayakarta : Sejarah Ibukota Kita” (Soekanto, 1954).

Hasil penelitian Sukanto segera direspon oleh para ahli sejarah lain. Yang merespon saat itu adalah antara lain tak kurang dari Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat, doktor pertama Indonesia, yang sejak 1913 telah menjadi doktor sejarah melalui disertasinya yang terkenal tentang sejarah Banten : Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten (Haarlem, 1913) (Tinjauan Kritis Sejarah Banten). Argumen Hoesin Djajadiningrat atas penelitian Soekanto dimuat di Majalah Bahasa dan Budaja volume V no. 3 tahun 1956-1957, hal 3-9. Hoesin Djajadiningrat berkesimpulan bahwa hari lahir kota Jakarta (Jayakarta) adalah 17 Desember 1526. Argumennya adalah bahwa hari itu adalah hari kemenangan Falatehan (Fatahillah) di Jakarta atas Portugis yang konon bertepatan dengan hari kemenangan Nabi Muhammad dalam perang merebut Mekkah. Falatehan adalah seorang ulama yang tawakal, maka sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, konon ia mengucapkan ayat Al Quran ”Inna fatahna laka fathan mubinan” seperti yang diucapkan Nabi Muhammad ketika berhasil merebut Mekkah.

Namun lebih menarik lagi adalah pendapat yang diajukan Prof. Dr. Slamet Muljana, yang muncul dalam rangkaian tulisan ilmiah populer di Koran Suara Karya pada April-Mei 1979. Kemudian, seri tulisan ini dibukukan ke dalam buku berjudul : ”Dari Holotan ke Jayakarta” (Yayasan Idayu, 1980). Slamet Muljana berargumen dan menolak tanggal-tanggal kelahiran Jakarta dari Soekanto maupun Hoesin Djajadiningrat. Menurut Slamet Muljana, nama Jakarta itu bukan nama yang diberikan oleh Fatahillah atau Falatehan saat memenangkan Sunda Kalapa. Nama Jakarta itu berasal dari Piagam Banten yang bertarikh awal 1600-an., sesudah 1602, yaitu sesudah VOC dibentuk sebab di dalam Piagam Banten itu termuat satu kata bukan asli Sunda-Banten. Dr. van der Tuuk (1870), ahli bahasa dan sejarah, menyebutkan pemuatan kata “Jakarta” di piagam itu. Ini adalah kutipan dari Piagam Banten (van der Tuuk, 1870):

“Lamon ana wong Djaketra angambil daon atawa kaju atawa angambil wiru, iku aweja ruba-ruba adjen-adjen sarejal; lamon sih wong Djaketra iku ora anggawa tjap dalem lan surate kumendur, iku tjegahen patjuwun den wehi mandjing ing muwara Putih; lamon maksa ora kena den tjegah, den gelis-gelis matura ing Bumi olija den sih” – yang artinya:

“Jika ada orang Jakarta mengambil daun, atau kayu atau nipah, supaya memberikan uang pengganti. Jika orang Jakarta itu tidak membawa cap istana dan surat dari komandan, supaya ditolak dan dimasukkan ke dalam muara sungai Putih. Jika ia memaksa dan tidak mau ditolak, supaya segera memberitahu Mangku Bumi”.

Laporan Cornelis de Houtman (dalam de Jonge, 1862 : De opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost-Indie 1595-1610 ’s Gravenhage) pada tanggal 14 November 1596 menyebut nama Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta) sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta). Ternyata, bahwa nama Jakarta sudah muncul sejak akhir 1500-an. Bukan nama Jayakarta.

Falatehan sebagai panglima dan ulama Islam saat memenangkan Sunda Kalapa tak mungkin menggunakan nama Sanskerta “Jayakarta” untuk mengganti namanya sebab nama Jayakarta berbau nama Hindu, begitu argumen Slamet Muljana.
Menurut Slamet Muljana, tahun kelahiran Jakarta bukanlah 1527, tetapi 50 atau 60 tahun sesudah itu; bukan mulai pada saat Falatehan menduduki Sunda Kalapa (Sunda Kalapa kala itu adalah pelabuhan Kerajaan Pakuan yang beragama Hindu) pada tahun 1527, tetapi pada masa Pangeran Jayakarta menjadi bupati di Sunda Kalapa, yaitu sesudah tahun 1570.

—————————————————————-

Demikian beberapa kontroversi yang ditemukan di buku-buku Prof. Dr. Slamet Muljana. Menarik buat diikuti, meskipun setelah membacanya akan membuat kita berkata, “Apa benar ya?”

A historical fact can be interpreted in a variety of ways, but regardless of the interpretation, the fact will never change.***

Minggu, 28 Maret 2021

kasus narkoba

 

Praktik pemerasan dan suap-menyuap dalam perkara pidana narkoba telah menjadi rahasia umum. Kejahatan yang sebetulnya ada, tapi berselubung sengap si korban. Sulit diungkap.

Tapi Anto, nama samaran, menolak bungkam. Melalui sebuah surat yang tersimpan dalam memori ponselnya, pria berkacamata itu ingin membuktikan adanya upaya mempermainkan hukum.

Surat berkop instansi penegak hukum itu dikirim kakaknya, Bambang, juga nama samaran, dari dalam penjara. Bambang adalah narapidana kasus narkoba. Surat terlihat resmi, lengkap dengan nomor, tanggal surat, cap, dan tanda tangan pejabat tinggi di instansi tersebut. Sebuah surat penting tentang rekomendasi pemberian hak remisi.

Tidak ada yang salah dengan surat tersebut. Hanya saja, surat itu didapatkan dengan cara ‘membeli’. Berstatus terpidana kasus narkoba yang divonis lebih dari lima tahun, Bambang kehilangan hak remisi. Pria itu rela  membayar puluhan juta rupiah demi selembar surat yang bisa menjadi ‘voucher diskon’ hukuman penjaranya.

“Kita buat surat (rekomendasi), biar dapat remisi, bayar,” ungkap Anto mewakili Bambang saat ditemui belum lama ini.

Jual beli surat remisi, hanya satu dari sekian banyak ‘fasilitas’ yang ditawarkan aparat penegak hukum dalam perkara pidana narkoba. Fasilitas yang disediakan tergantung kebutuhan ‘kliennya’.

Sebelumnya, Bambang pernah mengalami proses panjang pemerasan, atau bisa juga dikatakan suap, saat ditangkap pada awal 2000-an lantaran ketahuan memiliki narkoba.

Saat di-BAP, Bambang dijerat Pasal 82 UU Narkotika dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Pasal yang biasanya digunakan untuk menjerat para pengedar atau bandar narkoba. Polisi lalu menyodorkan tawaran mengganti Pasal 82 dengan Pasal 72 yang lebih ringan ancaman hukumannya. Negosiasi pun dimulai. Tawar-menawar harga berhenti di angka dua puluhan juta rupiah.

“Keluarga saya memang proaktif menghubungi polisi. Tapi memang ada negosiasi di sana. Ngurangin pasal doang, bayar dua puluhan juta. Jadi udah bikin BAP, BAP-nya satu halaman diambil, diganti. Udah cuma gitu aja, men-delete,” tutur Anto yang ikut mengurus kasus kakaknya ini.

Tidak hanya sampai di situ, keluarga Bambang dipaksa mengeluarkan uang untuk membayar ‘fasilitas’ lainnya selama proses persidangan. Kali ini, membayar uang jasa buat jaksa. Anto tidak tahu persis jasa apa yang diberikan oleh aparat kejaksaan itu. Yang pasti, setiap kali sidang, keluarganya harus mengeluarkan ratusan ribu rupiah.

Jaksa lantas menuntut Bambang lima tahun penjara, setengah dari ancaman maksimal pidana penjara dalam Pasal 78 UU Narkotika. Majelis hakim kemudian menjatuhkan vonis lebih ringan, setelah keluarga Bambang memyogok ‘wakil Tuhan’ itu puluhan juta rupiah.

“Total habis 65 juta (rupiah) buat ngurus kasus kakak saya ini. Ibu saya sampai jual rumah,” ujar Anto.

Anto sendiri pernah ditangkap polisi pada 2008 karena narkoba. Ia ditangkap bersama dua orang temannya. Anto merasa lebih beruntung lantaran dilepas setelah semalam berada di kantor polisi. Tentu tidak bebas begitu saja. Ada harga yang harus dibayar.

“Awalnya, minta 30 juta setiap orang, tapi sama kakak teman saya di-nego, jadinya 10 juta (rupiah) masing-masing,” tutur Anto.

Anto dan kawan-kawan pun lepas dari jeratan hukum.

Pola Pemerasan

“Kalau mau ubah pasal ya bisa aja. Angkanya ada di 15 juta. Kalau kamu mau ‘86’ biar bisa turun di jalan juga bisa aja. Kira-kira 150-an lah untuk sendiri, kalau mau berdua dengan temen kamu yang barengan ketangkep kemaren ya jadi 300-an,” ujarnya tanpa tedeng aling-aling.

“Maksudnya turun di jalan itu gimana ya, Pak?’ Rajata sedikit bingung.

“Yaaah, saat kamu diantarkan menuju lembaga rehab di Lido itu nanti kamu bisa turun di jalan. Bisa pulang. Bebas,” petugas itu menjelaskan lebih detail kepada Rajatta yang masih terbingung-bingung.

Percakapan antara Rajatta dan petugas berseragam cokelat itu dikutip dari buku Dari Balik Lima Jeruji terbitan SvaTantra, 2015. Rajatta adalah terpidana kasus narkoba yang ditangkap sekitar 2014 di Jakarta.

Buku tersebut menceritakan kesaksian sejumlah konsumen narkoba yang pernah dipidana. Kisah di dalamnya nyata, ditulis Suksma Ratri berdasarkan hasil penelitian Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) yang memotret sisi gelap peradilan Indonesia. Kisah yang dituangkan dalam buku itu menguatkan terjadinya praktik pemerasan dan suap dalam perkara narkoba.

Perputaran uang dari bisnis narkotika memang menggiurkan. Disinyalir mencapai trilunan rupiah. Menjadikan bisnis ini lahan basah bagi siapapun, tak terkecuali aparat penegak hukum, yang berniat mengeruk kekayaan. Modus operandi yang dilakukan oknum aparat bermacam-macam, mulai dari suap, pemerasan, hingga kriminalisasi konsumen narkoba yang tengah menjalani terapi metadon.

Beragam pola pemerasan terjadi di setiap tahapan proses hukum. Penangkapan dan penyidikan di kepolisian, dakwaan dan tuntutan di kejaksaan, vonis hakim, bahkan kehidupan di penjara yang melibatkan petugas lapas. Tak ketinggalan, pemerasan dalam proses rekomendasi rehabilitasi oleh oknum tim asesmen terpadu.

Sesuai Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No. 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/ atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, Tim Asesmen Terpadu adalah tim yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan surat keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

Saat konsumen narkoba ditangkap, oknum polisi kerap membuka peluang negosiasi. Biasanya, diawali dengan menjerat konsumen dengan pasal yang berat ancaman hukumannya. Kemudian, diajukan tawaran mengganti pasal dengan harga tertentu.

Pasal ‘berat’ yang digunakan lazimnya Pasal 111 dan 112 tentang kepemilikan narkoba. Pasal penggantinya adalah Pasal 127 tentang penyalah guna narkoba yang ancaman hukumannya lebih ringan. Pasal ini juga kerap dijadikan alat negosiasi untuk rehabilitasi.

Di tahap penyidikan ini, tawaran ‘86’ yang disodorkan antara lain bebas tanpa di-BAP, rehabilitasi, dan ubah pasal.

Di tahap dakwaan dan tuntutan, ubah pasal  jadi alat negosiasi jaksa untuk memeras konsumen narkoba. Sedangkan vonis ringan atau rehabilitasi, menjadi motif hakim memeras atau menerima suap dari terdakwa kasus narkoba.

Ketika masuk penjara, para konsumen dipaksa membeli sejumlah fasilitas yang semestinya dibayar negara. Begitu pula asesmen. Penilaian gratis guna mendapatkan rekomendasi rehabilitasi ini malah dijadikan alat pemerasan.

“Di dalam prosesnya, mulai dari asesmen, mereka (tim asesmen) datang, sampai ke layanan rehabilitasi, sampai pascarehabilitasi, tidak dipungut biaya sama sekali, satu perak pun. Kalau ada yang biasa mungut di situ, laporkan! Pasti itu pungli,” kata Juru Bicara BNN, Sulistiandriantmoko saat ditemui di kantornya, pertengahan Oktober lalu.

Tidak mudah menghitung jumlah uang yang terakumulasi dalam bisnis jual beli perangkat hukum ini. Namun dari pengakuan korban, biasanya uang yang harus dikeluarkan mencapai belasan juta hingga ratusan juta rupiah.

Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis hasil Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014, yang antara lain menghitung biaya konsekuensi konsumsi narkoba per orang per tahun. Survei itu mengungkap besaran uang yang keluar saat konsumen berurusan dengan aparat penegak hukum, termasuk peluang oknum aparat penegak hukum melakukan pemerasan.

Ketika penyalah guna tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum, maka ada proses panjang yang harus dilalui sampai keluarnya keputusan di tingkat pengadilan. Dalam proses tersebut, terbuka peluang berbagai oknum aparat penegak hukum meminta sejumlah uang untuk menghentikan kasus atau mengurangi masa hukuman. Median biaya yang dikeluarkan oleh responden berkisar antara 6,5 juta sampai 10 juta rupiah. Nilai maksimal tertinggi yang dinyatakan responden adalah 80 juta rupiah per orang.

Di penjara merupakan salah satu tempat yang potensial terjadinya transaksi keuangan dari para oknum. Para penyalah guna ketika berurusan selama di penjara harus mengeluarkan median biaya antara 7 juta sampai 10 juta rupiah per orang per tahun.” (Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014, halaman 42)

Di 2014, estimasi kerugian biaya ekonomi akibat narkoba diperkirakan mencapai 63,1 triliun rupiah. Jumlah tersebut sekitar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2008, atau naik sekitar 31 persen dibandingkan tahun 2011.  Di 2017, angkanya meningkat menjadi 84,7 triliun rupiah.  Di tahun tersebut, biaya pribadi yang dikeluarkan untuk berurusan dengan aparat hukum mencapai 1,8 triliun rupiah dan penjara 2 triliun rupiah.

Kepala Subdit Bidang Penelitian Puslitdatin BNN, Siti Nurlela menyebutkan, biaya yang dikeluarkan para pengguna narkoba di poin berurusan dengan aparat hukum dalam survei 2017, tidak dibeberkan secara detail.  Namun, ia tidak memungkiri ada biaya ‘membayar’ aparat penegak hukum yang masuk dalam biaya pribadi pengguna.

“Ada (yang mengaku diperas), tapi kita tidak bisa menggeneralisir pemerasan sekian persen dari itu. Ada yang mengaku (diperas), kita tidak menutup itu tidak terjadi. Ada yang mengaku. Tapi, pertanyaan itu tidak khusus (soal) sogok ini sogok ono.  Kita hanya (menghitung) berapa budget yang dikeluarkan saat terkena hukum,” kata Siti saat ditemui di kantornya, Kamis 18 Oktober 2018.

Survei yang berjudul Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Penyalahguna 2017 ini menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah sampel 1.702 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 21 persen responden mengaku pernah ditangkap oleh aparat penegak hukum karena kasus narkoba.

Tidak Terendus

Meski praktik pemerasan dan suap dalam pemidanaan narkoba terbukti ada, namun lembaga penegak hukum terkait membantahnya.

Sulistiandriantmoko menyatakan praktik ‘kongkalingkong’ akan sulit dilakukan di BNN dengan alasan mereka berhadapan dengan bandar-bandar narkoba kelas kakap yang sulit  diampuni. Sementara, jumlah personel BNN sedikit, hingga mudah dipantau.

Menurutnya, penyalahgunaan wewenang lebih mungkin terjadi di tingkat penyidik yang berhadapan langsung dengan para penyalah guna narkoba.

“Kita tidak berkaitan dengan penyalah guna. Penyimpangan-penyimpangan ini kan lebih dekat kepada penyalah guna, yang minta direhabilitasi dan seterusnya. Sementara, kita tidak pernah berhubungan dengan itu. Kita berhubungan dengan bandar-bandar, gak ada accuse, gak ada rehab bandar-bandar itu. Kalau saya interpretasi, itu angka-angka yang tipis-tipis lah, barang buktinya sedikit, gak mau ditahan, minta direhabilitasi, dan itu levelnya di level kepolisian,” ujar Sulis.

Tapi, Humas Polda Jabar, Kombes Polisi Trunoyudho Wisnu Andiko mengaku belum menemukan praktik pemerasan atau suap terkait pidana narkoba di lembaganya.  Sejauh ini, katanya, belum pernah ada laporan.

“Kalau masalah internal tentang itu kita tidak ada data. Kalaupun ada, ngobrol-nya harus per data. Salah satu yang kita buktikan adanya suatu penyimpangan itu, baik penyimpangan kode etik, disiplin, bahkan pidana, harus ada dasar laporannya. Sejauh ini kita belum (menerima laporan),” ujar Trunoyudho.

Sementara itu, menanggapi soal dugaan praktik jual beli remisi dan fasilitas di lapas, Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami menyatakan, tidak mudah melakukan kongkalingkong di lingkungan lapas. Sebab, setiap proses pengajuan hak-hak narapidana, misalnya pengajuan hak remisi, harus melalui Dirjen Pemasyarakatan. Selain itu, setiap data warga binaan telah masuk dalam Sistem Database Pemasyarakatan, sehingga terpantau secara online.

Meski demikian, Sri mengatakan, tidak menutup kemungkinan terjadi ‘main mata’ antara petugas dengan narapidana.

“Karena (setiap pengajuan hak narapidana) melalui kita, di mana kongkalingkongnya? Tidak mungkin itu terjadi, kecuali dipalsukan. Tapi, saya belum pernah menemukan kondisi seperti itu. Di lapas itu seru banget. Antar mereka juga saling memonitor. Jadi, kalau terjadi pemalsuan, pasti akan muncul ke permukaan, sangat kecil kemungkinan untuk itu. Kongkalikong, pemalsuan, tapi pada akhirnya ditolak oleh sistem, gak juga mendapatkan hak yang bersangkutan,” tutur Sri.

Kejahatan Sistemis

Kriminolog, Yesmil Anwar menilai, pemerasan dalam pidana narkoba merupakan kejahatan sistemis. Artinya, suatu kejahatan yang bertalian dan berhubungan satu sama lain dengan sistem atau susunan yang beraturan. Ini tak mengherankan, mengingat penyalahgunaan narkotika masuk dalam extraordinary crime dan secara bisnis sangat menggiurkan bagi orang yang terlibat di dalamnya.

“Kejahatan (pemerasan dan suap) ini sudah dari hulu sampai hilir. Persoalan ini kita bicarakan lama. Dan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk juga tentu saja dalam hal penegakan hukumnya,” ujar Yesmil.

Menurut Yesmil, dalam penegakan hukum peradilan narkotika terjadi faktor kriminogen yang memberikan ruang terjadinya bentuk-bentuk kejahatan, seperti pemerasan dan suap-menyuap.

“Yang terpenting lagi bahwa kejahatan ini kan memberikan banyak peluang, uang yang beredar itu sangat banyak dan penjahatnya sudah memiliiki sistem tertentu di dalam menangani ini. Jadi kalau dia katakan, dia diperas, menurut hemat saya, semuanya bagian dari sistem itu sendiri,” kata dosen di Fakultas Hukum Unpad ini.

Parahnya, kejahatan ini dilanggengkan oleh sikap masyarakat yang permisif dan enggan melapor. Ditambah lagi, budaya hukum belum tumbuh dengan baik.

Yesmil tidak sepakat jika pemerasan terjadi akibat rendahnya kesejahteraan aparat penegak hukum.

“Gajinya sudah lebih tinggi dari saya sebagai dosen, mereka insentifnya banyak, tapi faktor mental menurut saya,” kata Yesmil yang aktif mendampingi konsumen narkoba yang menjadi korban pemerasan aparat.

Yesmil menuturkan, ulah nakal aparat penegak hukum ini terjadi lantaran lemahnya koordinasi, harmonisasi, dan sinkronisasi antara sistem peradilan pidana, yang terdiri dari perundang-undangan, penegak hukum, fasilitas penegakan hukum, kesadaran hukum masyarakat, dan budaya hukum. Dari lima unsur itu, sistem perundang-undangan dinilai sudah kuat, sedangkan unsur penegak hukum menjadi prioritas pertama yang perlu diperbaiki.

Mengapa pidana narkoba ini menjadi lahan basah suap dan pemerasan bagi aparat?

Manajer Media dan Data Rumah Cemara, Patri Handoyo menjawab, akar masalahnya ada di aturan pidana narkoba. Saat semua narkoba dilarang dan konsumennya dituduh sebagai pelaku kriminal, maka semakin subur pasar gelap narkoba, sekaligus pula menyuburkan jumlah konsumen narkoba yang dijerat pidana. Kondisi ini melemahkan posisi konsumen sehingga rentan dijadikan objek pemerasan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan dan kekuasaan.

“Selama ini, puluhan ribu tersangka kasus narkoba inilah yang jadi objek pemerasan, karena penerapan hukum pidana yang gak rasional,” ujar Patri yang juga pendiri Rumah Cemara, komunitas yang aktif meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV-AIDS, konsumen narkoba, serta kaum marginal ini.

Seharusnya, lanjut Patri, hukum pidana narkoba mulai ditinggalkan dan beralih ke pengaturan atau pengelolaan narkoba. Langkah itu diyakini Patri bisa memberantas pasar gelap narkoba, seperti yang terjadi di Kanada dan Portugal.

“Sediakan narkoba di layanan-layanan kesehatan misalnya, atau dekriminalkan (hapuskan hukum pidana bagi) kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi dengan batas tertentu. Saat pendekatannya bukan pidana, penjara bukan lagi jadi tujuan regulasinya, maka polisi gak perlu repot ngurus kepemilikan narkoba,” kata Patri.

Pengawasan Lemah

Kompolnas, sebagai lembaga pengawas kepolisian, mengaku belum menerima laporan terkait praktik pemerasan yang dilakukan aparat. Sejauh ini laporan terkait kasus narkoba yang diterima Kompolnas, adalah diskresi polisi dalam menangkap keliru karena berdasarkan pelapor barang bukti tidak ditemukan.

“Tetapi laporan terkait kasus-kasus narkoba ke Kompolnas memang sedikit. Untuk laporan ‘86’, jual beli pasal, dan jual beli vonis, tidak ada laporan masyarakat kepada kami. Meskipun hal-hal tersebut mungkin saja dilakukan,” kata anggota Kompolnas, Poengky Indarti.

Walaupun tercium indikasi pemerasan, tapi Poengky mengaku sulit melakukan tindakan. Pasalnya, tugas dan wewenang lembaganya dalam hal pengawasan dibatasi.

“Tercium juga (praktik pemerasan). Malah ada yang diduga jual beli barang bukti. Tapi kami kan tidak ada kewenangan investigasi. Kalau ada kasus dugaan pemerasan seperti itu kan yang memproses adalah pengawas internal yaitu Itwasum atau Itwasda dan Propam,” ujar pendiri Imparsial ini.

Poengky tidak membantah soal sikap pasif Kompolnas dalam melakukan pengawasan, yang hanya menunggu laporan dari masyarakat. Bagaimanapun hal itu mengacu pada Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional. Karena itu, ia meminta masyarakat lebih aktif melaporkan kasus pemerasan yang dialaminya.

“Kompolnas hanya bisa menyarankan yang merasa diperas untuk lapor Propam dan Kompolnas. Jika tidak ada laporan resmi, akan sulit bagi Kompolnas untuk bertindak. Kami tidak bisa menindaklanjuti, rumor atau berita yang tidak dilengkapi alat bukti,” katanya.

Masyarakat yang merasa diperas oleh oknum polisi, kata Poengky, bisa melapor melalui email ke kabareskrim2018@gmail.com, akun Facebook Bareskrim 2018, Instagram @bareskrim2018, dan Twitter @bareskrim2018.

“Kalau ke Kompolnas, silakan kirim ke secretariat@kompolnas.go.id. Pengaduan harus disertai scan (pindaian) atau foto identitas serta kronologi dan bukti-bukti yang mendukung,” pesan Poengky