Minggu, 19 Februari 2017

REALISTIS

Realistis
Jadi teringat cerita lama. Ketika papa mengajak kami bersaudara ke Restoran Padang terkenal, ia berkata, "Pilih satu-satu lauknya ya..", dan kami pun memilih satu dari sekian banyak lauk enak yang terhidang di meja. Yang dibanyakin cuman kuahnya.
Kami tahu bahwa kami bukan orang kaya. Kami juga tahu bahwa papa masih berusaha membahagiakan kami bersaudara dengan mimpi indah, makan di restoran.
Meski begitu, kami juga tahu bahwa ia mengajarkan kami untuk realistis. Sesuai apa yang ada, tidak perlu berlebih jika memang tidak ada.
Realistis, itulah yang diajarkan kepada kami dan itulah yang banyak hilang sekarang ini. Banyak orang tertipu janji manis dengan menanam uang di sebuah koperasi yang menjanjikan pendapatan 30 persen sebulan. Orang menjual semua hartanya hanya untuk sebuah mimpi dan akhirnya mereka terpuruk bermandikan hutang dan janji manis.
Ada lagi yang tertipu dengan pakaian agama, menjanjikan keuntungan dunia berlipat ganda. Janji manis ditambah aksesori agamis, membuat banyak orang kembali lupa diri. Akhirnya mereka menangis kembali terperosok dalam lubang hitam kebangkrutan dan hutang yang sulit ditanggung anak istrinya.
Semakin kesini, semakin banyak ulama yang menjanjikan surga. Seakan cukup dengan ritual, banyak orang terperdaya memborong ayat yang dijual. Sehingga mereka mabuk dan lupa bahwa Nabinya diturunkan untuk memperbaiki ahlak manusia. Seluruh manusia, bukan hanya mereka yang seiman.
Kita sudah lupa arti kata realistis. Melihat sesuatu dengan apa adanya dan mengembangkan apa yang sudah kita punya.
Puluhan tahun kita mengalami banyak calon pejabat mengumbar janji manis, bahkan lebih manis dari sesendok bubuk kopi ditambah seember gula. Banyak orang yang percaya, dan sampai sekarang mereka masih hidup begitu-begitu saja.
Yang di pinggiran kali, masih berkutat dengan taik mengambang dan malaria. Yang tinggal di pinggiran rel kereta, bermimpi indah karena rumah kardus mereka mau dicat warna-warna.
Mereka selama ini lebih baik membeli mimpi dengan menjual suara, karena berfikir realistis bahwa tidak akan ada orang yang bisa memperbaiki taraf hidup mereka.
Sampai disini banyak yang bingung, "Apakah saya realistis atau apatis?".
Dan lucunya, ketika ada seseorang yang realistis yang ingin membantu memperbaiki taraf hidup mereka, mengangkat harkat dan derajat mereka sebagai manusia, mereka menolak. Alasannya sederhana, karena tidak seagama.
Mereka kembali pada pekerjaan lama, menelan janji-janji manis dan mimpi yang melambung bahwa satu waktu akan ada yang menolong mereka. Tuhan harus menyediakan orang yang seiman dengan mereka. Kalau tidak bisa, paksa Dia.
Aku mengambil lauk yang kusuka, sepotong rendang dan kubanjiri dengan kuah gule ayam yang terlihat nikmat. Mata kecilku menatap wajah ayahku yang tersenyum senang karena kami semua mengerti.
Aku berjanji saat itu, "Satu saat nanti, jika aku besar dan mapan nanti, papa boleh mengambil semua lauk di meja.." Dan ketika aku besar dan mapan, kuajak ayahku yang sudah menua makan di tempat yang sama, dan ia hanya mengambil satu lauk saja.

Ah, aku rindu kau jadinya, pa. Terimakasih sudah mengajarkan kepada kami tentang konsep realistis sehingga tidak mudah terbuai janji manis. Kami jadi tahu mana yang benar dan mana yang salah, dengan menilai sesuatu lebih luas. Lama aku tidak ke kuburmu. Tunggu aku, ya pa. Kita cerita-cerita yang banyak nantinya