Rabu, 19 Juli 2017

Ditanggung or Tunjangan PPH ?


Salah satu kewajiban perusahaan atau pemberi kerja adalah memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 atas gaji dan penghasilan lainnya yang mereka bayarkan kepada pegawai atau karyawannya. Dalam hal ini ada pilihan bagi para pemberi kerja tersebut, memotong langsung dari gaji karyawan atau membantu karyawan dan pegawainya dengan cara menanggung PPh Pasal 21 yang terutang. Tinggal pilih, mana yang menguntungkan…
Dalam kacamata UU PPh, menanggung PPh tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan memberikan tunjangan pajak (Tunjangan PPh) seperti layaknya memberikan tunjangan transport, tunjangan makan, tunjangan jabatan, dlsb, atau dengan cara kedua yaitu menanggung PPh tanpa memberikan tunjangan pajak.
Jika dilihat secara kasat mata, kedua cara ini sebenarnya sama saja karena PPh Pasal 21 yang terutang tidak dibebankan kepada karyawan (tidak dipotong dari gaji atau penghasilan karyawan) melainkan ditanggung sendiri oleh perusahaan atau pemberi kerja. Tetapi jika dilihat dari sisi UU dan ketentuan peraturan PPh, masing-masing mendapat perlakuan perpajakan yang berbeda.
Tunjangan PPh & Efeknya di PPh Pemberi Kerja
Cara menanggung PPh Pasal 21 yang pertama adalah dengan seolah-olah memberikan tunjangan pajak (Tunjangan PPh) kepada karyawan seperti layaknya memberikan Tunjangan Transport, Tunjangan Makan, Tunjangan Jabatan, dan tunjangan lainnya.
Dengan cara ini, PPh Pasal 21 yang sebenarnya ditanggung oleh perusahaan pemberi kerja dimasukkan terlebih dahulu ke dalam unsur gaji dan tunjangan kepada karyawan saat penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan (Tunjangan PPh Pasal 21 ikut dihitung PPh Pasal 21-nya). Jadi seolah-olah karyawan menerima uang Tunjangan PPh tadi terlebih dahulu dan dihitung pula PPh Pasal 21-nya, baru kemudian dipotong kembali oleh perusahaan pemberi kerja.
Besarnya Tunjangan PPh dapat disesuaikan dengan kebijakan perusahaan pemberi kerja masing-masing. Perusahaan atau pemberi kerja bisa saja menerapkan kebijakan untuk memberikan tunjangan pajak sebesar 100% dari jumlah PPh Pasal 21 yang terutang. Kebijakan ini lebih dikenal dengan istilah gross-up (lihat contoh perhitungan di bawah ini).
Contoh Perhitungan Gross-Up
Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (salah satunya Tunjangan PPh) merupakan salah satu biaya atau pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja [Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh]. Artinya, perusahaan atau pemberi kerja boleh membiayakannya di SPT Tahunan PPh mereka. Dan untuk mempertegas treatment atau perlakuan pembiayaannya ini, sebaiknya pemberi kerja memasukkan akun Tunjangan PPh ke dalam slip gaji karyawannya.
PPh Ditanggung & Efeknya di PPh Pemberi Kerja
Cara menanggung PPh Pasal 21 yang kedua (menanggung PPh tanpa memberikan tunjangan pajak) dalam istilah peraturan pajak disebut dengan PPh Ditanggung Pemberi Kerja. Dengan cara ini, PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji karyawan dibayar sendiri oleh pemberi kerja dan PPh Pasal 21 yang dibayar (ditanggung) oleh si pemberi kerja itu tidak dimasukkan sebagai unsur penghasilan karyawan.
Sebagai contoh, misalkan Budi bekerja sebagai pegawai di PT Megah dengan gaji Rp 5.000.000,-. Seandainya dari gaji tersebut PPh Pasal 21 yang terutang sebesar Rp 250.000,- dan PPh Pasal 21 tersebut ditanggung oleh PT Megah, maka gaji yang diterima Budi adalah Rp 5.000.000,-.
PPh Pasal 21 sebesar Rp 250.000,- yang ditanggung oleh PT Megah dalam contoh di atas, tidak dimasukkan sebagai tunjangan (penghasilan) bagi Budi saat penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan. Ini dikarenakan menurut Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, pajak atas gaji Budi yang tidak dipotong dari gaji melainkan ditanggung sendiri oleh PT Megah tersebut dikategorikan sebagai imbalan dalam bentuk kenikmatan (fasilitas) atau yang biasa kita sebut dengan benefit in kind.
Sebagai konsekuensinya, PT Megah juga tidak boleh membiayakan PPh Pasal 21 yang ditanggung tadi dalam SPT Tahunan PPh Badannya. Sebab biaya-biaya yang berupa imbalan atau penggantian dalam bentuk kenikmatan tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja saat menghitung penghasilan kena pajak.
Tax Planning Sederhana
Seperti telah diuraikan di atas, antara Tunjangan PPh Pasal 21 dengan PPh Pasal 21 Ditanggung mendapat perlakuan (treatment) perpajakan yang berbeda, baik dari sisi penghitungan PPh Pasal 21 maupun PPh Pemberi Kerja.
Tunjangan PPh Pasal 21 merupakan objek PPh Pasal 21 yang harus ditambahkan ke dalam penghasilan karyawan saat penghitungan PPh Pasal 21. Perlakuannya sama seperti tunjangan-tunjangan lainnya seperti Tunjangan Transport, Tunjangan Makan, Tunjangan Jabatan atau lainnya. Namun di sisi PPh Pemberi Kerja, Tunjangan PPh Pasal 21 ini dapat dibiayakan (deductible expense) sehingga akan mengurangi penghasilan bruto dan otomatis akan mengurangi PPh Pemberi Kerja.
PPh Pasal 21 Ditanggung, di sisi lain, bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan tidak perlu dimasukkan ke dalam tunjangan atau penghasilan karyawan pada saat menghitung PPh Pasal 21. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, perusahaan atau pemberi kerja tidak boleh membiayakan PPh Pasal 21 Ditanggung tersebut saat menghitung PPh pemberi kerja karena PPh Pasal 21 Ditanggung adalah salah satu biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan atau pemberi kerja (non deductible expense).
Perlu diingatkan bahwa ketentuan mengenai deductible maupun non deductible expense tersebut di atas tidak berlaku bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final. Artinya, jika perusahaan atau pemberi kerja merupakan Wajib Pajak yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final, kebijakan apapun yang dipilih, memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau tidak, maka kebijakan itu tetap non-deductible expense. Sebab bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final, biaya apapun yang dikeluarkan tidak lagi diperhitungkan dalam penghitungan PPh atas penghasilan usahanya.
Contoh perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya dikenakan PPh bersifat final misalnya: perusahaan konstruksi, perusahaan persewaan tanah/bangunan, perusahaan pelayaran dalam negeri, dan beberapa perusahaan lain yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Dengan memperhatikan treatment perpajakan atas kedua kebijakan tersebut, sebenarnya perusahaan atau pemberi kerja bisa melakukan tax planning sederhana untuk menghemat atau meminimalisir pembayaran pajak, baik PPh Pasal 21 maupun PPh Badan/Pemberi Kerja.
Tanpa Kompensasi Kerugian
Misalkan, PT Megah memperoleh omset Rp 500.000.000,- dengan total biaya sebesar Rp 350.000.000,-. Katakanlah PT Megah memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetor PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- maka dalam hal ini PT Megah dapat memilih apakah PPh Pasal 21 tersebut akan ditanggung perusahaan dengan cara memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 atau tidak. Atau dengan kata lain, apakah PT Megah ingin agar PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- itu dibiayakan juga atau tidak?
Jika PT Megah ingin agar PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- tersebut juga bisa dibiayakan, maka PT Megah dapat memberikan Tunjangan PPh Pasal 21. Dengan demikian, total biaya usaha menjadi Rp 375.000.000,- (Rp 350.000.000,- + Rp 25.000.000,-) dan laba neto usaha turun menjadi Rp 125.000.000,-. Sehingga PPh Badan yang harus dibayar adalah Rp 125.000.000,- x 12,5% = Rp 15.625.000,-.
Akan tetapi, karena memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp 25.000.000,- maka atas Tunjangan PPh Pasal 21 tersebut juga harus diperhitungkan dan disetorkan PPh Pasal 21.
Dengan asumsi bahwa atas Rp 25.000.000,- dikenakan tarif rata-rata 5%, maka tambahan PPh Pasal 21 yang harus disetor adalah 5% x Rp 25.000.000,- = Rp 1.250.000,-. Dengan demikian, total pajak yang harus dibayar oleh PT Megah adalah = PPh Badan (Rp 15.625.000,-) ditambah dengan PPh Pasal 21 (Rp 25.000.000,- + Rp 1.250.000,-) atau Rp 41. 875.000,-
Apabila PT Megah memilih tidak memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 (artinya PPh Pasal 21 yang semula Rp 25.000.000,- ditanggung sendiri tanpa memberikan tunjangan pajak), maka PPh Badan menjadi = Rp 500.000.000,- (-) Rp 350.000.000,- (x) 12,5% = Rp 18. 750.000,-. Sedangkan PPh Pasal 21 yang harus disetor tetap sebesar Rp 25.000.000,- sehingga total pajak yang harus dibayar PT Megah ke Kas Negara adalah Rp 18.750.000,- (+) Rp 25.000.000,- = Rp 43.750.000,-.
Jadi dengan analisa angka-angka tersebut, jelas kelihatan bahwa bagi PT Megah memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 akan lebih menghemat pajak yang harus dibayar ke negara.
Ada Hak Kompensasi Kerugian
Bagaimana jika PT Megah masih memiliki hak kompensasi kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya? Apakah kebijakan memberikan Tunjangan PPh Pasal 21 masih tetap menguntungkan (menghemat pajak)?
Dalam kondisi di mana jumlah kompensasi kerugian fiskal tersebut masih lebih besar dari pada penghasilan neto tahun berjalan, sehingga PPh Badan masih nihil, maka kebijakan menanggung PPh Pasal 21 tanpa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 merupakan alternatif yang menguntungkan. Sebab dengan demikian tidak ada tambahan PPh Pasal 21 yang harus dipotong atau disetor ke kas negara.
Misalkan dalam contoh sebelumnya PT Megah memiliki kompensasi kerugian tahun sebelumnya Rp 200.000.000,-. Jika PT Megah memilih tidak memberikan tunjangan PPh Pasal 21, berarti total biaya usaha tetap Rp 350.000.000,- dan laba usaha tetap Rp 150.000.000,-. Karena kompensasi rugi tahun sebelumnya (Rp 200.000.000,-) masih lebih besar dari pada laba usaha (Rp 150.000.000,-), berarti PPh Badan PT Megah masih Rp 0,-. Dan karena PPh Pasal 21 ditanggung tanpa memberikan tunjangan PPh Pasal 21, berarti PPh Pasal 21 yang harus disetor tetap Rp 25.000.000,-.
Tetapi jika PT Megah memutuskan untuk memberikan tunjangan PPh Pasal 21, maka akan ada tambahan PPh Pasal 21 yang harus disetor yaitu Rp 1.250.000,- (Rp 25.000.000,- x 5%) sehingga total PPh Pasal 21 yang harus disetor Rp 26.250.000,-. Sementara di PPh Badan masih tetap nihil (Rp 0) karena laba usaha masih lebih kecil jumlahnya dari pada kompensasi kerugian.