Rabu, 25 Maret 2015

Persetujuan Suami, Anak atau Istri Menjual Properti

Seringkali kita menemukan kasus yang membutuhkan analisa hukum, seperti perlu atau tidaknya persetujuan pihak lain jika seseorang akan menjual hartanya, dalam hal ini difokuskan pembahasan mengenai harta tidak bergerak berupa rumah dan tanah. Karena ada beberapa kondisi yang mungkin terjadi pada harta tersebut. Misalnya harta tersebut harta gono gini, harta bawaan atau  harta hasil perolehan karena hibah atau warisan. Mengenai penggolongan harta, apakah termasuk harta gono gini atau harta bawaan sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Mengenai Perkawinan atau yang lebih dikenal sebagai UU Perkawinan.
Harga gono gini
Cara paling mudah dalam menentukan suatu harta termasuk harta gono gini atau tidak adalah dengan membandingkan tanggal pernikahan atau perceraian dengan tanggal perolehan harta tersebut. Jika harta tersebut berupa rumah dan tanah yang sudah bersertifikat maka dalam sertifikat tersebut tercantum tanggal perolehan atau tanggal Akta Jual Beli. Jika tanggal akta jual beli setelah tanggal pernikahan atau sebelum perceraian, maka tanah dan bangunan tersebut termasuk harta gono gini. Walaupun dalam kenyataannya yang membeli itu hanya uang suami atau istri. Atau nama yang tertera dalam sertifikat adalah nama istri atau nama suami saja.
Untuk kasus seperti di atas, jika harta tersebut mau dijual maka mutlak diperlukan persetujuan suami atau istri dalam akta jual beli, atau persetujuan dalam akta terpisah yang sekurangnya harus dilegalisasi di hadapan notaris.
Harta bawaan suami istri
Ada kalanya suami atau istri sudah memiliki harta sebelum terikat dalam tali perkawinan. Kondisi riilnya untuk kasus tanah dan bangunan, jika tanggal akta jual beli sebelum tanggal akta nikah maka harta tersebut tidak termasuk harta gono gini. Untuk menjual tanah dan bangunan ini tidak diperlukan persetujuan suami atau istri. Juga tidak diperlukan persetujuan anak-anaknya.
Harta yang didapat dalam masa perkawinan karena hibah atau warisan atau perolehan lain yang bukan dari pencaharian
Perolehan harta dari hibah atau warisan untuk masing-masing pihak adalah tetap milik masing-masing pihak, walaupun perolehannya pada masa perkawinan. Untuk menjual objek ini tidak diperlukan persetujuan masing-masing pihak, asalkan bukti-bukti yang menyatakan asal perolehannya bisa dilampirkan.
Perjanjian Kawin
Belakangan ini sudah sering orang membuat Perjanjian Kawin mengenai pisah harta dalam perkawinan, terutama mereka yang kawin campur antara WNI dan WNA. Untuk menjual harta ini tidak diperlukan persetujuan masing-masing pihak dalam menjual harta nantinya. Walaupun harta tersebut diperoleh dari pencarian masing-masing dan dalam masa perkawinan. Untuk orang Indonesia sendiri masih jarang dilakukan perjanjian kawin ini. Karena terkesan materialistis bagi suatu pihak.
Sebenarnya dari segi keamanan, perjanjian kawin ini sangat menguntungkan, terutama bagi orang yang berprofesi sebagai pengusaha. Perjanjian kawin ini juga mengandung pengertian bahwa selain harta menjadi milik masing-masing, hutang juga menjadi tanggungan masing-masing. Jadi hutang seorang suami tidak bisa dibebankan kepada istri begitu juga sebaliknya.
Persetujuan Menjual dari anak
Jika salah satu dari suami atau istri meninggal dan pihak yang hidup ingin menjual tanah dan rumah tersebut dan objek yang akan dijual ini merupakan harta gono gini maka diperlukan persetujuan dari anak-anaknya. Karena sang anak mewakili hak dari salah satu pihak yang meninggal.
Tetapi jika rumah dan tanah tersebut didapat dari hibah atau warisan maka tidak diperlukan persetujuan dari anak-anaknya. Contohnya jika seorang ibu mendapat harta warisan pada masa perkawinan dan suatu saat suaminya meninggal. Jika si ibu akan menjual rumah dan tanah tersebut tidak diperlukan persetujuan dari anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar