Jumat, 27 Maret 2015

Keterangan Waris

Keterangan Waris

Kunci dari penentuan siapa saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris berada di Keterangan Waris. Apa itu keterangan waris ya?
Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris dalam proses pendaftaran baliknama waris atas tanah, maka berdasarkan pasal 111 ayat 1 C point 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut: “PMNA No.3/1997”), disebutkan bahwa surat tanda bukti hak yang bentuknya terdiri dari:
  1. Wasiat dari pewaris, atau
  2. Putusan Pengadilan, atau
  3. Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau
  4. Surat keterangan waris
Pembahasan kita kali ini adalah mengenai Keterangan Waris. Keterangan waris adalah surat yang dibuat oleh/di hadapan pejabat yang berwenang, yang isinya menerangkan tentang siapa saja ahli waris dari seseorang yang sudah meninggal dunia. Berdasarkan keterangan warislah maka ahli waris dapat mendapatkan hak-haknya terutama terhadap harta peninggalan pewaris. Namun demikian,
Siapa yang berwenang membuat keterangan waris?
Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia sejak jaman Belanda dahulu menyebabkan terjadinya pembedaan terhadap bentuk dan siapa pejabat yang berwenang untuk membuat keterangan waris. Berdasarkan Surat Keputusan Departemen Dalam Negeri Direktorat Pendaftaran Tanah No.DPT/12/63/12/69 juncto pasal 111 ayat 1 C point 4 PMNA No 3/1997, dibedakan tentang siapa saja yang berwenang untuk membuat keterangan waris. Pembagian kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Untuk penduduk golongan Eropa dan WNI keturunan Tionghoa, keterangan warisnya dibuat di hadapan  Notaris
  2. Untuk penduduk pribumi, keterangan waris cukup dibuat di bawah tangan, yang disaksikan dan dibenarkan (disahkan) oleh Lurah dan dikuatkan oleh Camat setempat.
  3. Untuk WNI keturunan Timur Asing (India,Arab), yang berwenang membuat keterangan warisnya adalah Balai Harta Peninggalan (BHP).
Problematika Seputar Keterangan Waris
Untuk pembagian warisan secara Islam, sebelum tahun 1990-an dibuat oleh Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris. Namun demikian, pada awal tahun 1990 ada edaran dari Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Agama untuk membuat Fatwa Waris untuk WNI yang beragama Islam, dalam hal tidak terjadi sengketa waris. Sejak itulah maka yang berwenang untuk membuat keterangan waris bagi pewaris yang beragama Islam pun cukup dibuat di bawah tangan dengan disahkan oleh Lurah dan dikuatkan oleh Camat setempat (selanjutnya disebut: “disahkan lurah-camat”). Berbeda dengan keterangan waris yang dibuat oleh Notaris maupun yang dibuat oleh BHP, keterangan waris yang dibuat di bawah tangan dan disahkan lurah camat tersebut tidak menetapkan berapa jumlah/bagian dari para ahli waris. Bahkan sering terjadi, keterangan waris tersebut dibuat tanpa adanya penelitian sama sekali. Sehingga tidak diketahui secara pasti, berapa sebenarnya jumlah ahli waris dari seorang pewaris. Misalnya begini: seorang pewaris yang memiliki isteri lebih dari 1 bisa membuat sendiri-sendiri keterangan warisnya. Sehingga masing-masing menjual sendiri harta ahli waris tanpa melibatkan ahli waris yang lainnya. Kondisi tersebut mengakibatkan sering terjadinya sengketa waris karena keterangan waris yang tumpang tindih tersebut. Akibat sering adanya gugatan masalah keterangan waris yang keliru, akhir-akhir ini Lurah dan Camat ramai-ramai menolak versi surat Pernyataan para ahli waris dimana lurah yang seharusnnya mengesahkan pernyataan ahli waris tersebut. Jadi kalimat yang seharusnya berbunyi: Lurah “menyaksikan dan membenarkan” dan pada bagian Camat kalimatnya adalah ”menguatkan” (pernyataan lurah tersebut), diganti menjadi: “mengetahui” atau “menyatakan benar bahwa ahli waris no 3 adalah warga kami”. Artinya di sini, Lurah dan Camat posisinya hanya mendaftarkan surat yang sudah ditanda-tangani sebelumnya oleh ahli waris. Disinilah awal dari “blunder” tersebut.
Problema lain dalam pembuatan surat keterangan waris untuk pribumi adalah: tidak dilakukannya pengecekan wasiat terlebih dahulu oleh para ahli waris sebelum dibuatnya pernyataan ahli waris secara di bawah tangan.
Oleh karena itu, jika si pewaris ternyata pernah membuat wasiat secara diam-diam maupun terang-terangan di hadapan Notaris, namun tidak memberitahukannya kepada ahli warisnya atau orang lain, maka wasiat tersebut tidak akan pernah diketahui oleh ahli waris atau pihak lain yang nantinya akan melakukan pengalihan hak atas harta peninggalan pewaris. Bisa jadi tanah yang dijual oleh ahli waris sesuai keterangan waris sebenarnya sudah diwasiatkan  kepada orang lain sama sekali (di luar ahli waris menurut undang-undang). Sehingga pewarisan berdasarkan surat keterangan waris untuk pribumi hampir selalu berdasarkan undang-undang tanpa mempertanyakan ada atau tidaknya wasiat dari pewaris.
Kondisi tersebut yang kadang menyeret Notaris/PPAT yang membuat akta peralihan hak warisnya dari seorang ahli waris kepada orang yang nama-namanya tercantum dalam Surat Pernyataan Ahli waris menjadi turut tergugat dalam kasus-kasus peralihan hak karena warisan. Karena posisi notaris benar-benar tergantung pada kejujuran para ahli waris yang hadir dan melakukan peralihan hak.
Saya pribadi berpendapat, bahwa yang berhak untuk membuat keterangan waris pribumi sebaiknya memang dikembalikan kepada kewenangan Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris. Karena hal ini setidaknya memberikan entry barrier atau hambatan bagi orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku sebagai ahli waris bisa memperoleh hak atas suatu warisan.
Saya pernah ditanya oleh kawan saya, Meylanie, yang ayahnya adalah WNI keturunan Tionghoa sedangkan Ibunya adalah pribumi asli yang berasal dari Banyumas. Pada saat ibunya meninggal dunia, dia bingung harus membuat keterangan waris dimana. Apakah  sebaiknya dia membuat keterangan waris di Notaris ataukah cukup di Lurah – Camat?
Jadi begini, pada prinsipnya keterangan waris dibuat sesuai dengan kondisi dari pewaris. Artinya, keterangan waris tersebut dibuat untuk ayahnya yang WNI keturunan atau untuk ibunya yang pribumi. Jika untuk ayahnya, tentunya Notaris yang berhak untuk membuat keterangan waris tersebut. Tapi kalau keterangan waris tersebut dibuat untuk ibunya, walaupun ahli warisnya adalah Shinta dan ayahnya yang WNI Keturunan, yang berwenang untuk membuat keterangan waris tetap Lurah – Camat.
Ada satu pertanyaan Meylanie lagi yang menggelitik saya, yaitu: “Kalau ayah gue yang WNI Keturunan dan ibu gue yang pribumi asli, apakah gue dianggap seorang WNI keturunan ataukah sudah menjadi pribumi?”
“Trus sampai keturunan derajat ke berapa WNI keturunan dianggap tetap sebagai “WNI keturunan”? Padahal walaupun ayah gue itu WNI keturunan, tapi sejak kakeknya kakek gue, semuanya warga Negara Indonesia lho. Masak sih kami selalu dianggap WNI Keturunan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar