Kamis, 26 Maret 2015

Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK

Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK

Melanjutkan bahasan saya di artikel sebelumnya, mengenai Putusan MK yang dibahas di dalam Diskusi yang digelar oleh hukumonline pada 29 Maret 2012 lalu, sebagai salah satu pembicara di dalam diskusi tersebut saya juga mendapat banyak masukan dari para nara sumber lainnya. Salah satunya dari bapak Dr. H.M. Akil Mochtar  S.H.,M.H. sebagai Hakim Konstitusi RI.

Di dalam diskusi hukumonline Akil Mochtar juga menjelaskan mengenai akibat dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK. Menurut beliau, anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri, seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan MK telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan administratif negara. Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya. Si anak dalam akta kelahirannya tidak dicantumkan nama Bapaknya sehingga muncul stigma negatif di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa perkawinan sirri merupakan praktek poligami terselubung. Pihak laki-laki, terutama, seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hak-hak anak yang lahir dalam perkawinan tersebut tidak dipenuhi.

Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan “pengakuan sukarela” dari laki laki yang menjadi ayahnya. Akan tetapi, terhadap proses pengakuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa maka harus dapat dibuktikan kebenaran mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari si anak melalui proses peradilan. Proses peradilan dalam pemeriksaan dan pembuktian kebenaran ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan perkawinan yang dilakukan secara sirri menjadi tercatat secara administratif menurut aturan administrasi negara. Bila peradilan membenarkan adanya “hubungan darah” antara bapak dan anak dalam perkawinan sirri tersebut maka kedudukan anak adalah sebagai anak yang sah, sehingga hak-hak keperdataan anak menjadi layaknya hak-hak keperdataan anak sah.
Putusan MK ini berimbas juga pada anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina. Terhadap kelompok anak luar kawin ini maka pemberlakuan aturan hukum harus dilakukan secara cermat, sesuai dengan konteks hukum yang berlaku.
Bagaimana pemberlakuan aturan hukum bagi anak zina? 
Menurut Akil di dalam diskusi, pemberlakuan aturan hukum bagi anak zina adalah sebagai berikut:
a. Terhadap anak zina dalam KUHPerdata
- KUHPerdata menetapkan bahwa anak yang dilahirkan akibat dari perbuatan zina, (dimana salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan) tidak dapat diakui dan disahkan.
- Anak yang dilahirkan dari pasangan yang “hidup bersama” dapat diakui dan disahkan bila keduanya kemudian melaksanakan pernikahan.

b. Terhadap anak hasil zina dalam Hukum Islam berlaku akibat yang sesuai dengan ajaran Islam.
Karena definisi “zina” menurut hukum Islam berbeda dengan yang diatur dalam KUHPerdata. Hal ini dikukuhkan dengan aturan yang ditentukan dalam UU Administrasi Kependudukan bahwa “Kewajiban melaporkan pengakuan atau pengesahan anak luar kawin dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan dan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran. Akan tetapi Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan (itsbat) bila tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut.  Pengadilan memeriksa asal-usul anak dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi-saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan alat-alat bukti lain yang sah menurut hukum.
Akibat hukum dari anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina dalam syariat Islam diatur bahwa si anak tidak mempunyai hubungan keturunan (nasab), waris dan hak untuk menjadi wali nikah (bagi anak perempuan) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Akan tetapi, lelaki yang menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman (ta’zir) untuk memberikan nafkah atau kebutuhan hidup si anak dan memberikan hartanya (hak waris) bila dia meninggal melalui wasiat wajibah.
Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa dibolehkan wanita yang hamil diluar nikah kemudian menikah dengan lelaki yang menghamilinya.  Anak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai anak zina, meskipun perbuatan yang mereka lakukan sebelum menikah adalah perbuatan zina menurut kaedah hukum Islam.
Bagaimana dampak yang dapat terjadi pasca putusan MK tersebut?
 
Akil juga menanggapi dampak yang dapat terjadi pasca putusan MK tersebut. Dampak yang dapat diprediksi adalah akan banyaknya pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan (PA/PN) dalam kaitan dengan  gugatan hak-hak keperdataan anak luar kawin, baik berupa Itsbat Nikah ( bagi yang telah kawin sirri ) maupun  pengesahan asal -usul anak (bagi yang tidak kawin sirri),  nafkah anak, waris dsb.  Selain itu Kantor Pencatatan Sipil juga akan banyak menangani permohonan akte kelahiran dan ini akan berdampak pula pada Instansi terkait lainnya seperti Kantor Kelurahan dsb. yang berkaitan dengan pembuatan Surat Keterangan pemohon, termasuk juga Pegawai Pencatat Nikah ( KUA ) yang berkaitan dengan administrasi pernikahan dsb.

Apakah putusan MK ini dapat menjadi dasar hukum para ibu dan/ atau anak luar kawin jika ingin mengajukan permohonan penetapan pengesahan asal usul anak ?
Menurut Akil Putusan MK ini dapat menjadi dasar hukum,  sebab substansi putusan tersebut  bersifat umum yakni pengujian pasal 43 ayat (1)  UU No.1 Tahun 1974  terhadap UUD,  sekalipun diajukan secara pribadi.  Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945  dan Pasal 10 ayat (1) huruf a  UU No.24 Tahun 2003  yang telah dirubah dengan UU N0. 8 Tahun 2011  tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka penerapan pasal 1917 BW  jo.Pasal 21 AB  dalam perkara ini tidak tepat.

Apa saja yang harus dilakukan para ibu dan / atau anak luar kawin jika ingin mengajukan permohonan penetapan pengesahan asal usul anak ?
Ia harus mengajukan permohonannya ke Pengadilan  Agama setempat (bagi yang beragama Islam) dengan membawa Surat Keterangan Lurah  atau KTP (bagi yang telah memiliki KTP) dan tentu saja dengan membayar biaya perkara atau Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kelurahan setempat (bagi yang tidak mampu) dengan membawa bukti-bukti untuk menguatkan permohonannnya.
Selain tes DNA,  apa saja yang dapat menjadi bukti di persidangan untuk membuktikan bahwa anak luar kawin adalah anak biologis ayahnya ?
Kalau mengacu pada Pasal 184 KUHAP, alat bukti secara enumeratif (utama)  terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Sedangkan Pasal 1866 BW jo. Pasal  164 HIR, alat bukti secara enumeratif (utama) terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi,  persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Jika alat-alat bukti tersebut dipahami secara imperatif – limitatif,  sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan zaman seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat sehingga memperkenalkan alat-alat bukti baru yang lebih canggih. Dan dalam hukum pembuktian, tidak lagi ditentukan jenis atau bentuk alat bukti secara enumeratif  sebab kebenaran itu tidak hanya diperoleh dari  alat bukti tertentu, tapi bisa juga diperoleh dari mana saja/ bentuk apa saja , sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.  Jadi alat bukti yang sah dan dibenarkan itu tidak ditentukan bentuk dan jenisnya satu persatu (Ida Iswoyokusumo   1994 : 202). Maka  jika tes DNA (yang juga bukan termasuk alat bukti  secara enumeratif) tidak dimungkinkan,  yang bersangkutan dapat membawa alat bukti apapun sebagaimana tersebut dalam alat bukti secara enumeratif diatas,  bahkan alat bukti lain misalnya alat bukti elektronik (electronic evidence)  baik berupa data elektronik (electronic data),  berkas elektronik (electronic file) maupun segala bentuk sistem komputer yang dapat dibaca seperti e-mail, SMS dsb.  termasuk foto, film, rekaman video, pita suara dll. (Yahya Harahap 2004: 555) sepanjang dapat menguatkan dalil-dalil  permohonan/gugatannya.
Lembaga pemerintahan apakah yang seharusnya menindaklanjuti atau men-sosialisasikan putusan MK ini ?
Menurut Akil, ada beberapa lembaga pemerintahan yang seharusnya menindaklanjuti atau men-sosialisasikan putusan MK tersebut, antara lain Kementerian Dalam Negeri dengan segenap jajarannya yang terkait seperti Kantor Pencatatan Sipil, Kecamatan, Kelurahan dsb., Kementerian Kominfo dan segenap jajarannya.   Begitu juga Kementerian Agama  dan segenap jajarannya yang terkait sepert Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam dengan segenap  jajarannya, termasuk Penerangan Agama, yang titik beratnya terutama ditekankan pada penjelasan bahwa  putusan MK tersebut semata-mata  dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak yang tidak berdosa, karena itu ayah biologisnya tidak  bisa melepaskan diri dari  tanggung jawab keperdataan atas anak luar kawin.  Karena itu  nilai-nilai perkawinan yang suci dan luhur harus di junjung tinggi sebab dengan melakukan hubungan diluar nikah,  ayah biologisnya  tetap tidak bisa melepaskan tanggung jawab keperdataannya atas anak yang dilahirkannya.
S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar