Selasa, 15 Desember 2015

Iuran Jaminan Pensiun

Program Jaminan Pensiun (JP) telah digulirkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).Program ini efektif berjalan 1 Juli 2015 yang diharapkan pekerja bisa menjamin kesejahteraan mereka ketika tidak lagi bekerja (pensiun).
Program Dana Pensiun tak lain merupakan tabungan sebagian pendapatan pekerja yang disisihkan selama mereka sebagai bekal pasca pensiun. Sejatinya, JP tak lain merupakan pendapatan bulanan yang disisihkan ‘secuil’ memasuki hari tua. Nantinya, uang pensiun ini bakal dicairkan setelah mereka memasuki usia 56 tahun.
 “Programnya memang muluk, tetapi saya tidak berani berangan-angan, apalagi berharap bisa menikmati itu.Tahu saja pemerintah kita, walapun sudah ada ada aturannya, belum tentu bisa direalisasikan. Apalagi sekarang ini pemerintah tiap 5 tahun berganti, maka akan berganti pula kebijakannya.”
Lalu yang menjadi pertanyaaan, berapa besaran uang pensiun yang akan diterima? Tentunya, sangat tergantung pada besarnya iuran serta lamanya waktu peserta mengikuti program JP. Menurut Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Massasya, minimal peserta harus mengikuti program JP sekitar 15 tahun supaya pekerja bisa mendapatkan uang pensiun setiap bulan nantinya.
Pemerintah telah sepakat dan menetapkan keputusan bahwa besaran iuran untuk program JP sebesar 3 persen per bulan dari gaji pokok. Dari nilai itu pekerja mengiur sebesar 1 persen  sisanya sebesar 2 persen ditanggung perusahaan. Tentunya, dengan nilai  upah maksimum  yang dilaporkan sebesar Rp7 juta.
Tentunya tidak menutup kemungkinan jika pekerja tertarik  mengikuti program dana pensiun yang diselenggarakan pihak swasta. Dari besaran itu, besaran nilai pensiun yang diterima pekerja berkisar 40 persen dari gaji pokok yang mereka ‘kantongi’ setiap bulan.
Karena program JP yang dicover BPJS Ketenagakerjaan bersifat manfaat pasti, tentunya pekerja harus mengiur paling tidak dengan masa kerja selama 15 tahun. Akan tetapi, untuk pekerja dengan masa kerja di bawah 15 tahun, tetap berkesempatan mengiur sampai 15 tahun secara mandiri. Jika dua pilihan itu tidak diambil, Elvyn menyatakan, pekerja bisa mengambil pensiunnya sekaligus (lumpsum).
BPJS Ketenagakerjaan sendiri tentunya tidak membatasi pekerja yang berusia 40 tahun dengan masa kerja 15 tahun dalam mendapatkan JP berkaitan dengan hak-hak pensiun pekerja.Pekerja yang sudah terdaftar sebagai peserta program pensiun, baik bagi pekerja yang berusia 40 tahun atau lebih, walaupun baru satu bulan terdaftar pada BPJS Ketenagkerjaan kemudian meninggal dunia, baik pekerja ataupun ahli warisnya berhak mendapatkan JP.
Standar ILO,Mestinya JP Harus Mampu Menutup Kebutuhan Dasar
Hanya saja, ada yang menggajal para peserta JP ketika pemerintah menetapkan besaran iuran hanya sekitar 3 persen dan akan ditinjau dan dinaikan persentasenya dalam 3 tahun mininimal hingga 8 persen.
Sesuai tujuan pemerintah mendisain program dana pensiun,tentunya tujuan akhirnya harus mampu menjamin dan menutupi kebutuhan dasar para pensiunan pasca tak lagi bekerja.
Jika kita bandingan nilai iuran yang ditetapkan pemerintah dengan tandar yang ditetapkan Internastional Labour Organisasi (ILO), ternyata masih jauh ‘panggang dari api’. Karena, idealnya dari standar ILO dimaksud, pekerja memasuki usia pensiun setidaknya  bakal memperoleh penghasilan antara 70 persen–80 persen dari penghasilan bulan terakhir.
Nilai ini didapat dari program jaminan pensiun setelah bekerja lebih kurang 35-40 tahun dengan usia pensiun 60-65 tahun. Dengan tingkat penghasilan pensiun (TPP) sebesar 40 persen dari penghasilan bulan terakhir masa kerja diharapkan akan mampu mencukup kebutuhan hidup dasar.
Kenyataannya, dengan iuran JP sebesar 3 persen, otomatis para pensiunan di negeri belum bisa menikmati kesejahteraan yang hakiki pasca pensiun. Betapa tidak,standar ILO belum bisa dipenuhi pemerintah sebagai pembuat regulasi mengingat jumlah pekerja formal dan informal yang sangat timpang dan tingkat upah yang diberlakukan pemberi kerja masih rendah tentunya akan sulit mewujudkan kesejahteraan  para pensiunan ini kelak.
Program JP Dirasa Pekerja Masih Mengawang  
Hasrat pekerja ingin sejahtera pasca pensiun  mereka rasakan masih seperti diawang-awang.Apalagi melihat kenyataan selama ini 4 program jaminan sosial yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk  Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) / per 1 Januari 2014 telah diserahkan pengelolaanya kepada BPJS Kesehatan serta Jaminan Hari Tua (JHT) belum berdaya mencover semua pekerja di Indonesia yang jumlahnya menembus angka  121,9 juta pekerja.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) pertengahan Juli 2015,jumlah angkatan kerja sudah mencapai  121.9 juta orang Sementara penduduk yang bekerja mencapai 114,63 juta orang (terdiri dari pekerja formal mencapai 42,38 juta orang dan pekerja informal mencapai 72.25 juta orang).
Realitanya,jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan tak lebih dari 37 persen dari mereka yang bekerja di sektor formal. Sisanya sekitar 63 persen pekerja informal terpaksa ‘berjibaku’ membanting tulang sebagai buruh kasar,pekerja tidak tetap,pekerja keluarga dan pekerja serabutan yang terus berjaung menyelamatkan hidup mereka.
Ironisnya, dari jumlah pekerja formal itupun yang mampu dicover jaminan sosial dari BPJS Ketenagakerjaan, hanya sekitar 40 juta pekerja. Kenyataan ini justru ‘menciutkan’ angan-angan pekerja pasca pensiun bisa terjamin kesejahteraannya.
“Programnya memang muluk, tetapi saya tidak berani berangan-angan, apalagi berharap bisa menikmati itu.Tahu saja pemerintah kita, walapun sudah ada ada aturannya, belum tentu bisa direalisasikan. Apalagi sekarang ini pemerintah tiap 5 tahun berganti, maka akan berganti pula kebijakannya,” tutur Muchlis (45) salah satu pekerja di pabrik Garmen, di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung Cilincing, Jakarta Utara, dengan lugunya.
Sebenarnya, kalau saja pemerintah ikhlas dan serius benar-benar ingin menjamin kesejahteraan pekerja saat pensiun  akan lebih baik jika pola jaminan pensiun ditetapkan dalam bentuk wajib maupun sukarela.
Tentunya, jika program ini diwajibkan, harus dipastikan ketika mereka mengikuti program JP, para pensiunan mampu memenuhi TPP sebesar 40 persen dan sisanya sekitar 30-40 persen TPP ditutupi dari program sukarela.
Kalau seperti saat ini dengan besaran iuran JP antara 3- 4 persen dari upah, pensiunan hanya bisa mendapatkan TPP JP antara 10- 15 persen dari penghasilan terakhir. Sisanya 25-30 persen  TPP) baru bisa dipenuhi melalui dana Jaminan Hari Tua (JHT) dan imbalan pesangon.
Jika disesuaikan dengan standar ILO, sebenarnya, pekerja dan pengusaha wajib mengiur sekitar 18 persen yang dibagi menjadi iuran JP 4 persen, iuran JHT, 6 persen dan  iuran imbalan pesangon sebesar 8 persen.Dengan bgeitu, baik pemberi kerja maupun pekerja mampu menjangkau pembayaran iuran dan bisa menutupi kebutuhan hidup minimum di masa tua (pensiun) kelak.
Apakah JP Menyentuh Pekerja Infomal?
Jika berbicara soal kesejahteraan pekerja, semestinya, kebijakan pemerintahan melalui JP tidak memilah antara pekerja formal dan informal.Apalagi di republik tercinta ini jumlah pekerja informal lebih besar ketimbang pekerja informal. Sungguh tidak adil rasanya jika yang menjadi prioritas pelayanan hanya bagi mereka yang bekerja di sektor formal semata.
Yang menggelitik, justru bagaimana nasibnya pekerja informal? Siapa yang harus menanggung iuran program BPJS Ketenagakerjan yang ada. Apa mereka harus berjuang sendiri mengiur? Jangankan memikirkan nilai iuran program BPJS  Ketenagakerjaan, untuk memenui kebutuhan sehari-hari dari hasil pekerjaan mereka yang tidak menentu saja sudah setengah mati. Kalaupun ada nilai pendapatan mereka bahkan tidak bisa menyamai Upak Minimum Provinsi, lalu bagaimana nasib mereka?
Bahkan Elvyn sendiri hanya mengungkapkan peserta Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan adalah semua pekerja dengan besaran upah di bawah Rp16 juta per bulan, baik pekerja swasta maupun PNS dan TNI/Polri.Karena sesuai Peraturan perundangan menyatakan sifat kepesertaan mandatory (wajib), bukan pilihan.
Dengan kewajiban dimaksud, harapannya bisa berdampak pada peningkatan jumlah peserta dan pengelolaan dana yang dihimpun BPJS ketenagakerjaan kelak. Elvyn,mengakui Peraturan pemerintah tentang Jaminan Pensiun tetap akan ditinjau setiap 3 tahun. Dan akan terus ditingkatkan nilai persentasenya.
Akan tetapi, pemerintah tidak bisa mengabaikan mereka yang tak tercakup ke dalam program  JP ataupun program lainnya. Pemerintah harus memastikan,perluasan cakupan program dan peningkatan kepesertaan,bisa menjangkau pekerja (sustainability),yang jumlahnya mencapai 114,63 juta pekerja.
Program ini harus bisa memberikan manfaat maksimal (adequancy) dengan nilai iuran yang terjangkau (affordability.) bagi semua pihak baik pekerja maupun pemberi pekerja.Rakyat pekerja ini sangat banyak berharap pada pemerintah dalam mendisain kebijakan yang murni bertujuan menyejahterakan seluruh pekerja, bukan segelintir pekerja saja. Kebijakan ini juga mereka harapkan tidak bersifat parsial tetapi berlaku universal untuk kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar