Senin, 20 April 2015

PBB

Pajak Bumi dan Bangunan Tambah Memberatkan
Ditjen Pajak menaikan target perolehan PBB tahun ini menjadi Rp 25,26 triliun

 
Bersiaplah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang lebih tinggi. Sebab, untuk mencapai target perolehan PBB yang lebih tinggi dari tahun lalu, Ditjen Pajak terus mengerek Nilai Jual Objek Pajak yang jadi dasar perhitungan PBB.

Mejelang akhir pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Juli-Agustus ini, Fuar Sjahnawi suntuk alang kepalang. Pemilik sebidang tanah kosong seluas 653 meter persegi (m2) di Kelurahan Duri Kosambi, Jakarta Barat, itu baru saja menerima SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB tahun 2007 yang ia harus bayar 2008. Yang, bikin jantungnya nyaris copot, pajak yang harus dibayarnya melonjak tinggi menjadi Rp 2,05 juta. Padahal, tahun lalu PBB-nya hanya Rp 218.755. Artinya, dalam satu tahun naik hampir 1000%.

Cek punya cek, ternyata kelas tanah milik Fuar naik dari A30 menjadi A23 atau naik 7 tingkat. Setelah ia mengecek tanah ke tetangga-tetangga sekitar , ternyata mereka tidak mengalami kenaikan seperti itu. Maka, ia yakin, pasti ada kesalahan aparat pemda dalam menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Ternyata benar. Setelah ia mengadukan masalah masalah tersebut ke aparat pajak, dan menulis surat pembaca di Harian Kompas, kantor pelayanan pajak (KPP) setempat melakukan verifikasi lapangan. Ternyata memang penetapan pajak itu salah. KPP setempat pun mengoreksi dan menerbitkan SPPT PBB yang sesuai kondisi tanah itu saat ini.

Kasus tersebut hanyalah salah satu contoh dari banyak kasus PBB. Misalnya, kolektor pajak PBB nakal tidak menyetorkan pajak sehingga wajib pajak (WP) dirugikan. Kemudian pajak yang bertahun-tahun tidak bisa ditagih karena aparat pajak tidak berhasil menemukan si pemilik tanah. Dengan demikian, begitu diketemukan, si wajib pajak harus merapel PBB-nya bertahun-tahun. Kasus macam ini banyak terjadi pada tanah-tanah kosong yang pemiliknya tinggal jauh dari lokasi tanah tersebut

Bisa naik berlipat-lipat

Terlepas dari masalah itu, secara umum, para wajib pajak memang harus bersiap membayar PBB dalam jumlah lebih besar. Pasalnya, belakang Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak semakin getol menarik pajak atas tanah dan bangunan tersebut.

Tahun ini Ditjen Pajak menargetkan perolehan PBB sebesar Rp 25,26 triliun. Target ini lebih tinggi 6,5% dibanding dengan realisasi perolehan PBB tahun lalu yang sebesar Rp 23,61 triliun.

Untuk mencapai target itu, salah satu langkah yang akan diambil Ditjen Pajak adalah menaikkan NJOP. Tapi tentu, harus alasan untuk menaikkannya. Salah satu alasan yang paling kerap digunakan Ditjen Pajak adalah harga pasar tanah di suatu tempat memang sudah naik melebihi NJOPnya. Ini bisa terjadi , misalnya, karena lokasi tanah tersebut menajdi strategis dengan dibangunnya akses jalan, seperti jalan tol atau jalur busway.

Menurut Hasan Rachmany Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak, instansi ini menerapkan dua sistem dalam menetapkan NJOP tanah. Yaitu sistem massal dan sistem individual.

Dalam sistem massal, formula dibuat semudah mungkin sehingga orang mudah memahaminya. Dalam sistem massal ini, tanah dikelompokkan ke dalam blok-blok. Nah, tanah yang berada dalam satu blok diasumsikan memiliki harga yang tidak berbeda jauh satu sama lainnya.

Namun, ada pula tanah-tanah yang dinilai secara individual. Di sini harga tanah dihitung berdasarkan berbagai hal yang menyangkut kondisi tanah tersebut.

Hasan menambahkan, penyesuaian tarif pajak umumnya dilakukan antara satu tahun bhingga tiga tahun. Untuk daerah perkotaan atau daerah pinggiran, umumnya penyesuaian tarif dilakukan setiap tahun. Sebab, perkembangan daerah perkotaan dan sekitarnya relative cepat. Namun, untuk daerah pedesaan, yang pergerakan harga lambat, biasanya penyesuaian tarif pajak dilakukan setiap tiga tahun.

Adapun beberapa faktor yang membuat NJOP naik, kata Hasan, adalah akses ke lokasi dan peruntukannya. Misalnya, bila tanah tersebut akan menjadi kawasan perumahan atau industri, maka umumnya harga pasar tanah dan bangunannya akan segera naik. Nah, berdasarkan harga pasar itu, Ditjen Pajak akan menaikkan NJOP tanah di kawasan itu.

Ada 100 kelas tanah

Untuk mempermudah cara menghitung NJOP, Ditjen Pajak mengelompokkan tanah menjadi kelas A dan B. Untuk Kelas A sendiri ada 50 kelas. Untuk golongan kelas B juga ada 50 kelas.

Besaran NJOP untuk kelas A mulai dari Rp 140 per m2 hingga Rp 3,1 juta per m2. Sementara besaran NJOP untuk tanah golongan B mulai dari Rp 3,37 juta per m2 hingga Rp 68,54 juta per m2.

Untuk bangunan, Ditjen Pajak menetapkan kelompok A dan B masing-masing bisa digolongkan lagi ke dalam golongan golongan 1-20. Untuk bangunan ini, tarif NJOP tertinggi adalah Rp 15,25 juta per m2. Ini berlaku untuk bangunan yang harga jualnya berkisar antara Rp 14,7 juta-Rp 15,8 juta per m2. Sementara itu tarif NJOP bangunan yang paling rendah adalah Rp 50.000 per m2.

Besaran PBB yang harus dibayar tergantung dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Jika NJKP kurang dari Rp 1 miliar, maka besar PBB yang harus dibayar adalah 1 per mil (1/1000) dikali 20% dari NJKP. Bila NJKP di atas Rp 1 miliar, maka PBB-nya 2 per mil dikalikan 40% NJKP.

Oh, ya, NJOP berbeda dari NJKP karena ada pengurangan terlebih dulu dengan yang namanya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang besarnya Rp 8 juta-Rp 12 juta.

Menurut Hasan, pengklasifikasian tanah yang dilakukan berdasarkan interval harga ini semata-mata untuk mempermudah orang memahaminya.

Namun, ke depan ini, agar lebih transparan, Ditjen Pajak tengah mengupayakan agar informasi mengenai NJOP tanah maupun bangunan dapat diakses oleh publik secara online, Jadi, kelak untuk mengetahui berapa NJOP-nya, orang tinggal meng-klik dalam sistem yang dibuat. Dalam sistem itu, orang akan tahu berapa pajak yang harus dibayar dan apa dasar perhitungannya.

Ada yang senang NJOP tinggi.

Ada sistem NJOP online bisa jadi akan membantu para pemilik properti mengetahui secara dini berapa besar PBB yang harus mereka bayar. Soalnya, berbeda dengan Pajak Penghasilan, PBB merupakan jenis pajak yang tidak bisa dihitung sendiri oleh si pemilik tanah dan bangunan.

Makanya, sering muncul keluhan, PBB yang harus mereka bayar naik, sementara propertinya sendiri tidak menghasilkan kenaikan karena tidak dijual.

Biasanya, harga pasar properti memang terus naik, kendati berbeda-beda tergantung dari lokasi. King Nardi, Manajer Senior Century 21 Kelapa Gading, menjelaskan harga tanah di beberapa daerah di Kelapa Gading dalam satu tahun bisa naik lebih dari 20%.

Ia mengambil contoh ruko di Boulevard Raya. Tahun lalu, harganya berkisar Rp 1,9 miliar hingga Rp 2 miliar per unit. Kini harganya sudah naik jadi Rp 2,5 miliar. Begitu pula ruko di Kelapa Gading Square. Tahun lalu harganya masih Rp 3 miliar, tapi kini sudah Rp 3,5 miliar per unit.

Harga tanah di kawasan Kelapa Gading yang terus bertumbuh itu pun terus naik, Harga tanah di kawasan Kelapa Gading yang tidak rawan banjir saat ini sudah mencapai Rp 8 juta per m2. Padahal tahun lalu, harga tanah yang sama baru Rp 7 juta m2. Jadi, bisa dibayangkan, jika Ditjen Pajak benar-benar mengikuti �harga pasar�, maka kenaikan NJOP di kawasan ini bakal tinggi.

Toh, banyak pemilik properti justru senang dengan kenaikan NJOP. Seperti kata Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria Usep Setiawan, banyak pemilik properti diuntungkan karena nilai jualnya naik. �Bagi masyarakat, NJOP menjadi tolak ukur nilai ekonomis properti,� kata dia.

Maka tak aneh kalau di beberapa daerah, khususnya yang akan terkna proyek, para pemilik tanah justru ingin NJOP mereka dinaikkan walaupun PBB yang harus mereka bayar juga naik.

Elfira Rosa, Marga Raharja
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar