Seringkali kita menemukan kasus yang membutuhkan analisa hukum,
seperti perlu atau tidaknya persetujuan pihak lain jika seseorang akan
menjual hartanya, dalam hal ini difokuskan pembahasan mengenai harta
tidak bergerak berupa rumah dan tanah. Karena ada beberapa kondisi yang
mungkin terjadi pada harta tersebut. Misalnya harta tersebut harta gono
gini, harta bawaan atau harta hasil perolehan karena hibah atau
warisan. Mengenai penggolongan harta, apakah termasuk harta gono gini
atau harta bawaan sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Mengenai
Perkawinan atau yang lebih dikenal sebagai UU Perkawinan.
Harga gono gini
Cara paling mudah dalam menentukan suatu harta termasuk harta gono
gini atau tidak adalah dengan membandingkan tanggal pernikahan atau
perceraian dengan tanggal perolehan harta tersebut. Jika harta tersebut
berupa rumah dan tanah yang sudah bersertifikat maka dalam sertifikat tersebut
tercantum tanggal perolehan atau tanggal Akta Jual Beli. Jika tanggal
akta jual beli setelah tanggal pernikahan atau sebelum perceraian, maka
tanah dan bangunan tersebut termasuk harta gono gini. Walaupun dalam
kenyataannya yang membeli itu hanya uang suami atau istri. Atau nama
yang tertera dalam sertifikat adalah nama istri atau nama suami saja.
Untuk kasus seperti di atas, jika harta tersebut mau dijual maka
mutlak diperlukan persetujuan suami atau istri dalam akta jual beli,
atau persetujuan dalam akta terpisah yang sekurangnya harus dilegalisasi
di hadapan notaris.
Harta bawaan suami istri
Ada kalanya suami atau istri sudah memiliki harta sebelum terikat
dalam tali perkawinan. Kondisi riilnya untuk kasus tanah dan bangunan,
jika tanggal akta jual beli sebelum tanggal akta nikah maka harta
tersebut tidak termasuk harta gono gini. Untuk menjual tanah dan
bangunan ini tidak diperlukan persetujuan suami atau istri. Juga tidak
diperlukan persetujuan anak-anaknya.
Harta yang didapat dalam masa perkawinan karena hibah atau warisan atau perolehan lain yang bukan dari pencaharian
Perolehan harta dari hibah atau warisan
untuk masing-masing pihak adalah tetap milik masing-masing pihak,
walaupun perolehannya pada masa perkawinan. Untuk menjual objek ini
tidak diperlukan persetujuan masing-masing pihak, asalkan bukti-bukti
yang menyatakan asal perolehannya bisa dilampirkan.
Perjanjian Kawin
Belakangan ini sudah sering orang membuat Perjanjian Kawin mengenai
pisah harta dalam perkawinan, terutama mereka yang kawin campur antara
WNI dan WNA. Untuk menjual harta ini tidak diperlukan persetujuan
masing-masing pihak dalam menjual harta nantinya. Walaupun harta
tersebut diperoleh dari pencarian masing-masing dan dalam masa
perkawinan. Untuk orang Indonesia sendiri masih jarang dilakukan
perjanjian kawin ini. Karena terkesan materialistis bagi suatu pihak.
Sebenarnya dari segi keamanan, perjanjian kawin ini sangat
menguntungkan, terutama bagi orang yang berprofesi sebagai pengusaha.
Perjanjian kawin ini juga mengandung pengertian bahwa selain harta
menjadi milik masing-masing, hutang juga menjadi tanggungan
masing-masing. Jadi hutang seorang suami tidak bisa dibebankan kepada
istri begitu juga sebaliknya.
Persetujuan Menjual dari anak
Jika salah satu dari suami atau istri meninggal dan pihak yang hidup ingin menjual tanah dan
rumah tersebut dan objek yang akan dijual ini merupakan harta gono gini
maka diperlukan persetujuan dari anak-anaknya. Karena sang anak
mewakili hak dari salah satu pihak yang meninggal.
Tetapi jika rumah dan tanah tersebut didapat dari hibah atau warisan
maka tidak diperlukan persetujuan dari anak-anaknya. Contohnya jika
seorang ibu mendapat harta warisan pada masa perkawinan dan suatu saat
suaminya meninggal. Jika si ibu akan menjual rumah dan tanah tersebut
tidak diperlukan persetujuan dari anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar