Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa Persetujuan Ahli Waris
Pertanyaan saya ialah, apakah bisa kita menarik kembali hak milik atas
tanah yang telah kita jual? Karena tanah tersebut ialah tanah warisan
yang dalam surat jual beli tersebut tidak ada surat tanahnya, dan surat
jual beli tersebut belum ditandatangani oleh pewaris. Terima kasih.
Jawaban:
Berdasarkan
cerita Anda, pertama-tama perlu kami luruskan bahwa “pewaris” yang Anda
maksud mungkin pihak yang mendapatkan warisan, yang sebenarnya disebut
dengan ahli waris. Kami berasumsi bahwa yang Anda maksud tidak ada surat
tanahnya adalah bahwa jual beli tersebut tidak menyertakan sertifikat
tanah yang sebenarnya sudah ada, serta belum ditandatanganinya surat
jual beli oleh pewaris kami asumsikan bahwa tidak adanya persetujuan
dari ahli waris mengenai jual beli tanah warisan tersebut.
Perlu
diketahui bahwa dalam hal jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli
tersebut dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”),
sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”). Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan hak atas tanah karena jual beli tersebut (Pasal 73 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Dalam proses jual beli tersebut, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan (hal 17-21), sebagaimana kami sarikan, dalam transaksi jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Data Tanah:
a. PBB asli lima tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya);
b. Sertifikat Asli Tanah;
c. Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (optional);
d. Bukti Pembayaran Rekening Listrik, Telepon, Air (bila ada);
e. Sertifikat Hak Tanggungan jika masih dibebani hak tanggungan.
2. Data Penjual dan Pembeli:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk suami/istri Penjual dan Pembeli;
b. Fotokopi Kartu Keluarga dan Akta Nikah;
c. Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli.
Dibutuhkan
data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual suatu
benda (menjual merupakan tindakan kepemilikan) adalah orang yang
memiliki hak milik atas benda tersebut.
Hal senada juga ditegaskan Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata
(hal 69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak yang paling
sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas suatu
benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,
memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang
atau hak orang lain.
Hal ini juga didukung oleh Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”),
yang berbicara mengenai jual beli (pada dasarnya dalam jual beli tanah
sama dengan jual beli pada umumnya), yang secara implisit
mempersyaratkan bahwa penjual haruslah pemilik dari barang yang dijual:
Jual
beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar
kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga,
jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Dalam
hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan,
maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris (Pasal 833 ayat (1) jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPer):
Pasal 833 ayat (1)
Para
ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas
semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Pasal 832 ayat (1)
Menurut
undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah,
baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan
suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan
berikut ini.
Oleh
karena itu, seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua
ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut
akibat pewarisan. Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris
(hal. 176-177), sebagaimana kami sarikan, mengatakan jika ingin
dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai
agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Notaris pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli
waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang
dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk
akta notaris.
Dalam
hal jual beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para ahli
waris, maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk
menjualnya (karena yang sekarang memegang hak milik atas tanah tersebut
yaitu para ahli waris). Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471 KUHPer di atas, jual beli tersebut batal.
Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap
tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya
semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak
milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.
Selain itu, jual beli tanpa menyertakan sertifikat tanah juga bertentangan dengan persyaratan dalam proses jual beli tanah.
Para
ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka
dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata
atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, yang berbunyi:
“Tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.”
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
(penjelasan selengkapnya simak artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras)
Yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan
dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau
terhadap harta benda orang lain.
Dalam
hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa
persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif
para ahli waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar
perbuatan melawan hukum, Anda harus dapat membuktikan bahwa orang yang
hendak digugat memenuhi semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum
sebagaimana disebutkan di atas.
Hal ini didukung juga dengan adanya Pasal 834 KUHPer,
yang memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan gugatan guna
memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang menguasai seluruh
atau sebagian harta peninggalan, baik orang tersebut menguasai atas
dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun atas harta
peniggalan tersebut. Hal ini disebut dengan hereditas petitio.
Mengenai
apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah
dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum
gugatan Anda dan bergantung pada putusan hakim. Lebih lanjut, mengenai
gugatan perdata (termasuk mengenai petitum), Anda dapat membaca artikel
yang berjudul Tentang Posita, Petitum, Replik, dan Duplik dan Membuat Surat Gugatan.
Pasal
1365 KUHPer jo. Pasal 834 KUHPer telah memberikan para ahli waris dasar
untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat
memajukan gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya
atas harta peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan anti rugi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Artikel jawaban ini telah disempurnakan pada 14 Januari 2013.
Dasar Hukum:
4. Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar