Pendaftaran peralihan hak sertifikat atau yang lebih dikenal dengan
istilah balik nama haruslah berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT tersebut bisa berupa Akta Jual Beli (AJB), Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) dan Akta Pemasukan Dalam Perseroan (inbreng). Proses balik nama dilakukan di Kantor Pertanahan yang ada di masing-masing Daerah Tingkat II atau tiap-tiap kabupaten/kotamadia.
Persyaratan untuk membuatan akta-akta tersebut sudah diatur dalam
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendaftaran tanah, baik
berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) atau bisa juga aturan berupa Surat Edaran Kepala BPN.
Persyaratan-persyaratan tersebut bisa dikerucutkan menjadi dua saja
yaitu persyaratan subjek dan objek. Subjek berupa pemegang haknya, baik
berupa orang pribadi atau badan hukum yang diwakili oleh identitas
pemilik berupa Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga jika pemegang
haknya berupa perorangan dan akta-akta perseroan jika pemegang haknya
berupa Perseroan Terbatas. Sedangkan objeknya berupa benda tidak
bergerak yang diwakili oleh bukti legalitas yang lazim disebut
sertifikat tanah dan bangunan, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) dan aspek legalitas lain yang melekat pada
objek..
Selain peralihan hak berdasarkan akta-akta yang dibuat oleh PPAT
tersebut masih ada proses baliknama yang bisa dilakukan dengan dasar
tanpa akta-akta PPAT. Peralihan tersebut berdasarkan: Surat Keterangan
Waris (SKW) atau dikenal juga sebagai turun waris, Putusan Pengadilan
dan risalah lelang.
Turun Waris
Balik nama berdasarkan SKW diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
dimana balik nama sertifikat secara turun waris ini cukup berdasarkan
Surat Keterangan Waris saja, tidak perlu akta PPAT. Jika yang meninggal
adalah Warga Negara Indonesia (WNI) pribumi, maka SKW dibuat oleh para
ahli waris dengan disaksikan oleh dua orang saksi dan dibenarkan atau
dikuatkan oleh Lurah/Kepala Desa dan Camat tempat tinggal terakhir si
pewaris, untuk WNI keturunan Tionghoa dan Eropa Surat Keterangan Hak Waris dibuat dengan akta Notaris. Sedangkan untuk WNI keturunan Timur Asing maka SKW dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Selengkapnya tentang Surat Keterangan Waris ini bisa dilihat disini.
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan bisa dijadikan dasar untuk balik nama sertifikat, hal ini bisa dilihat dalam Pasal 37 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997.
Dalam PP tersebut memang tidak ada secara eksplisit menyatakan bahwa
Putusan Pengadilan bisa dijadikan dasar pengajuan balik nama sertifikat,
tetapi bisa diartikan bahwa balik nama sertifikat bisa berdasarkan
surat otentik yang dibuat oleh bukan PPAT, karena Putusan Pengadilan
termasuk surat atau akta otentik.
Biasanya putusan pengadilan ini didahului oleh sengketa pihak-pihak
terkait atau berupa pembagian harta gono gini. Balik nama sertifikat
dilakukan setelah putusan tersebut in kracht van gewijsde atau sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Risalah Lelang
Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang bisa dijadikan dasar untuk balik nama sertifikat karena diatur juga PP No. 24 Tahun 1997. Lelang ini terdiri dari Lelang Non Eksekusi Sukarela, Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi Wajib.
Lelang Non Eksekusi Sukarela dilakukan apabila pemilik memang
menginginkan objek miliknya dijual melalui proses lelang tanpa ada
sesuatu yang mengharuskan penjualan melalui lelang. Sedangkan Lelang
Eksekusi adalah penjualan melalui lelang karena putusan pengadilan atau
karena telah terpenuhinya unsur lelang eksekusi seperti diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, diantaranya
debitur sudah cidera janji atau lebih dikenal dengan istilah wanprestasi. Sedangkan Lelang Non Eksekusi Wajib dilakukan untuk menjual barang-barang/jasa milik negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar