Jakarta - Ginandjar Kartasasmita meragukan Letjen TNI LB Moerdani akan
mengkudeta Presiden Soeharto pada 1983. Ketua DPD itu menduga isu kudeta
dihembuskan oleh orang yang tidak sehat kejiwaannya.
"Pada
masa-masa terakhir karir beliau (Moerdani), memang ada beberapa
perbedaan pandangan dengan Pak Harto. Tapi tidak mungkin sampai beliau
menggerakkan sebuah kudeta," kata Ginandjar dalam pesan singkat yang
diterima detikcom, Jumat (13/3/2009).
Letjen Purn Sintong Panjaitan,
dalam bukunya 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando', menyatakan,
Kapten Prabowo Subianto akan melakukan counter coup untuk menggagalkan
rencana kudeta Letjen TNI LB Moerdani terhadap Presiden Soeharto.
Sintong
yang pernah menjadi penasihat Presiden Habibie itu juga menyebut
counter-coup akan dilakukan dengan menculik beberapa petinggi ABRI
antara lain LB Moerdani, Letjen Soedharmono, Marsdya Ginandjar
Kartasasmita dan Letjen Moerdiono.
Menurut Ginandjar, LB Moerdani
merupakan prajurit yang lurus, disiplin, dan berani. Banyak jasa yang
sudah diberikan Moerdani kepada negara. Salah satunya Moerdani
diterjunkan di Irian Barat dalam perang merebut kembali provinsi
tersebut.
"Beliau salah seorang yang berhasil kembali dengan
selamat. Beliau juga berperan penting dalam menyelamatkan republik dari
kudeta PKI di tahun 1965. Beliau sangat loyal kepada Pak Harto," jelas
Ketua DPD RI ini.
Ginandjar mengatakan, beberapa jenderal yang
diduga terlibat dalam kudeta yang ada pada buku karya Sintong Panjaitan
tersebut adalah tidak benar. "Bukan hanya tidak benar tapi bisa datang
dari jiwa yang tidak sehat," imbuhnya.
Ginandjar pun sebenarnya
mengagumi LB Moerdani namun bukan berarti sepaham sepenuhnya dengan visi
politiknya. LB Moerdani dikenal sebagai seseorang yang memiliki
kecurigaan terhadap kelompok-kelompok Islam, tidak suka ICMI, dan tidak
cocok dengan BJ Habibie.
"Dalam hal ini saya tidak sejalan dengan
Pak Benny. Tapi saya tidak yakin bahwa Pak Benny akan melanggar Sapta
Marga dan sumpah prajuritnya dengan melancarkan kudeta," tegasnya.
(gus/iy)
Blog Dr: http://www.detiknews.com/read/2009/03/13/104627/1098830/10/ginandjar-tak-yakin-lb-moerdani-akan-mengkudeta-soeharto
LB Moerdani (1932-2004)
Militer dan Intelijen Sejati
Mantan
Panglima ABRI Jenderal (Pur) Leonardus Benyamin Moerdani meninggal
dunia sekitar pukul 01.30 WIB Minggu 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot
Soebroto. Mantan Menhankam dan intelijen kawakan kelahiran Cepu 2
Oktober 1932 ini sudah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 7 Juli 2004
karena stroke dan infeksi paru-paru.
Jenazah disemayamkan rumah
duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di
Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes
AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu.
Dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 Wib di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI Jenderal Endriartono
Sutarto. Sedangkan upacara keagamaan dipimpin Pastur Suito Panito.
Penghormatan
yang mengiringi kepergiannya sangat terasa khidmat. Bendera Merah Putih
yang dibentangkan setinggi dada serta tembakan salvo mengiringi jrnazah
Benny ke liang lahat.
Para pelayat, mulai dari kerabat,
sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara, baik sipil maupun militer,
berduyun-duyun mengantarkannya dari kediaman di Jalan Hang Lekir,
Jakarta Selatan, ke Mabes TNI Angkatan Darat hingga ke TMP Kalibata.
Mantan
Presiden Soeharto didamping putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana, serta
enderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi istrinya,
Kristiani Herawati melayat ke kediaman almarhum.
Sementara
Presiden Megawati Soekarnoputri beserta suami, Taufik Kiemas, menghadiri
upacara penghormatan terakhir dan serah terima jenazah mantan Menteri
Pertahanan dan Keamanan/Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) itu saat almarhum disemayamkan di Mabes TNI AD.
Saat
disemayamkan di Mabes TNI AD, hadir mantan Presiden KH Abdurrahman
Wahid, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad)
Letnan Jenderal Bibit Waluyo, sejumlah purnawirawan TNI, serta beberapa
pejabat pemerintahan era Orde Baru, seperti Harmoko, Ali Alatas, dan
Fuad Hassan.
Begitu pula di pemkaman, hadir sejumlah
pejabat, mantan pejabat militer dan tokoh-tokoh lainnya, antara lain
mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan Panglima
ABRI Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, Des Alwi, Frans Seda dan sejumlah
pengamat dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
seperti Harry Tjan Silalahi, Sofjan Wanandi, dan Mari Pangestu.
Sebagai
rasa hormat kepada almarhum, Panglima TNI memerintahkan seluruh markas
jajaran TNI di seluruh Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih
setengah tiang selama tujuh hari, terhitung mulai 29 Agustus 2004.
penghormatan itu diberikan mengingat jasa-jasa Benny kepada ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan negara.
Hari-hari
sebelumnya sejumlah pejabat dan tokoh menjenguknya yang tengah dirawat
di ruang Intensive Care Unit (ICU) lantai 4 kamar bernomor 408 RSPAD
sejak hari Selasa (6/7). Dia antara tokoh yang menjenguknya:Panglima TNI
Jendral Endriartono Sutarto dan Taufik Kiemas.
L.B.
Moerdani meninggalkan seorang istri, Hartini dan seorang putri, Irene
Ria Moerdani serta lima orang cucu). Semasa menjabat Menhankam/Pangab,
jenderal bintang empat ini sangat disegani di negeri ini. Pada saat
menjabat Menhankam/Pangab, dia malah disebut-sebut sebagai orang nomor
dua terkuat setelah Presiden Soeharto. Dia memang dikenal seorang
jenderal yang tegas, sosoknya benar-benar militer sejati.
Prestasinya
terukir sebagai penata organisasi intelijen di tubuh militer. Benny,
demikian panggilan akrabnya, merupakan penggagas Badan Intelijen
Strategis (Bais) pada 1983. Sebuah lembaga intelijen melengkapi lembaga
serupa yang sudah ada yakni Badan Koordinasi Intelijen Negara (1969).
Dia juga sukses mereorganisasi sejumlah komando daerah militer dan
memodernisir peralatan TNI semasa menjabat Pangab.
Mantan
Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini juga sukses dalam
sejumlah operasi militer. Di antaranya Operasi Seroja di Timor Timur
pada 1975 dan Operasi Woyla 1981.
Dia juga dikenal sebagai negarawan yang dijuluki kalangan diplomat asing sebagai the only statesman in Indonesia.
Legendaris
Benny
dikenang sebagai peletak modernitas ABRI. Banyak hal yang telah
diperbuat LB Moerdani semasa hidupnya. Bukan hanya menjadikan lembaga
intelijen berkembang secara profesional, tapi juga juga membangun
persenjataan yang lebih modern, pendidikan, latihan dan kerja sama
dengan negara lain di bidang pertahanan.
Dia figur
berkepribadian kuat, memiliki profesionalitas militer yang sangat
kental, sedikit bicara, tegas, dan tidak bertele-tele jika berbicara.
Bahkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan
Mayjen TNI Sudrajat menilai LB Moerdani sebagai jenderal legendaris yang
setara dengan Sudirman, Nasution, dan Simatupang.
Menurut
Sudrajat, selain punya karisma luar biasa, Beliau bisa membawa bangsa
ini kepada suasana stabil, saling memahami, dan di tengah-tengah itu
memformulasikan nilai-nilai demokrasi.
Anggota Dewan Kehormatan
Harry Tjan Silalahi menilai LB Moerdani sebagai pahlawan, patriot sejati
Indonesia. Sebab, ia selalu berjuang dan melaksanakan tugasnya untuk
negeri ini melampaui apa yang diwajibkan. "Kita menamakannya Patriot 24
Karat," tuturnya kepada Kompas (30/8/2004)
Sofjan Wanandi
berpendapat, LB Moerdani termasuk sosok militer yang berani mengkritik
Soeharto, tetapi tetap menunjukkan loyalitasnya. "Dia juga menjadi
korban ketika mulai tidak disukai Soeharto," ucapnya.
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menilai mendiang sebagai seorang prajurit yang
berdedikasi tinggi dan tidak pernah memikirkan hal lain, selain negara
dan kesatuannya.
"Beliau seorang ksatria," kata Gus Dur sebagaimana ditulis dalam pengantar biografi LB Moerdani.
Namun,
Gus Dur juga menulis, ternyata seorang LB Moerdani yang sedemikian
perkasa masih mau diperintah untuk menjalankan kebijakan "petrus"
(penembakan misterius). Kebijakan tersebut dijadikan semacam terapi
kejut oleh pemerintahan Soeharto untuk mengurangi angka kejahatan.
"Muka
Beliau setelah membaca tulisan saya seperti berubah jadi ’merah-biru’.
Tapi kemudian Beliau mengatakan, 'Baik, dimuat’. Saya kemudian
mendatanginya dan mengatakan, ’Saya paling senang berurusan dengan
seorang ksatria’," ujar Gus Dur tentang itu.
Sosok Benny juga
terbilang kontroversial. Selain banyak yang mengenangnya sebagai
prajurit sejati, gagah dan prajurit negarawan, juga ada pihak yang
mengenangnya dalam sosok lain.
Dia memang seorang jenderal yang
meninggalkan banyak jejak semasa Orde Baru masih gagah perkasa. Pada
masanya menjabat Panglima ABRI, dialah jenderal yang banyak disebut
paling berpengaruh setelah Pak Harto. Wajah sangarnya sering hadir di
banyak peristiwa yang menonjol. Bahkan setelah Orde Baru tumbang,
bayang-bayangnya masih banyak dalam pembicaraan politik.
Kebersamaannya
dengan Pak Harto dimulai pada saat perebutan Irian Barat. Pada perang
yang dikomandani Mayor Jenderal Soeharto itu, Mayor Benny yang memimpin
Operasi Naga iberhasil memimpin penyusupan.
Setelah itu,
1967-1974 Benny bertugas di luar negeri (Kuala Lumpur dan Seoul) sebagai
diplomat. Di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu, nama yang
membayangi Pak Harto adalah mendiang Jenderal Ali Moertopo, yang juga
salah satu mentor Benny di bidang intelijen.
Kemudian Benny
diangkat sebagai pimpinan Satgas Intelijen Kopkamtib (1974). Kemudian
menjabat asisten intelijen Hankam, dan kepala pusat Badan Intelijen
Strategis (Bais) yang didirikannya. Hingga meraih posisi puncak menjabat
Panglima ABRI sekaligus Panglima Kopkamtib sampai 1988.
Pada
saat Benny menjabat Pangab itulah, terjadi Peristiwa Priok 1984. Benny
kerap dianggap sebagai orang yang sengaja memojokkan golongan tertentu.
Namun, Benny membantahnya di hadapan para kiai Ponpes Lirboyo, Kediri,
"Saya ingin menegaskan, umat Islam Indonesia tidak dipojokkan. Dan tidak
akan pernah dipojokkan."
Kesetiaannya sebagai pembantu Presiden
untuk menjaga "stabilitas nasional" memang tidak hanya menggetarkan
kalangan aktivis muslim. Banyak separatis dan gerilyawan, seperti orang
Timtim umumnya yang agamanya Katolik, juga mendapat tindakan tegas pada
masa itu.
Namun kesetiaannya kepada Pak Harto tidak harus
membungkuk-bungkuk seperti kebanyakan tokoh lain. Benny, konon, malah
punya keberanian mengingatkan Pak Harto agar putra-putri dikendalikan.
Walaupun hal itu harus berakibat hubungannya dengan sang jenderal besar
tersebut merengggang.
Apalagi, seperti ditulis Kivlan
Zen, Benny dianggap berambisi menduduki kursi wakil presiden pada Sidang
Umum MPR 1988. Berakibat Pak Harto marah dan memberhentikan Benny dari
Jabatan Panglima ABRI beberapa hari sebelum SU MPR dimulai. Sehingga
Benny pun kehilangan kendali terhadap Fraksi ABRI di DPR/MPR. Hal ini
disikapi Brigjen Ibrahim Saleh, dengan interupsi menolak Sudharmono
sebagai Wapres. Brigjen Ibrahim Saleh pun dipecat. Pada masa itu,
interupsi dianggap suatu keberanian luar biasa yang dianggap penguasa
ibarat ledakan bom dalam suasana 'stablilitas nasional' yang tenang.
►tsl
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Blog Dr: http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/l/lb-moerdani/index.shtml
MINGGU sekitar pukul 01.00 WIB, Jenderal (Purn) Leonardus Benny Moerdani
mengembuskan napasnya yang terakhir di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
Siang
harinya Presiden Megawati Soekarnoputri didampingi suaminya, Taufik
Kiemas, tiba di Markas Besar Angkatan Darat Jalan Veteran untuk melayat
jenazah mantan menhankam/ pangkomkamtib tersebut, yang disemayamkan di
Ruang AH Nasution.
Megawati yang menggunakan kebaya oranye muda
disambut KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu dan langsung masuk ke
Ruang AH Nasution. Di tempat itu juga telah tampak mantan presiden KH
Abdurrahman Wahid beserta istrinya, Ny Sinta Nuriyah. Hadir pula mantan
capres dari Partai Golkar Jenderal (Purn) Wiranto yang juga mantan
menhamkam/ pangab.
Keempat tokoh tersebut, Megawati, Wiranto, Gus
Dur, dan Ryamizard didampingi oleh Taufik Kiemas dan Ny Sinta Nuriyah
tampak duduk berdampingan di dekat jenazah LB Moerdani, yang dikenal
sebagai tokoh kunci dalam pembentukan Badan Intelijen Nasional itu.
Sejumlah
pejabat dan mantan pejabat militer juga hadir, antara lain, Kepala
Bapennas Kwik Kian Gie, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin,
Gubernur DKI Sutiyoso, dan mantan KSAD Wismoyo Arismunandar,
LB Moerdani meninggal di RSPAD Gatot Subroto akibat stroke. Dia meninggalkan seorang istri, satu putri, dan lima cucu.
Berbicara
mengenai almarhum, orang tidak dapat melepaskan dari kiprahnya di
panggung politik nasional yang penuh dinamika. Benny yang pernah menjadi
orang nomor satu di tubuh TNI, saat menduduki jabatan Panglima ABRI
1983 pernah membuat berbagai manuver yang sering dicurigai baik oleh
kawan maupun lawannya.
Pria kelahiran Cepu, Jateng, 2 Oktober
1932 tersebut mengawali kariernya di AD saat masih bernama TKR di Solo
akhir 1945. Selanjutnya kiprah dia di AD memang sangat menonjol sebagai
prajurit yang tangguh, profesional, ditunjang dengan keberaniannya yang
menjurus nekat.
Dari penuturan rekan-rekan sejawatnya, diketahui
bahwa Benny dalam sebuah pertempuran saat operasi 17 Agustus 1958 di
Sumatera pernah bergerak terlalu cepat mengejar musuh yang lari,
sehingga jaraknya dengan pasukan induk hingga beberapa kilometer.
Padahal
Benny hanya bersenjatakan senapan mesin ringan dengan amunisi yang
terbatas. Namun bisa membuat musuh mengira sedang dikejar oleh pasukan
berkekuatan penuh. Saat itu RPKAD memang belum sekuat dan terlatih
seperti Kopassus saat ini.
Bahkan, ada cerita, saat akan
diterjunkan pada operasi penumpasan pemberontakan PRRI tersebut, banyak
anggota RPKAD yang belum benar-benar bisa terjun, termasuk juga Benny
yang saat itu berpangkat letnan.
Begitu prestasinya didengar oleh
petinggi AD, Benny akhirnya sering diterjunkan pada operasi-operasi
militer yang penting dan sangat berisiko. Pada saat Trikora, dia dengan
pangkat kapten ditunjuk sebagai komandan pasukan RPKAD yang diterjunkan
di daerah musuh.
Terjunnya Benny di belantara Papua sangat
merepotkan pasukan pendudukan Belanda. Karena dia sering melakukan
serangan mendadak dan kemudian segera menghilang. Namanya pun menjadi
legenda, dan Belanda makin dipusingkan olehnya.
Ada sebuah cerita
pada saat Belanda melakukan penyergapan terhadap pasukan Benny di
hutan, dia berhasil lolos. Namun pakaian tempurnya tertinggal. Sebagai
alat untuk mengobati kejengkelan mereka kepada Benny, baju tempur itu
dipasang di sebuah kayu, dan dijadikan untuk sasaran latihan menembak
dan melempar pisau.
Kisah itu juga sampai ke telinga Presiden
Soekarno. Sehingga saat operasi telah selesai, Bung Karno langsung
menganugerahkan bintang jasa kepada Benny dan kenaikan pangkat dari
kapten menjadi mayor.
Woyla dan Pangab
Saat Orde Baru di
bawah kepemimpinan Soeharto, nama Benny menanjak lagi. Yaitu saat
operasi penumpasan kelompok teroris Imran yang membajak Pesawat Garuda
Woyla. Benny yang saat itu menjabat Asintel Panglima ABRI serta Kepala
Badan Intelijen Strategis (BAIS) dengan pangkat letnan jenderal langsung
mengirimkan pasukan Kopassus yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan.
Akhirnya
operasi penumpasan pembajakan di Bandara Don Muang Bangkok itu bisa
dilaksanakan, walaupun merenggut nyawa pilot Herman Rante dan anggota
Kopassus Lettu A Kirang. Keberhasilan operasi Woyla itu sampai ke
telinga Presiden Soeharto.
Atas jasa Benny yang dinilai Soeharto
telah mampu menjaga nama bangsa di kancah internasional, dia langsung
mengangkat menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal M Yusuf.
Penunjukan Benny yang dalam kategori junior menjadi panglima ABRI
memunculkan banyak tuduhan.
Karena di sisi lain ada seorang
senior, yaitu Letjen Himawan Sutanto yang menjabat sebagai Kepala Staf
Operasi Panglima ABRI. Himawanlah yang selama ini membawahkan Benny.
Menjelang pengangkatan Benny, muncul isu-isu yang tidak sedap. Yaitu,
pembajakan teroris tersebut adalah murni rekayasa Benny melalui BAIS.
Dia sengaja menggalang kaum ekstremis Islam untuk dijadikan alat
merekayasa prestasi-prestasinya dan menyudutkan umat Islam.
Operasi
penumpasan teroris itu dilakukan Benny sendirian tanpa koordinasi
dengan M Yusuf selaku pangab. Serta Benny melakukan potong kompas itu
karena untuk menyelamatkan posisinya yang belum pernah menempuh
pendidikan Seskoad atau Lemhanas serta menjabat panglima kodam. Yang
jelas pengangkatan dia menimbulkan kecemburuan di kalangan perwira
tinggi AD.
Para wartawan tentu akan menanyakan hal ini kepada
Benny. Dan Benny sudah mengantisipasinya, sehingga saat dia akan
dilantik menjadi Panglima ABRI oleh Soeharto, langsung pasang muka
angker kepada para wartawan. Dia bahkan ''membentak'' wartawan yang
berani mendekatinya untuk memotret.
Saat dia menjabat Panglima
ABRI, tidak ada lagi jabatan rangkap sebagai menhankam. Menhankam
kemudian dijabat oleh mantan KSAD Jenderal Poniman. Namun dia tetap
powerfull. Sebagai panglima, dia menjadi pangkopkamtib, membawahkan BAIS
dan mengendalikan Kopassus. Bahkan, saat dia tidak lagi menjadi
panglima ABRI (digantikan Try Soetrisno) dan menjadi menhankam (1998),
BAIS masih dikendalikannya.
Selama menjabat sebagai panglima
ABRI, harus menghadapi peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984.
Setelah dicap sebagai orang yang tidak senang atas kekuatan Islam,
penanganan kasus Tanjung Priok tersebut makin memosisikan Benny yang
beragama Katholik itu berhadapan dengan umat Islam.
Hingga kini
peristiwa Tanjung Priok masih menjadi perdebatan, apakah ini murni dari
umat Islam yang menentang pemberlakuan asas tunggal, atau rekayasa
intelijen untuk maksud-maksud tertentu. Yang jelas hingga kini
penyelesaiannya melalui jalur hukum masih diwarnai pro dan kontra.
Dan
pemeriksaan terhadap Benny oleh Kejaksaan Agung, karena sakit stroke,
tidak bisa dilakukan. Masih banyak misteri yang belum terungkap di balik
peristiwa Tanjung Priok. Dari peristiwa Tanjung Priok 1984, beralih
kepada Sidang Umum MPR 1988, yang menunjukkan peran besar Benny dalam
politik.
Dalam sidang yang agendanya juga akan memilih wakil
presiden baru, Benny sudah menyusun strategi untuk menjadikan dirinya
sebagai wapres. Namun saat itu dia harus berhadapan dengan Soedarmono
SH. Namun rencananya itu dapat tercium Soeharto dan posisinya sebagai
pangab langsung digantikan Try Soetrisno.
Dengan posisinya yang
bukan lagi sebagai pangab, tentu saja dia tidak bisa lagi mengomando
Ketua Fraksi TNI Bambang Triantoro untuk mengeluarkan pernyataan
mendukungnya. Akhirnya Benny hanya bisa menyuruh Ibrahim Saleh untuk
interupsi saat pengetukan palu tanda pengesahan Sudharmono sebagai
wapres.
Padahal, andaikan rencana dia tidak tercium, Benny akan
membuat Soeharto sulit menolak rencananya. Misalnya Fraksi TNI secara
bulat menyatakan dukungannya kepada Benny selaku Panglima TNI untuk
menjadi wapres dengan pertimbangan-pertimbangan reputasinya yang baik
selama ini. Bila Soeharto menolak Fraksi TNI, dia akan terkesan sangat
otoriter alias tidak demokratis.
Menurut berbagai sumber,
Soeharto memang sangat khawatir bila Benny akan menguat, mungkin ini
sama halnya ketika M Yusuf juga mulai menjadi legenda di kalangan ABRI
saat itu. Juga pernah terbetik isu, Benny pernah menggalang kekuatan
kritis untuk menggulingkan Soeharto yang mulai dekat ke kelompok Islam
dengan ditandai kehadirannya pada Deklarasi ICMI di Unibraw Malang,
sehingga muncul pernyataan Soeharto saat dalam perjalanan ke luar
negeri, ''Yang inkonstitusional akan saya gebuk.''
Lepas dari
segala pro-kontra, termasuk perannya yang melahirkan ABRI Hijau dan
Merah Putih, Benny adalah sosok tentara sekaligus negarawan yang
tangguh. Namun ketangguhannya sebagai manusia ada batasnya. Stroke dan
infeksi paru-paru menggerogoti tubuhnya, sehingga mengharuskannya
menjalani perawatan intensif di RSPAD Gatot Subroto sejak 7 Juli lalu.
Indonesia
dan TNI kehilangan sosok Benny Moerdani. Sosok yang terlihat pendiam,
tertutup, dan misterius sebagaimana seorang intelijen. Namun percaya
atas prinsipnya yang teguh, yang tercermin pada raut wajahnya yang
laksana Sphinx. Pantas bila dia diberi penghormatan bendera setengah
tiang selama 7 hari