Ada beberapa dokumen yang melekat
pada suatu objek berupa benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan,
diantaranya Sertifikat, Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) yang berfungsi sebagai penanda sahnya
legalitas objek tersebut di mata hukum. Masing-masing dokumen ini dikeluarkan
oleh instansi yang berbeda dan memiliki fungsi yang berbeda pula.
Sertifikat dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN), IMB adalah urusannya pemerintah daerah
setempat melalui dinas perijinan bangunan, baik tingkat kota/kabupaten atau
kecamatan sedangkan SPPT-PBB manjadi domainnya Kantor Pelayan Pajak
(KPP).
Sertifikat Tanah
Menurut PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas
tanah dan bangunan. Sertifikat dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
melalui kantor pertanahan masing-masing wilayah.
Pada dasarnya sertifikat dicetak dua
rangkap, dimana satu rangkap disimpan di kantor BPN sebagai buku tanah dan
satu rangkap dipegang masyarakat sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah dan
bangunan. Dalam arsip buku tanah tersebut tercantum secara detil mengenai
tanah, baik data fisik maupun data yuridis seperti luas, batas-batas, dasar
kepemilikan, data-data pemilik dan data-data lainnya.
Data fisik tanah yang tercantum
dalam Surat Ukur yang terlampir dalam sertifikat pada halaman terakhir hanya
berupa luasnya dan tidak melampirkan ukuran secara detil. Dan data bangunan
juga tidak dicantumkan dalam sertifikat, jika di atas tanah tersebut ada
bangunan, maka dalam sertifikat hanya tertera bahwa di atas tanah tersebut ada
bangunan.
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
Tentang IMB diatur dalam Undang-Undang
nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam UU tersebut
mensyaratkan bahwa untuk mendirikan bangunan gedung di Indonesia diwajibkan
untuk memiliki Ijin Mendirikan Bangunan.
IMB merupakan landasan sah
kita mendirikan bangunan. Dalam IMB tersebut tercantum data-data bangunan
secara detil. Mulai dari peruntukan, jumlah lantai dan detil teknis yang
menjadi lampirannya.
IMB terdiri dari IMB Rumah Tinggal,
IMB Bangunan Umum Non Rumah Tinggal sampai dengan 8 lantai dan IMB Bangunan
Umum Non Rumah Tinggal 9 lantai atau lebih. Masing-masing tipe bangunan
tersebut memiliki syarat yang berbeda. Semakin tinggi atau semakin rumit
bangunan maka semakin banyak pula yang harus diperhitungkan dalam pemberian
IMB.
Untuk IMB Rumah tinggal
pengurusannya cukup melalui seksi Perijinan Bangunan di Kantor Kecamatan setempat,
sedangkan untuk bangunan non rumah tinggal permohonan IMB dilakukan di Suku
Dinas Perizinan Bangunan Kota Administrasi setempat dan untuk bangunan dengan
tipe dan luasan tertentu perijinan dikeluarkan oleh Pemda atau gubernur. Sedangkan
untuk bangunan dengan fungsi khusus ijinnya langsung dikeluarkan oleh
pemerintah pusat.
Pentingnya IMB
Untuk mengajukan kredit ke bank, IMB
merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi. Karena dari IMB tersebut bank dapat
menilai bahwa bangunan yang turut menjadi jaminan hutang dibangun sesuai dengan
peraturan. Seperti sesuai dengan peruntukan di lokasi, misalnya ruko memang
dibangun di area komersil. Rumah tinggal dibangun memang di lokasi yang
diijinkan untuk hunian. Gedung perkantoran dan hotel atau
apartemen memang dibangun di area yang diperuntukkan bagi peruntukannya.
Selain itu aspek teknis seperti
garis sempadan bangunan tidak melanggar, Koefesien Dasar Bangunan (KDB) dan
Koefesien Luas Bangunan (KLB) sesuai dengan yang dipersyaratkan. Penting juga
diperhatikan bahwa antara bentuk bangunan seperti tertera dalam IMB sesuai
dengan bangunan fisiknya.
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB)
SPPT diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT merupakan
dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak Bumi dan Bangunan yang harus
dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan.
SPPT hanya menentukan bahwa atas
objek pajak tersebut dibebankan hutang yang harus dibayarkan oleh subjeknya.
SPPT PBB bukan merupakan bukti kepemilikan objek pajak. Karenanya sering kita
menemukan bahwa nama yang tercantum di sertifikat berbeda dengan nama yang
tercantum dalam SPPT PBB.
Hal ini bisa terjadi karena pemilik
tidak melakukan balik nama SPPT PBB setelah dilakukannya peralihan hak atau
balik nama sertifikat atas tanah dan bangunan tersebut. Dalam pembayaran PBB
yang perlu disesuaikan adalah Nomor Objek Pajak (NOP)-nya.
Kondisi lainnya adalah SPPT PBB
hanya mencantumkan nama salah satu pemilik saja, jika pemilik objek pajak
tersebut lebih dari satu orang.
Jadi dapat dipahami bahwa yang
merupakan tanda bukti hak atas tanah dan bangunan yang sah adalah sertifikat,
sementara IMB untuk menyatakan bahwa bangunan yang didirikan sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan SPPT PBB untuk menentukan atas objek pajak tersebut
dibebankan pajak yang harus dibayarkan kepada Negara oleh pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar