Berdasarkan Undang-undang Pokok-pokok Agraria/UUPA (UU No. 5 Tahun
1960), Warga Negara Asing (WNA) tidak boleh memiliki hak milik atas
tanah. WNA yang memperoleh hak milik atas tanah karena warisan wajib
melepaskan hak atas tanahnya itu dalam jangka waktu satu tahun.
Rupanya,
ketentuan serupa juga berlaku bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang
mempunyai hak milik atas tanah kemudian kehilangan kewarganegaraannya
atau menjadi WNA. Jika jangka waktu itu telah dilampaui dan hak milik
atas tanahnya tidak dilepaskan, maka hak tersebut terhapus karena hukum
dan tanahnya menjadi milik negara.
Selain itu, kondisi di atas
juga dapat terjadi dalam perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara
dua orang berbeda kewarganegaraan, dan salah satunya adalah WNI. Menurut
UU Perkawinan, yaitu UU No. 1 Tahun 1974, dalam perkawinan akan terjadi
percampuran harta kekayaan antara suami dan istri ke dalam harta
bersama. Semua harta benda yang diperoleh baik oleh suami maupun istri
akan masuk ke dalam harta bersama.
Dalam perkawinan campuran, hak
milik atas tanah dari seorang WNI akan turut menjadi milik
suami/istri-nya yang WNA karena masuk ke dalam harta bersama. Dengan
turut dimilikinya hak atas tanah tersebut oleh WNA dalam harta bersama,
maka hak atas tanah itu wajib dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun.
Namun,
jika seorang WNI dalam perkawinan campuran tidak ingin kehilangan hak
atas tanahnya, maka suami-istri dalam perkawinan itu harus memisahkan
hak atas tanahnya itu dari harta bersama. Salah satu cara memisahkannya
adalah dengan membuat perjanjian perkawinan, yaitu perjanjian yang
mengatur pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan dan dibuat sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
Dengan adanya perjanjian
perkawinan, maka dapat dihindari terjadinya percampuran harta bersama
sehingga suami dan istri menjadi pemilik dari harta yang diperolehnya
masing-masing.
Namun, bagi WNI yang sudah terlanjur melakukan
perkawinan campuran, namun belum membuat perjanjian perkawinan, maka
suami-istri dalam perkawinan itu sudah tidak punya kesempatan lagi
membuat perjanjian perkawinan. Hal ini karena perjanjian perkawinan
harus dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka sebaiknya sebelum berakhirnya jangka
waktu 1 tahun sejak perkawinan tanah yang dimiliki WNI itu dialihkan
kepada pihak lain, misalnya dijual atau atau dihibahkan. Hal ini untuk
menghindari hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh ke tangan negara
tanpa memperoleh ganti rugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar