Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama
beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah
dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik
sekali dan juga amat suka mempelajari ilmu silat. Otaknya cerdas dan
dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana
sukarpun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan
kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan
baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan
saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid
tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek
ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang,
dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan
menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong
telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal
dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk
mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan
berupa kedudukan tinggi. Maka diapun mengajak Ceng Liong untuk hidup
menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi
Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga
jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah
dan sungai. Setiap hari Hek-i Mo-ong mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran
yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap
kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya
Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk
sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para
pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap
dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan
kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah
mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya
kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga. Dia
tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng
Liong juga giat bekerja di ladang, juga setiap hari mencari ikan untuk
dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu
diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam
tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan
yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan
wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya
mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i
Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu
ciptaannya yang terakhir dan mujijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk
Tulang) dau Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu
pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal
penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya,
bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah
berusia delapan puluh tahunan. Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan
sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tidak mau
mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa
mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan,
Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang. Di samping mempelajari
ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong
kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan
tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu,
maka diapun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah
dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat
Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu
sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan
tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil meuguasai kedua
ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas
tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa
benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong
sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya
ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong
bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek
tua renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran, ingin tahu apa
yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga,
“Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal
itu, Mo-ong?”
“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil
sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah
menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali
kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat
menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarangpun aku
sudah mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama
sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki
kepandaian yang hebat.”
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik.
Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia
sendiripun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin
meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang
diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi
dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah
dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk
membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu
menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik.
Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat
menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Ketika aku mulai
menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa
kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat
melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah
kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu
sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
“Tidak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan
perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang
membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku
dapat menebus kekalahan itu.”
Diam-diam Ceng Liong mengeluh.
Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulunya terlalu mengagulkan
diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai
daripadanya, dan karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang
kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup
menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
“Hemm, kalau begitu,
persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan
membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu
dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi
ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa
mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata
dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita
tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng
Liong terkejut. Pendekar Suling Emas pernah dia mendengar nama ini dari
ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan
tetapi, dia tidak perduli. Siapapun adanya musuh besar gurunya itu,
bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan
saja? Itupun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang
tentu amat lihai itu! Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia
adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan
dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan
orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dia tidak lagi berani
memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan
Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau
sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong
bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke
timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh
kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia
mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah
caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya,
sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang
murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak
nampak menyolok. Adapun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan
pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya
yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang
sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.
Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan
ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki
kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong
yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka
berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.Siapakah orang
bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya
itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar
seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang
menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak
merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi
rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yalah kekalahan. Dia
tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama
hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan.
Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika
dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi
pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada
siapapun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat
dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan
kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja
muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.
Para
pembaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman tentu masih mengenal siapa
pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari
Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua
ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah
Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu
Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat. Pendekar
ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung
sumoinya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan
sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka
berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk
mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri
kisahSuling Emas Dan Naga Siluman .
Setelah menikah, Kam Hong
dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit
Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan
di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak
Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-han-san. Istana ini
dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga
Yu. Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong
(Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah
lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari
pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua
Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu
sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang
gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu
mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan
nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di
sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak
perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan
ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, maupun
kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan
tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.
Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia
hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari
kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera
telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas
tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan kepandaian lain seperti
menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di
antara para penghuni dusnn di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan
orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah
menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu
bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan,
akan tetapi biar sederha dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan
belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya
belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya
menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi. Sepasang matanya mencorong
seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada
dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar
ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek
moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu
keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk
kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas.
Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya,
yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat,
dan Kim-kong Sim-in. Selain ini, dia pernah digembleng oleh Sai-cu
Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu
Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang tcrmasuk ilmu
silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang
diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw
Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khi-kang tingkat
tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada
ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek
moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci
Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia
pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk
See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini ia
memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian,
ia masih memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih
penggabungan sin-kang Im dan Yang kepadanya. Selain itu, Bu Ci Sian ini
adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang amat terkenal beberapa
puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak
isterinya!
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng
mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai
senjata. Ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang
Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata
suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia
sendiripun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan
gadis ini sudah pandai pula mempergunakan sulingnya sebagai senjata,
baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk
mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan
nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang
keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja
Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tidak pernah mendapat
gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang
mereka menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri
dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup
tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup
sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama
sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar
mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin
perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang
menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan
Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena
selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru
dan murid ini. Dan mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan
Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan
Hek-i Mo-ong?
Seperti telah kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil
membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu
Kam Hong. Guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke
timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan
beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang
terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke
laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat,
menuju ke utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang sudah nampak
puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari
yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung
Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki
hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang
agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat
pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil,
mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan
alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu.
Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis
itu, terdengar suara wanita berkata dengan suara memohon. “....aku
ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong makin
penasaran, akan tetapi Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Cin
Liong, perlu apa mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan
orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri
urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita
itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat
menolongnya.” Dan pemuda inipun melangkah mendekati kuil.
“Heh-heh, engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi
kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar
ketika muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu
kator karena gentengnya sudah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu
kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak
tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liang terus memasuki kuil
dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang
sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika
mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada
wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha, jangan
khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat kalau aku sudah bosan
padamu!”
“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi, bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan
tetapi wanita inipun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang
wanita sesenggukan.
Ceng Liong semakin penasaran dan kini dia
mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang
gentengnya masih utuh sehingga lantainyapun agak bersih. Ketika dia
melangkahi pintu tanpa daun itu masuk, dia melihat ke atas lantai dan
mukanya seketika berobah merah karena malu. Di lantai itu terdapat dua
orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan
wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua
masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah
dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing
memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua
orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan
menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan.
Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak,
mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa
dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng
Liong menjadi malu dau kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran
karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang
gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau
saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentn
dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan
hatinyapun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau
dilakukan setelah dia masuk? Biarpun usianya sudah hampir enam belas
tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat,
namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para
penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi
di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai
kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat
bicara dengan tenang.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?”
Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang
tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja
itu, namun agaknya mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang
menyenangkan dan sama sekali tidak memperdulikan Ceng Liong. Ketika Ceng
Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya
dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng
Liong sambil tersenyum! Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu
amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya,
maka diapun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik.
Agaknya pria itupun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja
yang demikian tampan walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang
petani muda.
“Eh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat
menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah
melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua
sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”
Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong
sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi hanya
mengeluarkan pertanyaan itu untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan
tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu,
gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang
memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti
mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknyapun
lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang bercintaan
dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
“Aku tadi mendengar suara tangis dan orang minta pulang....” katanya
lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang
gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat
dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua
sama sekali tidak perduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak
tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain. Gadis yang
dipangkunya menggeliat-geliat, lalu menangis dan berkata, ditujukan
kepada Ceng Liong.
“Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng Liong mengerti dan diapun tahu bahwa dua orang itu adalah
penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan
jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi
merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang
muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka
diapun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong
mereka berdua ini, bocah lancang. Engkau antarkan mereka ke akhirat.
Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah
Ceng Liong.“Singgg....!” Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah
leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu
adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan
Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah
menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan
tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!”
Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba
saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu
dengan gerakan yang sedemikian tenangnya seolah-olah apa yang
dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian,
jari-jari kedua tangannya menekuk dan terdengar suara “krekk!” lalu
pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkannya ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah
Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw
Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu
akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan
ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat
mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah
jari, kemudian mematah-matahkan pisaunya itu seperti orang
mematah-matahkan sebatang ranting belaka! Dia bangkit berdiri setelah
melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping seperti orang
membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng
Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian,
dengan suara lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani
engkau mencampuri urusan pribadi kami?”
Ceng Liong tersenyum
mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi
kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku
bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan
urusan pribadimu lagi.”
Louw Tek Ciang tentu saja tidak
memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian
menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat
dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan cilik! Kau mau apa?”
“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang
dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar
kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan
potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi
merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan
telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya. “Keparat kau!”
“Jahanam kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah
orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang
menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh,
apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan
maki-maki orang saja?”
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai
bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk
balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam
dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong. “Mampuslah!” bentaknya
sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat
mengelak dan kini matanya terbelalak. “Wuuutt!” Pukulan yang mengandung
hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga
kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan
menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua
yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut. Dia
mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum dikuasainya akan
tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan
Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua
ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga
sin-kangnya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya
pula.
“Desss....!” Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di
udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah!
Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda
remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian
dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya
seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak
mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis
ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat
kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam.
Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada
kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok segera
melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus
dibunuh dulu agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri,
tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus
terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah
terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas
seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari
Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa
Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong
mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia
mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri,
tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang
mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula
oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis
sambil mengerahkan tenaganya.
“Desss....!” Keduanya terpental
lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya
Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali.
Guru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh,
cepat bergerak hendak maju berbareng.
“Heh-heh-heh-heh,
Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?” Dan muncullah Hek-i
Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong,
tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berobah
pucat.
“Hek-i Mo-ong....!” serunya dan seruan ini ditujukan
kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya
kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang juga
teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur dan
memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
“Ah, kiranya dia ini
muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka
terjadi kesalahpahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek
Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa
Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih
lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena
kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan
tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman
kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu
segolongan? Maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah
sekali kepada Hek-i Mo-ong.
“Ah, kiranya saya memperoleh
keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di
angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih
amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa
hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”Suasana penuh dengan
ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal
baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong
dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es dan dia sendiri
melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis
cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi
alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya! Dan kini mereka
bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya
melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk
membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu
saja dia tidak akan menyerahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat
daripadanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka
akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid
Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini
membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tuhuhnya menegang
dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan
menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang
tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk
Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut
nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok
dan muridnya itu terlalu besar. Siauw-ok telah berkhianat dalam
penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan diri sendiri tanpa
memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah berani
mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh
Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan
“menghukum” mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum
memandang kepada Tek Ciang.
“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya.
Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang!
Diapun merasa girang dan cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas
pujianmu!”
“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu
banyak sungkan. Kesalahpahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi
muridku untuk berlatih.”
“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”
“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun
tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang
murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah
kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”
“Bukit Nelayan....? Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?”
“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah mengetahui segalanya.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kauingat
di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi
guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu
tewas di tangan Bu Ci Sian?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan
Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Dan kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal
di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu
yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu?
Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya
muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkanjuga
kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis
belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. “Ah, hanya
kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar.
Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas
dendam kematian guru-guruku.”
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Hek-i
Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas
bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti
keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak
kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu
sekutunya maupun musuhnya. Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan
kata-katanya yang diawali suara ketawa mengejek ini. “Dan engkau bersama
muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati
konyol, ha-ha ha!”
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran,
bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut.
Bagaimanapun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan
biarpun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang
segolongan seperti itu.
“Harap locianpwe suka menjelaskan!”
katanya penasaran, sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya
mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat
gadis itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu
Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam
Hong si Pendekar Suling Emas!”
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak,
sedangkan Tek Ciang tidak perduli karena memang pemuda yang belum lama
berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama
Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan,
lebih tua daripada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok
sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, maka dia terbelalak dan
bertanya dengan suara terheran.
“Ah, jangan berkelakar, Mo-ong.
Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu,
lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan
dia yang sudah lama mati.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa
gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. “Bodoh, tentu
saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan
keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua
ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana,
selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan
suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai daripada Bu Ci Sian.”
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini
memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu
Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang
anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah
memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai daripada pendekar
wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Diapun
mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu
sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada
maksudnya tertentu yang amat penting.
“Mo-ong, apakah engkau dan
muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari....
eh, orang she Kam yang lihai itu?”
Hek-i Mo-ong tertawa
bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga
mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau cerdik seperti srigala! Memang benar, aku
hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”
Kini
mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan
muridnya. Kiranya Raja Iblis inipun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan
dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu
mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i
Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu
lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit
Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak
memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat
saling bantu! Maka diapun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua
akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
“Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan
menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apapun. Engkau dan muridmu
menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka,
dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?”
Hek-i
Mo-ong tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya
perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan
siasat yang baik....”
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika
dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan
kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata
terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu
menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti
berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam
ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci
(Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah
dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.
“Eh, apa yang kaulakakan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab,
“Mo-ong, aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita
ini.” Dan diapun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan
kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar,
diapun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu
ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis
bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan
sederhana namun cukup pantas.
“Ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang
gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa
dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
“Jai-hwa-cat! Kau
majulah dan kaucoba kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak,
memasang kuda-kuda dan kedua lengannya masih hitam terkena lumpur,
sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama
sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya
sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimanapun juga, andaikata dia tidak
ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat
itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam
ditantang oleh seorang muda.
“Hemm, orang muda, gurumu dan aku
adalah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik
kalau urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan
kita sendiri,” katanya.
“Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni
istana di puncak Bukit Nelayan, bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau
layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti
perempuan!” Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng
Liong yang dikatakan berhati lemah tadi. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang
mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walaupun Tek
Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.
Empat orang itu
lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok
berbincang-bincang membicarakan musuh-musuh mereka. Memang terdapat
permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang
di puncak Buki Nelayan itu dengan mereka berdua. Kam Hong pernah
bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan
terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat dia merasa
penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas
kekalahan itu. Adapun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati
kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam
Hong. Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu telah membunuh Ji-ok
Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan
Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa
Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan
juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan
tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat
membalas dendam (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman).
Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno
yang di jaman dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis
Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu,
perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai anggauta-anggauta yang
berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan
tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah
dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat
baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari
nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek
moyang Khong-sim Kai-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian
depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam
Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan
Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain
dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari
Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang
bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang
tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk
memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca
yang belum membaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman , marilah kita
menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.
Kam Hong adalah
keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia
diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu
Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai
anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan
diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan
keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang bernama
Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi
yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman
dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa,
menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati
masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan
mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan
akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk
Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara
pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas aseli, saling jatuh
cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang
sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong- sim
Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut
suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan
istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu
menjadi tunangannya.
Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang
berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh
kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang
mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ
terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar
itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh
sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana
tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah
menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di
waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di
puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati
udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu,
seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah
timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu.
Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki
puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan
dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan
tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak
ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di
taman bunga di samping istana dengan asyikya. Taman itu indah, terawat
olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan
wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti
ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling
emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling
emas aseli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata
ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan
perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh.
Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan
mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk
sulingpun lenyap berobah menjadi gulungan sinar emas yang indah
menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring,
naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus
galungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat
itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu
bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek
Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan
Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang
dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan
bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling
sedemikian indahnya.
Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan
silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah
pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat
orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu
menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup
suling itu, dan keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan
merendah dengan indahnya.
Akan tetapi, empat orang yang
mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara
suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat
mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan
untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat
kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya.
Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka
berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang
mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat
mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin
lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang sudah
tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu
berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu
amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke
tempat itu. Siapapun adanya gadis itu harus dia dapatkan!
Akan
tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam
orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu
keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat
orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan teman-temannya dan
kini mereka semua datang dan menegur.
“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.
“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?”
tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang
kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis
berkerut.
“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami
adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan
majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari
jalan-jalan.”
“Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.
“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak
mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan
suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak
ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani,
bengal dan galak.
“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong
dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!”
kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap ini, diam-diam
Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja
hanya memandang.
Enam orang pelayan itupun marah mendengar
ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan
empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap
majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang.
Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang,
maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka.
Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar,
demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria mencoba untuk
mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat
mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka
terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan
tewas seketika! Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka
mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa
kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut
mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan
kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!
“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan
pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!” Hatinya senang melihat betapa
para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh
sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia
merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya,
akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya.
Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang.
Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam.
Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa
bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Akan tetapi karena
dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja
dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.
Sementara
itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas soketika, Bi
Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum
memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat
daripada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja
mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka
dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan
ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun
sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.
“Ha-ha, biar
aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang
berkata sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bukan main kagetnya
hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak
menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba saja suling itu mengelak
dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris
mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang!
Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam
segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin
tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan,
belum tentu dia akan dapat menahannya! Tadinya dia berniat
mempermainkan dara ini sebeluan menangkapnya dan mempermainkan sepuas
hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang
bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan
gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk
mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian
dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung
suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu! Dan semua itu masih
ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling
yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung
juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng
oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan
Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung
datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu.
Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini
terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak
berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak
berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling
yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.
Hampir saja Ccng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu
silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernanna
Tek Ciang itu. Bagaimanakah penjahat muda yang menjijikkan ini mampu
memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya?
Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin
sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar
menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu! Juga Hek-i Mo-ong
diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan
tidak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat daripada gurunya.
Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah
muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu
keturunan keluarga Pulau Es!
Akan tetapi, di lain pihak mereka
juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya
tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar
emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam
gadis itu sendiripun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka
iapun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Ilmu
Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mujijat, akan tetapi ia belum
menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih
selama beberapa bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang
dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan
yang lama dan tepat. Maka, iapun mengeluarkan bermacam ilmu yang
dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya
berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang langka di
dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, Hong-in
Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.
Karena
merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan
mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan
dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga
sin-kang yang kuat, akan tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat.
Bagaimanapun juga, lawannya hanyalah searang dara remaja! Maka, ketika
untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas
menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan
tangan kanan menangkis dengan usaha menangkap itu sambil mengerahkan
tenaga sin-kangnya.
“Plakkk!” Telapak tangan Tek Ciang bertemu
dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa seperti
dibakar. Cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawannya, akan
tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya
melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa
dara itu lebih kuat dalam tenaga sin-kang daripadanya! Sesungguhnya
tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang
hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita
yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan
mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah
memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa
wanita seperti yang dilakukan pula oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Benturan tenaga sin-kang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat
orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimanapun juga,
sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau
mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya,
mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu
mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang
mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.
“Ciiiittt.... ciiittt....!” Tek Ciang menyerang ganas dan kini
tusukan-tusukan jari tangannya yang mempergunakan Ilmu Kiam-ci (Jari
Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia
melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan
tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya
itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan
kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.
Tiba-tiba Tek
Ciang tergelincir dan roboh miring. Kalau saja Bi Eng sudah
berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering
berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap
waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan
mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak
mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka sulingnya
menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang
pelayannya. Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan
suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak
tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan
Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini
dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari
Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok
dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.
“Desss....!”
Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah
tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda
pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan
pingsan! Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara
penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau
berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi
Eng yang roboh pingsan itu mukanya berobah agak kehijauan karena ia
telah terkena pukulan beracun amat hebat.
“Tolol kamu....!”
Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang cepat melangkah
mundur dengan muka pucat. Biarpun dia telah berhasil, akan tetapi
pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sin-kang yang membuatnya merasa
tergetar jantungnya dan kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi
khawatir.
“Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil....”
“Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia
merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia
ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan
ayah ibunya!”
Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan diapun
menyesal. “Bagaimanapun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami
isteri itu, kita berempat tentu akan mampu mengalahkan mereka.”
“Hei, ke mana engkau akan membawanya?” Tiba-tiba Tek Ciang berteriak.
Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi
Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.
“Mo-ong, aku akan mencoba
untuk mengobati dan menyembuhkannya,” Ceng Liong berkata, ditujukan
kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak memperdulikan teriakan Tek
Ciang.
“Tahan dulu....!” Tek Ciang hendak mengejar.
“Diam kau....!” Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya. Tek Ciang menoleh
dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong memandang kepadanya dengan
marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik karena kalau dia mengejar
murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan
sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka diapun mengalah,
bahkan diam-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh
anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan
Hoa-mo-kang tadi, pikirnya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara
mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia
mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan
sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.
“Sudahlah, mari
kita mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian,” kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya
mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya.
“Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan
sandera kita.”
“Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang
merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid
locianpwe,” kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi
suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan
menjadi marah.
“Cihh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila
perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia
bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak
melakukan hal lain! Mari kita pergi!”
Jai-hwa Siauw-ok berkedip
kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi.
Bagaimanapun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan
betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk
menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu! Memang, orang yang sudah
biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu
menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat
mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan
gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua
orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul
cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik
yang pingsan itu.
Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal
watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa
malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biarpun selama
bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh
memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan
tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu
mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen!
Kadang-kadang timbul penyesalan di dalam hatinya mengapa dia, yang di
waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat
menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan,
sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi
tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan
itu. Dia tahu bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena
pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh
Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikitpun niat buruk lain di dalam hati
muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa
muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar
melainkan cucu aseli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Diapun
tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar
sekali ditolong, apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara
menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal, gadis
itu akan tewas dan tak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.
Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika tiba-tiba dia dan
dua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka
berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi
tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh
kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar
suara suling itu. Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara
suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara
suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi.
Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang
seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara,
dan ada kalanya berabah menadi gegap-gempita seperti ada perang di sana.
Dan dalam nada bagaimanapun juga, selalu ada getaran yang amat kuat,
yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sin-kang untuk melawannya.
Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung
tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat,
berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan
pengerahan sin-kang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang
amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi dan tiga orang itu
hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan
sin-kang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap
suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi
getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka
rasanya.
Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati
mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi
agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicarapun mereka
dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka
terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan
tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara
aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka. Yang seorang
laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang
terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih
nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapnn
membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang
tak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan
jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan
yang tampan dan halus! Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang
usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan
manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara
melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan
perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong,
keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci
Sian yang juga menjadi sumoinya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut
dan ilmu meniup suling dengan khi-kang yang amat tinggi.
Mereka
kelihatan begitu rukun dan saling mencinta. Melihat musuh besarnya,
Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan
mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak
dada. Adapun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita
itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang dan agaknya inilah musuh
besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia
mampu membalaskan sakit hati guru-gnrunya! Dengan mengalahkan wanita
ini, merobohkannya, memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan
membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.
Kini sepasang
suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat
adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan dan mereka
merasa heran dan kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati
matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadipun
mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak
ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga
orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka,
mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu “berisi”. Akan tetapi, keheranan
hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam
yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan
sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis
itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu?
Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam
Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga
bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i
Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu
memiliki kepandaian yang tinggi.
Sikap Kam Hong amat tenang
ketika sambil tersenyum dia menjura. “Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang
datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau
dalam keadaan sehat, Mo-ong?”
Sungguh tidak dapat dimengerti
oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i
Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang
sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar,
akan tetapi mengandung penuh ancaman.
“Orang she Kam, selama
belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu
lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu
di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!”
Kam Hong menarik napas panjang. “Mo-ong, seorang tua seperti engkau
ini, pantaskah untu meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan
oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!”
Saat
itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke
arah muka wanita cantik itu sambil bertanya, “Apakah engkau yang bernama
Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok
Siauw-siang-cu?”
Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya
sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian
pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan
dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa
laki-lakiinipun baru sekarang bertemu dengannya.
“Benar,
siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?” tanyanya,
suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari
suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai
dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang
yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.
“Namaku Ouw Teng dan
orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah
guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku
ini.”
Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling
pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh, “Aihh, sudah
belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini
bajingan-bajingan ini malah yang datang mengantar nyawa. Sungguh tidak
dapat disalahkan peribahasa ular mencari penggebuk!”
Kam Hong
mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka
diapun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, “Apa boleh
buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani
datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan
agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai.” Setelah
berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu
punggung. Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Gi Sian. Suaminya
bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka
belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya
minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling
membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang
dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut,
persis seperti orang yang hendak meniup suling! Akan tetapi, suaminya
berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak
menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam
Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah
Hek-i Mo-ong maka diapun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan
membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.
Jai-hwa
Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan
wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada
muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i
Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul
kembali rasa gentar di hatinya. Memang benar bahwa dia sudah menguasai
ilmu baru seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji
(Hawa Api Beracun), akan tetapi diapun dapat menduga bahwa selama ini
tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja
sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka
teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan
khi-kangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya
suara itu dibawa oleh tenaga khi-kang sampai jauh sekali.
“Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!”
Kam Hong tersenyum. “Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup
untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?”
Ucapan yang halus ini lebih menusuk daripada makian. Hek-i Mo-ong
menjadi merah mukanya dan diapun mengeluarkan suara gerengan. Akan
tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya
sudah lebih dulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa
Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmnnya yang istimewa, yaitu Kiam-ci
yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio.
Suara mencicit terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah
lawan. Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka
iapun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari
samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan
Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi
ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari
pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan
kuatnya! Ci Sian terkejut, tidak mengira bahwa laki-laki muda ini
demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah
menjadi musuh lamanya, maka iapun cepat menyambut lengan lawan yang
menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan
wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa
betapapun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat
dau sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya
akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.
Sementara
itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan
kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan
sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia
tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa
kuatnya sin-kang dan khi-kang pendekar itu yang tidak akan dapat
ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka diapun sudah menyerang dengan
hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke
arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini
amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu
menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya!
“Tringg.... trakkk....!” Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan
mempergunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas
berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i
Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri
dan tenaga sin-kangnya menjadi jauh lebih hebat daripada dahulu. Dia
harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sin-kang.
“Hiyeeeeehhhh!” Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang
sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk
cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian
hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti
digerakkan oleh tenaga mujijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu
dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa
banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulan jari-jari tangannya ketika
dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini
dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung
lawan!
Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal
ilmu serangan aneh itu, akan tetapi dengan tenang dia menghantamkan
lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya.
Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada
tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan
pada tombaknya tidak begitu kuat, dan tombaknya itupun tadi hanya
menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang
mencengkeram ke arah ubun-ubun itu. Karena itu, begitu kena dihantam
oleh lengan kini Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan
tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan
kedahsyatan yang mengerikan. Akan hancurlah kepala itu kalau terkena
cengkeraman itu!
Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah
mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang
menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.
“Bretttt....!” Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman
Coan-kut-ci dan Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke
belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia
melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak
Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong
tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai daripada
dahulu dan tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul
kegembiraannya.
“Mo-ong, engkau makin tua makin hehat saja!”
katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak
terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya! Kini Kam Hong menerjang
dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong
terpaksa meloncat ke sana-sini sambil terus mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci
yang hebat itu. Ketika dia terdesak oleh gulungan sinar emas suling,
tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar
ke arah muka Kam Hong! Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal
Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali.
Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya.
Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul
dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Pemutaran suling menahan
serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya
tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan
hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh
dihadapi dengan ceroboh.
Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat
kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan
terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu
malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang
membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari
ilmu silat keluarga Pulau Es! Ia sendiri pernah menerima pelajaran
penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat
betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali
memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada
murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini.
Akan tetapi karena tidak ada keseanpatan lagi bertanya, iapun
mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk
menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki
kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.
Melihat betapa dia dan
gurunya dapat menandingi wanita yang hebat ini, timbul kegembiraan di
hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat
untuk memancing kemarahan Ci Sian.
“Ha-ha, suhu, perempuan ini
lebih montok daripada puterinya. Biarlah ia nanti diserahkan kepadaku
saja. Timbul berahiku melihatnya, suhu!” Mendengar ucapan ini, Jai-hwa
Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan iapun tertawa bergelak untuk
memanaskan hati lawan.
Akal muslihat Tok Ciang ini memang baik
sekali untuk memanaskan hati lawan dan orang yang sedang bertanding,
sungguh merupakan pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan
marah. Kemarahan mengurangi kewaspadan. Akan tetapi tentu saja kalau
akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami
isteri itu, akal Tek Ciang malah mendatangkan malapetaka bagi dia dan
kawan-kawannya sendiri. Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan
ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena
memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak
berniat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan
mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina
tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong,
hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan
puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi. Mereka khawatir
kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang
dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang
membuat suami isteri itu merobah gerakan mereka. Mereka hendak
mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri
mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di
dalam istana tua.
Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya
permainan suling mereka yang berobah, akan tetapi terdengarlah bunyi
suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di
tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga
Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia
terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga
menjadi pusing oleh serangan suara suling yang melengking-kngking itu.
Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh
suami isteri pendekar itu untuk mendesak.
Mula-mula Hek-i Mo-ong
yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan
tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan
sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya
dan dengan cepat mereka juga telahmengalahkan dua orang lawannya. Suling
di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini
berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak
Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya
remuk dan diapun terpelanting jauh.
“Mari pulang!” kata Kam
Hong kepada isterinya dan tanpa memperdulikan tiga orang yang sudah
terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat
seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.
Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika
mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat
tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak
bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih.
Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang
saja tahulah mereka bahwa orang inipun tak mungkin tertolong lagi karena
kepalanya retak.
“Mana.... mana nona?” tanya Ci Sian.
Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. “Nona.... nona....
dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda....” dia
tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.
Tentu
saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke
mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya.
Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?
“Iblis-iblis
itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!” tiba-tiba Kam Hong
berkata dan diapun meloncat dan lari, diikuti isterinya.
“Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!” teriak Bu Ci
Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk
Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!
Dengan
kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu
lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan
tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka
tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di
tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak
mereka. Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka
lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal
mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri
mereka yang dilarikan orang. Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk
yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan
mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan
tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan
tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana
yang menggelisahkan hati mereka.
***
Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja
yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat
curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada
gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi
hatinya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan
diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya
tak tahu malu dan jahat. Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh
dan pingsan, dia lalu mendekati lalu menyambar tubuh dara itu, dipanggul
dan dibawanya pergi. Dia tidak memperdulikan teguran Tek Ciang dan
hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara
itu. Dia sudah memperhitungkan bahwa andaikata Tek Ciang menghalanginya,
tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya.
Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak
berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan
itu menuruni lereng.
Setelah tiba di tempat sunyi, dia
menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia
merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya
sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya
tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan
lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata
mata itu kehilangan cahayanya.
Baju di pundak kanan nona itu
hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya
pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika
disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat
dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh
itu mengandung hawa dingin, pikirnya. Dia bukan ahli pengobatan, akan
tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I
Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan diapun tahu bahwa dara itu
menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka diapun
lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu,
kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sin-kang
disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di
pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu,
sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan
sin-kangnya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu
membangkitkan kombali sin-kangnya.
Dengan hati-hati dan penuh
ketekunan Ceng Liong menyalurkan sin-kangnya yang panas, dan tiba-tiba
nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat
betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga
telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah
tadi. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika
melihat bahwa warna kehijauau pada wajah dara remaja itu menjadi semakin
gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sin-kang
yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa
dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu
mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu
hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari
racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan
darahnya!
Betapapun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong
ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata
itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta,
akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari
pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti inipun mengerti
bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha
mengobatinya. Maka iapun diam saja, bahkan ia lalu mcnerima hawa panas
yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa
sin-kangnya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia
mencoba mengerahkan sin-kang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya
dan iapun mengeluh.
“Aduuuhhh....!”
Mendengar keluhan
ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi berkeruyuk,
Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil
membantu nona itu bangkit duduk.
“Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?” tanyanya dengan wajah khawatir.
Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa
mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang
gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk
perutnya, ia menggeleng kepala. “Tidak sangat nyeri.... eh, bukankah
engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?”
Ceng Liong menarik
napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, lalu diangkatnya lagi
memandang wajah yang masih kehijauan itu. “Benar, aku adalah.... eh,
murid Hek-i Mo-ong.”
Wajah yang gelap kehijauan itu nampak
kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania
kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut
oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling
berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah
dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i
Mo-ong. Dara inipun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta
tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i
Mo-ong.
“Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?”
Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat
tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki
sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak
untuk menentang pandang matanya, apalagi karena dia merasa malu akan
sekutunya.
“Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya
belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat
engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid
Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan
tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya....”
Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. “Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?”
“Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak dapat merobah wataknya....
tapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?”
“Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi....”
“Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali.”
Bi Eng memaksa senyum. “Bagaimanapun juga, engkau sudah menyelamatkan
dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh.
Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Eh, siapa
namamu?”
“Namaku Ceng Liong.... dan.... dan engkau, nona?”
“Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku....”
“Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar
keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu
bernama Bu Ci Sian.”
“Ah, mereka itu sedang mencari ayah dan
ibu! Mari kita kembali ke sana....” Dara remaja itu bangkit berdiri,
akan tetapi ia segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya,
terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar
dara itu tidak sampai jatuh.
“Kenapa, nona....?”
“Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali....” Terpaksa Bi Eng duduk
kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya
walaupun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ccng
Liong menjadi semakin khawatir.
“Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?”
Bi Eng menggeleng kepala. “Jangankan berjalan, baru berdiri saja
rasanya tanah sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main.”
“Kalau begitu, mari kupondong engkau....”
“Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!” Tiba-tiba Bi
Eng menghardik. Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak.
Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu
sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona inipun tidak terkecuali, baru
bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.
“Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini akupun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?” dia membantah penasaran.
Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh
orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan
sedikitpun tdak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Iapun
tersenyum. “Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan
segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?”
Ceng Liong
semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim
hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. “Baiklah, Bi Eng.
Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan
kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau
tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong....”
“Siapa bilang tidak mau?”
“Engkau tadi....”
“Bukankah aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kaupondong dan
engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, bukan untuk main-main, tentu
saja aku mau.”
Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan
mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita.
“Kalau begitu marilah, non.... eh, Bi Eng.” Dia lalu menggunakan kedua
lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya
seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau
dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi
Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.
“Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?” tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu.
“Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmupun aku masih mampu mengangkatnya.”
“Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat
mengerahkan sin-kang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu
memondongku....”
Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang
sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka namnak pucat. Tadi
ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhunya
memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena
hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga dia
sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi
panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya,
mereka bertiga itu sedang menderita luka.
Memang demikianlah.
Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang
melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh
pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.
Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat
mesranya oleh Ceng Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang
merobohkan, pemuda ingusan itu yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan
garunya terluka oleh orang tua gadis itu!
“Ceng Liong, ia
milikku, berikan kepadaku!” kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan,
menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong.
Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek
Ciang.
“Berikan sandera ini kepadaku!” Jai-hwa Siauw-ok juga
berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan. Ceng Liong
terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan
murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng
Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut. Akan tetapi kalau
kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu
melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu
menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka
akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka
yang cabul dan jahat.
“Perlahan dulu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong
melangkah maju menghadapi guru dan murid itu. Ceng Liong melihat betapa
gerakan gurunya ini lemah bahkan wajah gurunya amat pucat, napasnya juga
memburu tanda bahwa gurunya itupun terluka, mungkin lebih parah
daripada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang
sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong
paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang
itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.
Melihat Hek-i
Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini
tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu
telah menderita luka yang lebih parah daripada mereka.
“Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!” katanya.
“Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!” kata pula Tek Ciang.
Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan
sinar berkilat. “Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti
akupun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan
ganggu kami lagi!”
Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan
muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan
bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali
mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh
suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar
sekali. Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik,
apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan
melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat
mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk
dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka.
Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari
tangan Ceng Liong.
“Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin
mengganggumu, akan tetapi muridmulah yaug merusak rencana kita. Kalau
tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu
kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami
berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan
kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi,” kata Jai-hwa Siauw-ok
sambil memandang dengan mata disipitkan.
“Setan, berani engkau
menentangku, manusia rendah?” Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya
bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun
kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci
ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan,
cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas
dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!
Hek-i Mo-ong sudah terluka parah
oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan
napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai
sekali. Biarpun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang
pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan
muridnya juga sudah terluka, walaupun tidak separah luka yang diderita
Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.
Karena
dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang
menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu
menyerempet lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga
mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang
yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis
itu.
“Dukkk....!” Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini,
giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu,
baru dengan mudah akan dapat mereka hadapi muridnya dan merampas gadis
itu. Diapun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i Mo-ong
dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong
mengeluarkan bentakan nyaring sekali.
“Diam kau....!” Dibentak
dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan
tubuhnya seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan
biarpun hanya beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong
untuk melontarkan serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram,
terdengar suara berbeletok ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke
dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok dan penjahat cabul ini menjerit
mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari kepala yang
berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!
Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak
dan tanpa menoleh lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut inipun
sudah meloncat jauh dan melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong
bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah
segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi
pukulan-pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah.
Diapun cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila dan mengatur pernapasan.
Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan
kini tinggal Tek Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak
khawatir lagi menurunkan dara itu. Andaikata Tek Ciang datang lagi, dia
dapat menghadapinya tanpa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng
Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan. Tadi dia tidak
membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu.
Ketika gurtnya terjatuh, diapun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu
setengah disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu
berhasil. Akan tetapi diapun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya
semakin hebat.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ceng Liong
bersila di depan gurunya, menempelkan kedua tangannya di dada dan
pundak, lalu diapun mengerahkan sin-kangnya untuk membantu gurunya.
Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia
membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, diapun
tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.
“Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!” katanya terengah-engah.
“Mo-ong, tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu
meringankan penderitaanmu,” kata Ceng Liong dengan halus. Kakek itu
terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila, berhadapan dan Ceng
Liong membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu
dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang
jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi
murid datuk sesat yang demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?
Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, “Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong,
lekas bawa aku pergi dari sini....!” Di dalam ucapan itu terkandung rasa
gentar.
“Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya agar dapat memperoleh pengobatan,” Ceng Liong membantah.
“Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan perlawanan.”
“Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah....”
“Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang,” kata kakek itu.
Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, “Turutilah permintaannya,
Ceng Liong, karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun
tangan membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita
pergi.”
Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti
saja dia terhadap watak gadis ini. Akan tetapi diapun menjadi girang
dan tanpa banyak cakap dia memondong tubuh Bi Eng dan bersama gurunya
diapun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan dan
ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik. Dia
menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia
dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus
mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan
Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu
sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau
tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di
dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat
demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri
yang luar biasa lihainya itu.
Pada keesokan harinya, di dalam
sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho,
mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong
mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng
Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai.
Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air
perasan ditampung dan dicampur dengnn obat pulung yang dibawanya. Hampir
tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng
Liong membujuknya dengan halus.
“Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah.”
Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia
bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil
memejamkan kedua matanya iapun menuang obat cair itu ke dalam perut dan
terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa
apa-apa, bahkan baunya yang amispun tidak terasa. Baru setelah obat itu
memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung,
tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja
yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan
tenaga mencegah muntah.
Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir
tak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali
menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, “Ha-ha, nona
kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau
menahan muntah itu, engkau akan mati dalam waktu tiga hari lagi,
ha-ha-ha!”
Dapat dibayangkan betana kagetnya hati Bi Eng
mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu
saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biarpun demikian, wajahnya
menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.
Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia
mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya
mencorong menakutkan. “Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya
dengan suara membentak.
“Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah
jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati
tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”
“Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.
Kakek itu mengangguk dan tertawa. “Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik.”
Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya. “Apa.... apa maksudmu....?”
“Heh-heh, kau tunggulah saja.” Kakek itu lalu memandang Bi Eug yang
masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. “Nona,
nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang kaumakan tadi
menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan
mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat
menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat
dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu.”
Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya
berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus, “Kakek iblis
berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak
segan melakukan kekejian yang kotor ini?”
“Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku akan mengembalikan nyawamu!”
“Ahhhh....!” Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.
“Dukkk!” Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar
darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus
mengeluarkan tenaga sin-kang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya
belum sembuh benar.
“Ahhh....” kembali Ceng Liong berseru, kini
bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhunya terjengkang
lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul
suhunya, dipapahnya duduk di atas rumput.“Heh-heh-heh....!” Hek-i Mo-ong
terkekeh melihat betapa muridnya yang tadinya memukulnya itu kini malah
memapahnya. “Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi
muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau
lemah, kiranya berani memukulku. Hebat....”
Ceng Liong sudah
lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang
amat aneh, tidak lumrah manusia. Diapun tahu bahwa kakek itu dalam
pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, akan tetapi
dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan
kekejaman-kekejamannya itupun termasuk satu di antara
keanehan-keanehannya yang tidak normal. Kadang-kadang dia berpikir bahwa
gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau
jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali
bukan karena kekejaman, melainkan karena pandangannya yang berbeda,
bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kinipun gurunya telah
melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak
kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru
macam ini di seluruh dunia ini? Dan dia sendiri merasa amat menyesal.
Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap
dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah
itu! Diapun merasa tidak perlu minta maaf walaupun hatinya menyesal.
Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!
“Mo-ong, mengapa kaulakukan itu? Terlalu sekali engkau!”
“Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja dan biarkan aku
menyelesaikan urusanku denggan gadis itu!” Kakek itu masih bersila, akan
tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng
yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong
dan sebentar pula kepada kakek iblis itu, mukanya yang tadi pucat
tiba-tiba berobah merah, lalu pucat kembali. “Bagaimana, nona cilik?
Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau
takkan bisa menjawab lagi.”
“Kakek iblis! Kaukira aku ini orang
macam apa? Kaukira aku takut mampus? Lebih baik mati daripada menuruti
kehendakmu yang hina!”
“Eh-eh-eh, bocah sombong! Kaubilang hina
kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha,
bercerminlah. Sepuluh kali engkaupun belum tentu pantas menjadi isteri
muridku, tahu?”
“Mo-ong....!” Ceng Liong memprotes.
“Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya
dan Ceng Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini.
Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh
mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila
ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi
keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan
niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau
gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya,
masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apapun!
“Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab
menyuruh aku berjanji.... seperti itu?” Bi Eng yang menjadi tertarik dan
ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walaupun
dara ini tadi sudah menunjukkan ketidaksetujuannya tanpa memperdulikan
ancaman nyawa.
“Heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku
denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia
mencintamu, anak bodoh!”
“Ahhhh....!” Kembali Ceng Liong yang
berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah
sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun teringat bahwa dia
harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan “urusannya” dengan gadis itu.
Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek.
Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang
menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng
Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih
dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itupun hanya pura-pura,
hanya sandiwara saja!
“Kakek iblis, kaukira aku sudi menjadi
isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati
dari pada.... aukhhh....!” Dara remaja itu hampir muntah. Ia menekuk
tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng
Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.
“Bi Eng, jangan muntah....” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.
“Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah?
Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,
dan kau bilang seribu kali lebih baik mati daripada menjadi isterinya?”
“Mo-ong....!” Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah
gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini
sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau
berjanji menjadi isterinya!
“Desss....!” Dalam keadaan bersila
itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah
kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit
duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.
“Ahhh!” Ceng Liong terkejut dan cepat menghampiri, berlutut dan membantu
pernapasan gurunya dengan saluran sin-kang dari telapak tangannya.
“Heh-heh-heh,” Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah
engkau bahwa baru ini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau
mencinta gadis itu, tahukah engkau?”
Ceng Liong terkejut bukan
main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan
tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia
menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya
menghina Bi Eng!
“Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”
“Uakhhhh....!” Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh dan dapat
dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi
muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat
tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak
menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hehat itu tidak sempat
mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan
merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu
tidak jadi muntah.
Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat
gurunya. “Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!”
teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.
“Heh-heh-heh....!” Kakek itu hanya tertawa.
“Cepat, Mo-ong!” Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.
“Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?”
Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. “Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!” bentak Ceng Liong.
“Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?”
Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin
dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya
akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia
merasa kalah segala-galanya.
“Ha-ha-ha, engkau paling-paling
hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau membunuhku, gadis itupun akan
mati dan engkau ditinggalkan dua orang yang mencintamu, atau setidaknya
ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kaucinta. Ha-ha, apa
enaknya hidup begitu? Masih lehih enak aku yang mati!”
Melihat
bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup
semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri
berlutut di depan gurunya! “Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”
Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat
berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berobah merah. Memang seorang
manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia
malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap
tak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja dia malah merasa
girang!
“Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau
berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi
mengobatinya!”
“Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”
“Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”
Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.
“Hayo cepat berjanji sebelum aku berobah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.
Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. “Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini....”
“Sebutkan namamu dan nama nona itu!”
“Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi
Eng....” katanya dengan suara terpaksa sekali. Sementara itu, wajah Bi
Eng berobah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia
bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu
kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya,
keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan
cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu? Menurut
penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang
amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga
hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar
itu malah menjadi murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong?
Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.
“Ha-ha-ha, bagus,
bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!”
kata kakek itu dengan girang bukan main.
“Suhu....”
“Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”
“Tidak, engkau adalah guruku dan sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah,
suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam
nyawanya.”
“Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah
sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itn dan biarkan ia
muntah-muntah, tentu sembuh!”
Ceng Liong melongo. “Ehh....? Jadi....”
“Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau
ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat,
kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!”
Ceng Liong tertegun.
Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek
ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia
menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu
bangkit duduk, Bi Eng muntah-muntah! Dan yang dimnntahkan adalah
gumpalan-gumpalan darah hitam! Ceng Liong mendekatinya, berlutut dan
menekan-nekan tengkuk dan mengelus punggung gadis itu untuk membantunya
mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang
dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti
muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri
dengan sinar mata galak. Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya
gemetar, wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya
terasa ringan danenak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan pikiran tidak
karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan
dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus
bicara apa dan bertindak bagaimana. Mereka telah menghinanya, menipunya,
akan tetapi juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang harus
dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia
memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar
melihat segala di sekelilingnya.
“Calon mantuku, engkau baru
saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan
bersilalah menghimpun hawa murni.” kata Hek-i Mo-ong dan seperti mimpi
Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena
sebagai puteri seorang pendekar sakti iapun tahu bahwa nasihat itu amat
tepat baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa
amat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam,
melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah
ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek
iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah
yang mengganggu pikirannya.
Pada saat itu terdengar bentakan
orang. “Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah
mencari bertahun-tahun lamanya!”
Hek-i Mo-ong saat itu sudah
duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang
cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok
membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling
Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu
dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i
Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah
roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu.
Maka ketika terdengar bentakan itu, walaupun telinganya dapat
menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia
sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur
pernapasan mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang
yang begitu mendengar bentakan ini lalu membalikkan tubuh menghadapi
orang yang baru datang itu.
Ternyata yang muncul itu seorang
pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang
pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak bongkok, pakaiannya
sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa. Akan tetapi
sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan
dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia
dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik.
Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa
seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan
di mana.
Pemuda itu agaknya tidak memperhatikan Ceng Liong
karena pandang matanya ditujukan terus kepada Hek-i Mo-ong yang masih
duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh
ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng
Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu
mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang
itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat
dari bahan yang amat baik dan ampuh.
“Hek-i Mo-ong, jangan
berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!” pemuda itu
membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang
masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.
“Perlahan dulu,
sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua
kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia
bertolak pinggang menghadang. “Mau apa engkau datang menghampiri guruku
dengan menghunus pedang?”
Pemuda itu tertegun, mengamati wajah
Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang. “Aih,
jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi
pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!”
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan kini dia melihat sesuatu yang
menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu!
Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu
memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong,
pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i
Mo-ong!
“Ah, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!”
Pemuda itu tersenyum. “Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki
ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu
membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan
sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang
bertumpuk-tumpuk!”
Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini
gagah dan tidak kelihatan jahat. Diapun teringat kepada mendiang Yang I
Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar daripada seorang
sesat, walaupun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula
bersekutu dengan para pemberontak. Diapun menarik napas panjang.
“Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan
pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang
menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara
adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu
wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?”
Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu
mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong
sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranyapun terdengar lembut.
“Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau
tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh
mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh
paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian,
ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di
tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama
ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukau hanya untuk
hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau
jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan
habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian
yang adil!” Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali dan diam-diam Ceng Liong
merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i
Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi
yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimanapun juga dia dapat
merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak
benar.
“Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas
kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi,
akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka
aku akan melarangmu kalau engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa
mencampuri karena melihat ketidakadilan....”
“Ho-ho-ho, siapa
bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan
hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk
membunuhnya satu demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan
tertawa-tawa dengan sikap mengejek.
“Suhu....!” Ceng Liong
berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhunya hanya
berpura-pura saja karena sebenarnya suhunya terluka parah dan tidak
mungkin dapat menghadapi lawan tanggah.
“Heh-heh, Ceng Liong.
Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut
campur, biar kuhabiskau riwayat bocah scmbong itu!”
Mendengar
ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu
mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini
mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega.
Dengan pedang di tangan, dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring
menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong
berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya
dengan tajam.
“Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!”
“Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!”
Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok
menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan
kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat
itu, muncullah dua orang tosu berpakaian kuning dan mereka segera
menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata, “Pouw-taihiap,
biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!” Dan merekapun langsung
menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.
Ceng Liong melihat
betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong
akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka
menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa
dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak
dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.
“Dukk!” Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berobah.
“Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!” katanya dan mereka berdua
bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat
membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.
Hek-i
Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang
musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya
kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw
Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berobah menjadi
sinar terang yang menyambar laksana kilat. Memang sesungguhnya pemuda
ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewarisi ilmu pedang
mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di
Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I
Cin-jin adalah seorang tosu, dan biarpun bukan menjadi pendekar budiman
yangg terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan
para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan
tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau
membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh
besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya
menemaninya. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu
tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong
dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani
pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu
pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i
Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung
turun tangan mencegah Ceng Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan
kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding secara adil melawan musuh
besarnya.
Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah
lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andaikata keadaan Hek-i
Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat
parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi
saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja
dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya
seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan penyerangnya yang muda itu
benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan
repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani
mempergunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena
pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani
mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang.
Hal ini bisa
membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan
apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri
dan terhuyung-huyung.
Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang
ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh
besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian
lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia
terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga
tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi
sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main
ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya
terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga
robek. Darah bercucuran!
Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian
itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa
adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng
Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah
pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri
Pendekar Suling Emas dan ayahnya sudah seringkali memperingatkan
kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya.
Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya,
agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah
manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang
kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran
dan keburukannya.
Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali,
walaupun mereka behum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa
pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya,
diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara
remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan
alisnya. Kakek itu sedang terluka parah dan kini didesak amat hebatnya
oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya
berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempunyai harga diri. Ia tidak
mungkin danat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti
pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan
urnsan pribadi dua orang itu. Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah
menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia mendiamkan saja kakek itu terancam
bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia
berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak
mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari
senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan
Louw Tek Ciang.
Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw
Kui Lok memperhehat desakannya. Pedangnya membentuk sinar
bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i
Mo-ong.
“Cetttt....!” Kembali ujung pedang itu merobek pundak
kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini,
Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat
serangannya itu sehirgga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada
Hek-i Mo-ong.
“Cratttt....!” Kakek itu meregang, akan tetapi
tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui
Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang
sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan
sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus
Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu
ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat
kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena
luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang,
setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.
“Crokkk....!” Betapapun lihainya Pouw Kni Lok dan biarpun dia sudah
berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja
dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya
sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang
pundak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke
belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama
sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi
nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu,
terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara
istimewa menyerangnya dari samping!
Pouw Kui Lok terkejut dan
menangkis dengan pedangnya. “Trakkk!” Ranting itu tertangkis, akan
tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung runting
hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya
ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat
dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan
ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena
pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan,
dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting
hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru
sembuh dari sakit.
“Suheng, pergi....!” Pouw Kui Lok berseru.
Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada
musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati,
dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat
pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu
yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, nmeloncat jauh ke belakang
dan mereka bertiga melarikan diri.
“Suhu....!” Ccng Liong
berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri
ke dadanya, wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya
terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu
tertawa.
“Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan
calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i
Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang
kepadamu.... ha-ha!” Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat
dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng
Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng
Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini
amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu, apalagi
ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan
punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal
satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan
lemah memandangi mereka berdua.
Pada saat itu ada angin
menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah
berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga
menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka
melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat, akan tetapi
gadis itu berlutut di dekat tubuh Hek-i Mo-ong yang terluka parah,
bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa
jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bcrcucuran
dan menghilangkan rasa nyeri.
Akan tetapi begitu melihat siapa
yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan
diapun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk lalu berdiri
menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya! “Heh-heh-heh, orang she
Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik,
hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.
Tentu saja Kam Hong
menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan
nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri merekapun terculik dan nyaris
celaka.
“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis
jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong,
siap untuk menyerang.
“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau
baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan lenyap dari muka
bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa
penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena
engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!” Keadaan kakek itu sebetulnya
sudah payah sekali, bicarapun sudah terengah-engah, sudah lebih
mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan gembira
menghadapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh
pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi
musuh besarnya.
Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar
besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah
melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia marah sekali
mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para
pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak
ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah
berdiri menghadang antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang
bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong
aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang
pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan
menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!
“Suhuku sudah
terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya
menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya.” kata Ceng Liong dengan
sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak
takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Diapun
tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar
gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku
murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku
menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua
ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan
menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!”
Akan tetapi anak
muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.
“Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”
Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi
siapapun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan
siapapun juga!”
Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan
dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. “Hemm, seorang murid
yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”
“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu
bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi
murid iblis akan tetapi berbakti daripada menjadi murid pendekar akan
tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia
cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan
tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di dadanya.
“Hahh!” Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher
Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa
pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.“Dukk!
Dukk! Dukkk!” Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat
hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya
oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa
betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung
tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia
bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biarpun
masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu!
Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata
diadukan antara Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum
tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga
sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti
dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, juga
semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.
Setelah
merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak
mau membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas
berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini,
tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul
oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya
dalam keadaan sehat dan selamat. Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak
mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu
bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu
keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan. Akan
tetapi ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya
mencabnt suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan
suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng
Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.
“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.
Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya
menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya,
berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak
senang.
“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini. Tentu saja dia
marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi
Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh
musuh yang jahat ini!
Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya,
maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap
seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.
“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”
“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.
“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh
penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan
diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu,
apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”
Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai
ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau
murid musuh besarnya itu menolong puterinya.
“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”
“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.
Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya
dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa
Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan
pembunuhan, dan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia
membunuhnya.
“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir
agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Diapun
melangkah maju dengan suling di tangannya.
“Siapapun hanya dapat
menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong, sikapnya
tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Sikap pemuda ini kembali
membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan
marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di
tempat tinggalnya?
“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”
“Apa....?” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.
“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan
tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika
penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini
mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia
sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i
Mo-ong.”
Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus
berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum
sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak
orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah
menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan membunuhnya,
apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi,
kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja
penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang
pendekar.
Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka
matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum
mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam
tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih
bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan
sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang
seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang?
Jangan khawatir, tanpa kau turun tanganpun aku takkan hidup lama lagi.
Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa puterimu
ini akan menjadi isteri muridku....”
“Apa? Tidak mungkin! Hek-i
Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong
puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami
tidak sudi berbesan denganmu!”
“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”
Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya
menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini?
Benarkah engkau berjanji seperti itu?”
“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah
menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah
pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini
sungguh merasa khawatir membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid
seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia harus mengakui bahwa
pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang
dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.
“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat
terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon
isteri murid orang sesat ini?”
Didesak oleh ibunya seperti itu,
Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah
mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia
berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak
keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak
sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Akan tetapi, mengenai
perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biarpun demikian,
ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa
tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.
“Tidak, ibu, aku tidak mau.”
Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam
Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia
sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan
perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau dia
bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan
karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan
orang di depan matanya. Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa
dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka
kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu
saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya
dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak
menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil
keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar
kakek itu mau mengobati Bi Eng.
“Hemm, kakek iblis! Engkau
mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!”
kata nyonya itu dengan hati lega.
Hati Ceng Liong diliputi rasa
iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu kini memandang dengan mata
sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa
sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata
kakek itu yang sudah kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong,
kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri
pendekar itu.
“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan
menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak akan dapat mati dengan
tenang kalan mereka belum terikat jodoh....” Seluruh sikap dan
kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan
penyesalan yang antat menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini
hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu
tentu saja malah menjengkelkan. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan
dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar!
Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan
kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci
Sian sudah menyerangnya.
“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan
sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan
mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga
tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka
menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya
tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi
Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya
untuk meninggalkan tempat itu.
“Kam Hong, kau.... kau....!”
Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya
untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi
tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
“Suhu....!” Ceng
Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas
dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka
membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh
rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak
bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap
tenang.
Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang
kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. “Orang muda,
ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh
kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia
masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan
yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah
menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu.
Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah,
kalau memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan
sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat
diselesaikan sekarang juga.” Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong
merupakan tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia
dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat
tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan
yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pemuda itu sama
sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu
untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dan pihak
Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau
menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada
lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau
pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan
perhitungan agar beres.
Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah
seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia
ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa
menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang
gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya
kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara,
membelanya mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang
tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya
melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik. Memang dia melihat
dan mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan
datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya
kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena
ada dendam permusuhan antara mereka. Dia sendiri tidak menyetujui cara
hidup gurunya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan
nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong
sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia
dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan
mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah
memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong. Dia
sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng
karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan
tetapi cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh
menghina. Dan kini dia ditantang!
“Kam-locianpwe,” katanya
dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tidak pernah mencampuri
urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami.
Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya
mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam
kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali
berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa
bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak
memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, akupun tidak akan
mengelak. Kalau locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun
tidak akan melarikan diri.”
Ucapan pemuda ini terdorong oleh
rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi, walaupun dia bersikap
hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan!
Kam Hong
tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia
didahului isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong,
mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan
lebih jahat dari pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki
watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak
begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi
hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.
“Hemm,
orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian
enam orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan
gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya
sehingga mereka tewas. Agaknya biarpun di antara kita pribadi tidak ada
dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan.
Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang
saja. Nah, kau majulah, orang muda!”
Ini merupakan tantangan
terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah
mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap
tempur. Wajah Ceng Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya.
Gurunya seringkali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat,
sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang
rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri
memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan
seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap
para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu
sehingga mereka tidak akan dapat merobah jalan kehidupan mereka, bahkan
sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan
ganas.
“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri.
Maka, kalau locianpwe menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima
pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena
locianpwe menantang, akupun tidak akan mundur selangkahpun. Siapa yang
menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!” Diapun sudah
siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah
memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan
kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah
Kam Hong juga menjadi merah.
“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”
Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”
Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan
muda dengan suling emasnya, maka diapun menyelipkan snlingnya di ikat
pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju
menghampiri Ceng Liong.
“Orang muda, lihat seranganku!” katanya
dan diapun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat
kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa hawa
pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng
Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya
tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga
ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat
totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu
menampar ke dada.
Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong
yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan
geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang, karena
dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang
lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam
itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kiri ditarik mundur dan kini
tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini
tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin
seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun. Heranlah hati pemuda
itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali
tidak mengandung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan
lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya
sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa
penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun kini menangkis dengan
pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.
“Dukk!” Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong
terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak
mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua
langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa
pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan tetapi
begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan
membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi. Akan tetapi
dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia
makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim
Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan
ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang
mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka
Ceng Liong yang mempergunakan sin-kang tadi terpukul oleh kekuatannya
sendiri yang membalik.
Ceng Liong adalah seorang pemuda yang
amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun maklum akan sifat ilmu yang
dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang dahsyat. Karena
maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh
memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan
ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!
Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian
cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut. “Ilmu
keji....!” Serunya dan diapun tidak berani sembarangan menangkis
melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya
ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mujijat dan mengandung
hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai
sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan
ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik
sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari
tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan
lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup
sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.
“Plak-plak-plakk!”
Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang
lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat
berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan
sin-kang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak.
Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya
kedua tangan itu.
“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga
para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini
merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.
Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget,
bahkan Kam Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular.
Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan
alisnya berkerut.
“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”
“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberitahu padaku,” kata Bi Eng.
Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap
tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau
cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar
demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat
seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....”
Ceng Liong
mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe,
orang tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi
murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya
dengan siapapun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!” Dia lalu
menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian
meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.
“Ceng Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak
menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja
itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar
kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa
berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat
penolongnya itu berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak
bersahabat.
“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan
mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang
datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.
Bi
Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan
oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma
Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku,
biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku.
Dan Ceng Liong amat baik.”
Kam Hong mengangguk-angguk dan
mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa
cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar
Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri
Milanayang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang
puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di
antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan
bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja
Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”
“Dan bagaimana
tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian
bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak
karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu
Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini karena
kalau kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana
termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai penyakit
yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga
kita tidak lagi memandang orangnya, manusianya, melainkan kedudukannya,
hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi. Ketika
mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang
dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah
karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia
menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu
ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan
lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan
dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!
“Ibu, mengenai
perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia
berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak
akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak
sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai
sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau
menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya
menyembuhkanku.”
Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu
harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak
yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada
ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk
mengurus jenazah para pelayan.”
***
Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal,
adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar Super Sakti yang selain
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga telah
memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng
Siang In bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita
yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka
berusia kurang lebih setengah abad, kematangan lahir batin mereka
sesungguhnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.
Akan
tetapi, biarpun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah
kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan
kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga ketika mereka
kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong! Mereka, sebagai
suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera
mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus
asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng
Liong satu-satunya dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak,
kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui
bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan
seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahuu mereka
hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun
Hong-cun di lembah Huang-ho.
Mempunyai tidak sama dengan
memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam
masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau
suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian,
semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi,
kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang
menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan
tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang
kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih
dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan
kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan
dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam
pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini
jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan
tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak
dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan
dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap
tidak berguna lagi.
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki
adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga
selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia
lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri
untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk
berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini
sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini. Dalam
keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang
bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu
ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki.
Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan
aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA
YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan
sengsara.
Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan
segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak
perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak,
kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan
memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi
kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan
agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya
sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti
tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang
sendiri itu tidak ada.
Suma Kian Bu yang sudah berusia lima
puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang
ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini
membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja.
Dia merasa kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam
penderitaan kesengsaraan batin yang membuat dia dan isterinya setiap
hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya
dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu
masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat,
akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak
tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi
bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari
bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan
rumput. Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki
dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tatun, bertubuh
tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu
membayangkan kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan
kenakalan. Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya
tersenyum dan matanya bersinar-sinar membuat wajah itu nampak cerah
sekali.
Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun
lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil
berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di
mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat
yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong.
Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat
lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan
gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu
pernah menjadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan
melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini,
jauh lebih besar daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini
sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.
Beberapa orang
penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada
Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak
pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena
ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi
seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi
orang-orang dewasa pada umumnya. Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah
itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri
karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu
ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan
menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu
akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak
tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan
seluruh penghuni dusun mengenalnya. Teringat akan ayah bundanya, Ceng
Liong mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah
amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.
Dia
merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak
kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun
pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu,
juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa
heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah? Kalau mereka ada,
tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita
yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor. Ah,
jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau
jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi
kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?
Dengan hati
gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka.
Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak
ramah.
“Siapa di luar?”
Suara ibunya! Tak mungkin dia
salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya,
akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya
ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar,
sudah mendengar dan mengetahui adanya orang datang tanpa melihatnya.
Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.
Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”
Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya,
halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya.
Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun dan juga selalu memyambut
tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun. Akan
tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya
merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun
belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah
wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?
“Saya.... saya ingin
bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!”
jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.
Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya
sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak
jauh di belakang rumah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat
dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat
telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah. “Hemm, siapa engkau
berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?” Kini
sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu
gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara,
tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi
seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri
pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi
ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih
kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biarpun
usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar
seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat
mengenalnya lagi, walaupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang
kini berdiri di depannya itu.
Di lain pihak, Ceng Liong juga
memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya
tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan
wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia
merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan
lebih kurus. Biarpun demikian, tak mungkin dia dapat melupakan sepasang
mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar
aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali memandangnya dengan
penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata
siapapun. Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan
dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering
tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh
kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba
pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
“Ibu....!” Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah
seringkali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh
kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.
Wajah itu
menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang
seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang
melihat setan di siang hari.
“Siapa.... siapakah.... anda....?”
tanyanya gagap dan merasa seperti dalammimpi. Ia ingat wajah ini, ingat
pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa
pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut
kalau-kalau ia akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah
terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya
seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya
yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa
lagi.
“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”
“Ceng.... Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh
tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya
menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri dan sepasang
mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau
memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.
“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan
wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang
tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.
“Ceng
Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis
tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong
yang merangkul ibunya.
“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?”
Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya. Wanita
yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dau
kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata.
“Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”
Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”
Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak.
“Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i
Mo-ong....?”“Benar, ibu. Dia menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan
semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik
kepadaku....”
“Haiiiittt....!” Tiba-tiba sesosok bayangan
berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan
dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng
Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya,
mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke belakang. Serangan
pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang
menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam
sehingga tidak dapat dikenal mukanya.
“Eh, kenapa kau
menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran. Akan tetapi
orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih
dahsyat. Biarpun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah
merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum
bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh
yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak,
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukk....!” Kedua pihak
merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya
terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.
“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?” Akan
tetapi ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata
terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong
tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa
ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai,
maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi
lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini. Dia melihat
datangnya serangan yang ke tiga kalinya, dia meugerti pula bahwa
lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan
serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas menyerang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong
menemui lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran
ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan
ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan menyembunyikan ilmu
silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan
bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya
berdebar tegang dan penuh keheranan.
“Hyaaaaatt....!” Untuk ke
sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu
keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan
hawa dingin luar biasa, akau tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas
sampai mengepulkan uap panas. Ceng Liong terbelalak. Itulah
pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan
serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan kedua
tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk
ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di
antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak perduli siapa adanya
orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan
maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun jnga. Melihat
bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka
menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang
kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya
dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu
Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak
tangan lawan.
“Blarrrr....!” Dua tenaga yang amat dahsyat
bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan
tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh.
Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi
terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan
merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha, bagus,
kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng
itu sambil merenggut lepas topengnya.
“Ayah....!” Ceng Liong
terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya.
“Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
ayahnya. Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya
tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan
tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus,
tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan
sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka,
dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya
yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya
itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga
terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika
tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa
puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa
panas dan marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh
sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya,
juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku
malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak
akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan
betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji
dan jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia
menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk
memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah
puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih
baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang
calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa
ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong
adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir
yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat
mengerikan dan mengandung hawa iblis!
Kini dia melangkah maju
dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut
di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa
tinggimu sekarang!”
Dengan hati terharu karena dalam rabaan
tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang
yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang
laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan
sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong
kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!
“Ha-ha-ha, engkau
sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita
bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum
arak. Mana arak dan mana masakan?”
Siang In menahampiri mereka
dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan
puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main. “Arak? Ah, ada kusimpan
di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada
beberapa ekor ayam kita. Tnnggu, akan kumasak untuk kalian....!”
“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.” kata Ceng Liong gembira.
“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan
dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan
pulangnya dengan makan minum.” kata Suma Kian Bu. Suami isteri itu kini
berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah
bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa.Tak lama
kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga
kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah
tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan
semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i
Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali
menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.
“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia
menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik
hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku
sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua
itu.”
Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya
bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia
bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek
Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Suma
Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh
perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran,
kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat
menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera
mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera
mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong.
Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong.
Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i
Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu
memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan
cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh
Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka. Setelah pemuda itu menceritakan semua
pengalamannya, Suma Kian Bumenarik napas panjang. Teng Siang In lalu
pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan
mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.
“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng
adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga
tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah,
tentu untuk mengujiku.”
Kian Bu menggeleng kepala. “Bukan
sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan
ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid
Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau
menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah
memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat
engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati.
Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah
engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”
“Kalau benar demikian?”
“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”
“Ayah hendak membunuhku?”
“Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau
dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati
daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki
dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang
saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat
melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi
engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini,
anakku?”
“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....”
“Ahhh....?”
Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari
kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu.
Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya
berseri gembira dan matanya bercahaya.
“Ah, jadi kakekmu telah
mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada
putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima
pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau
mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah
dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan
Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau
telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”
“Maaf,
ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang
pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan.
Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda,
hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”
Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa
menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu,
memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala
ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk
kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung
baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau
umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya
pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk
kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain,
untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi
buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk
merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinun tangan, untuk keperluan
pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi
benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau
dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk
kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam
penilaian yang timbul karena adanya penggunaan.
Suma Kian Bu
menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di
dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan
kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang
pendekar.”
Pemuda itu mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan
curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada
kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu
mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam
ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang.
Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk
melindungi diri dari malapetaka.”
Kembali pendekar itu
mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya
yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang
luas dan matang.
“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga
Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita.
Engkau dipilih o1eh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat,
sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum
kaukuasai sepenuhnya, baru kauketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya
belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan
dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan
kakekmu di Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng
Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya
sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng
Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga
kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu
keluarganya. Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan
ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang
amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara
diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu.
Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya
juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!
***
Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal,
adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar Super Sakti yang selain
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga telah
memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng
Siang In bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita
yang amat lihai dan pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka
berusia kurang lebih setengah abad, kematangan lahir batin mereka
sesungguhnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.
Akan
tetapi, biarpun mereka selalu dapat mengatasi segala macam masalah
kehidupan yang timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan
kebesaran hati dan kematangan batin, mereka runtuh juga ketika mereka
kehilangan putera tunggal mereka, yaitu Suma Ceng Liong! Mereka, sebagai
suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak putera
mereka, namun selalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus
asa dan terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng
Liong satu-satunya dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak,
kalau hidup tidak diketahui di mana adanya, kalau mati tidak diketahui
bagaimana matinya dan di mana makamnya. Mereka menjadi sedih dan
seolah-olah merasa jemu akan kehidupan, selama bertahun-tahuu mereka
hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun
Hong-cun di lembah Huang-ho.
Mempunyai tidak sama dengan
memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia hidup dalam
masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau
suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, kedudukan, kepandaian,
semua itu memang perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi,
kalau batin sudah memiliki, akan terciptalah ikatan dan ikatan ini yang
menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah memiliki, maka akan
tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpisahan dari yang
kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih
dan nyeri sekali. Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan
kekerasan untuk mempertahankan miliknya sehingga timbullah pertentangan
dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan bergantung karena dalam
pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki ini
jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenangan itu, dan
tidak mau kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak
dapat lagi dinikmati kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan
dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja, dibuang karena dianggap
tidak berguna lagi.
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki
adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian lemahnya sehingga
selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia
lain, ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri
untuk membiarkan diri kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk
berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya dalam keadaan bebas ini
sajalah kita akan dapat merasakan bagaimana hakekat hidup ini. Dalam
keadaan bersandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang
bergerak di bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu
ingin memiliki, timbullah kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki.
Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang lain terdapat perasaan
aman, perasaan bersandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa HANYA
YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka dan
sengsara.
Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan
segala yang kita punyai. Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tidak
perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-anak,
kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan
memiliki akan tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi
kebebasan kepada yang dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan
agar yang dicintanya itu selalu mentaatinya dan melakukan segalanya
sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti
tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang
sendiri itu tidak ada.
Suma Kian Bu yang sudah berusia lima
puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang
ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini
membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja.
Dia merasa kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam
penderitaan kesengsaraan batin yang membuat dia dan isterinya setiap
hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan pekerjaan lain. Tubuhnya
dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu
masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat,
akan tetapi wajah kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak
tua karena setiap saat dibakar penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi
bersinar terang, tanpa gangguan awan, dan dengan riangnya sinar matahari
bermain-main mengejar pergi kabut pagi dari permukaan air sungai dan
rumput. Dan secerah itu pula wajah seorang pemuda yang berjalan memasuki
dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tatun, bertubuh
tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu
membayangkan kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan
kenakalan. Pemuda ini berjalan sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya
tersenyum dan matanya bersinar-sinar membuat wajah itu nampak cerah
sekali.
Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun
lebih dia meninggalkan dusun tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil
berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman atau tanah air di
mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat
yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong.
Seluruh permukaan dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat
lama yang amat baik. Setiap batang pohon, padang rumput, batu besar dan
gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena semua itu dahulu
pernah menjadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan
melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini,
jauh lebih besar daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini
sederhana sekali dan tidak sangat menonjol.
Beberapa orang
penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang kepada
Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak
pernah ditegur orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena
ketika pergi dahulu dia masih seorang anak-anak dan kini telah menjadi
seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya sudah melebihi
orang-orang dewasa pada umumnya. Ceng Liong masih mengenal wajah-wajah
itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri
karena dia telah memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu
ayah bundanya sendiri. Setelah berjumpa mereka, barulah dia akan
menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan diri. Tentu mereka itu
akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan meledak
tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan
seluruh penghuni dusun mengenalnya. Teringat akan ayah bundanya, Ceng
Liong mempercepat langkahnya menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah
amat dikenalnya dan mendatangkan debar pada jantungnya itu.
Dia
merasa heran melihat betapa rumah keluarganya nampak sunyi dan agak
kotor tak teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun
pohon memenuhi halaman depan dan meja kursi di serambi depan penuh debu,
juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak disentuh sapu. Dia merasa
heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah? Kalau mereka ada,
tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya adalah seorang wanita
yang rapi dan rajin, tidak senang melihat tempat yang kotor. Ah,
jangan-jangan kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Atau
jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan tetapi
kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada?
Dengan hati
gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka.
Tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak
ramah.
“Siapa di luar?”
Suara ibunya! Tak mungkin dia
salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara ibunya,
akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya
ibunya sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar,
sudah mendengar dan mengetahui adanya orang datang tanpa melihatnya.
Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
“Saya.... saya tamu....!” katanya dengan suara gemetar.
Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, “Tamu siapa? Ada urusan apa? Jangan ganggu kami....!”
Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya,
halus merdu, akan tetapi nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya.
Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun dan juga selalu memyambut
tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun. Akan
tetapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, seolah-olah ibunya
merasa kesal dan merasa terganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun
belum diketahuinya siapa adanya tamu itu. Mengapa demikian? Benarkah
wanita yang bicara dari dalam itu ibunya?
“Saya.... saya ingin
bertemu dengan pendekar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng Siang In!”
jawabnya menahan getaran hati sehingga suaranya terdengar lantang.
Hening lagi setelah ucapan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian heningnya
sehingga Ceng Liong dapat menangkap suara air terjun yang berada tak
jauh di belakang rumah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat
dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka kurus dan agak pucat
telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah. “Hemm, siapa engkau
berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?” Kini
sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu
gemetar dan bergerak-gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara,
tubuhnya tidak bergerak, hanya sinar matanya saja yang menjelajahi
seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri
pendekar Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi
ke Pulau Es, dia baru berusia kurang dari sepuluh tahun, masih
kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya dan kini, biarpun
usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar
seperti orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat
mengenalnya lagi, walaupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang
kini berdiri di depannya itu.
Di lain pihak, Ceng Liong juga
memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya. Seperti suaranya
tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan
wajah ibunya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia
merenungkan dan membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan
lebih kurus. Biarpun demikian, tak mungkin dia dapat melupakan sepasang
mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya, mata yang mengandung sinar
aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali memandangnya dengan
penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam pandang mata
siapapun. Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan
dan kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering
tersenyum lembut kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh
kasih sayang kepadanya. Inilah ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba
pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.
“Ibu....!” Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah
seringkali disuarakan hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh
kerinduan, penuh kasih sayang, penuh keharuan.
Wajah itu
menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang
seperti orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang
melihat setan di siang hari.
“Siapa.... siapakah.... anda....?”
tanyanya gagap dan merasa seperti dalammimpi. Ia ingat wajah ini, ingat
pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa
pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut
kalau-kalau ia akan kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah
terlalu sering dirasakannya. Setiap kali melihat pemuda jantungnya
seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah puteranya
yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa
lagi.
“Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!”
“Ceng.... Ceng Liong....?” Bibir itu berbisik lemah dan seluruh
tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya
menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya pemuda itu berdiri dan sepasang
mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia kalau
memandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.
“Ceng Liong....? Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!” Dan
wanita itu terkulai hampir pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang
tak dapat menahan mengalirnya air matanya saking terharu.
“Ceng
Liong.... ohhh.... anakku....!” Kini wanita itu dapat menangis, menangis
tersedu-sedu di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong
yang merangkul ibunya.
“Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?”
Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In dapat bertanya. Wanita
yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dau
kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata.
“Apa yang telah dilakukan iblis itu kepadamu?”
Ceng Liong mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Dia.... dia mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku.”
Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak.
“Selama ini, selama bertahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i
Mo-ong....?”“Benar, ibu. Dia menolongku, menyelamatkanku, dan mewariskan
semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat baik
kepadaku....”
“Haiiiittt....!” Tiba-tiba sesosok bayangan
berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu menyerang Ceng Liong dengan
dahsyatnya. Suara pukulannya mengandung angin yang kuat sehingga Ceng
Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya,
mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke belakang. Serangan
pukulan itu luput dan dia memperoleh kesempatan untuk memandang. Yang
menyerangnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan topeng hitam
sehingga tidak dapat dikenal mukanya.
“Eh, kenapa kau
menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya heran dan penasaran. Akan tetapi
orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih
dahsyat. Biarpun tangan itu sendiri belum menyentuhnya, namun dia sudah
merasakan hawa pukulan yang amat hebat. Ceng Liong terkejut, maklum
bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan pukulan jarak jauh
yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak,
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukk....!” Kedua pihak
merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga keduanya
terpental ke belakang. Ceng Liong merasa semakin penasaran.
“Siapa engkau dan kenapa menyerangku? Ibu, siapakah dia ini?” Akan
tetapi ibunya sudah berdiri di sudut dan hanya memandang dengan mata
terbelalak. Dan karena orang itu sudah menyerangnya lagi, Ceng Liong
tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia hanya tahu bahwa
ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai,
maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi
lawan yang dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini. Dia melihat
datangnya serangan yang ke tiga kalinya, dia meugerti pula bahwa
lawannya tidak main-main melainkan menyerangnya dengan hebat, dengan
serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas menyerang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong
menemui lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran
ketika lambat laun mengenal dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan
ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan menyembunyikan ilmu
silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan
bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya
berdebar tegang dan penuh keheranan.
“Hyaaaaatt....!” Untuk ke
sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan orang itu
keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan
hawa dingin luar biasa, akau tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas
sampai mengepulkan uap panas. Ceng Liong terbelalak. Itulah
pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang yang dilakukan
serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan kedua
tangan hanyalah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, termasuk
ayahnya! Ayahnyakah orang ini? Ataukah pamannya, ataukah seorang di
antara murid mendiang Pendekar Super Sakti? Tak perduli siapa adanya
orang bertopeng ini, yang jelas serangan gabungan itu adalah serangan
maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun jnga. Melihat
bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka
menyambut dua tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang
kini sudah sangat kuat, tenaga yang berdasar tenaga yang diterimanya
dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari tangannya dengan ilmu
Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam telapak
tangan lawan.
“Blarrrr....!” Dua tenaga yang amat dahsyat
bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terlempar ke belakang, akan
tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting jatuh.
Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi
terkejut bukan main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan
merangkulnya, membantunya bangkit berdiri.
“Ha-ha-ha, bagus,
kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!” Kata orang bertopeng
itu sambil merenggut lepas topengnya.
“Ayah....!” Ceng Liong
terkejut mengenal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah ibunya.
“Ayah.... maafkan aku....!” Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
ayahnya. Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya
tadi karena dia tahu bahwa ayahnya sengaja hendak mengujinya, akan
tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah bundanya menjadi kurus,
tentu banyak berduka karena ditinggalkannya selama ini. Dia merasakan
sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisahkan hati mereka,
dengan kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya
yang tadinya sudah tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya
itu tiba-tiba saja pulang! Di samping keharuan dan kegirangan, juga
terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini. Apalagi ketika
tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa
puteranya itu selama ini menjadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa
panas dan marah. Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh
sesat menyerbu Pulau Es, mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya,
juga mengakibatkan Pulau Es menjadi musnah, dan kini puteranya mengaku
malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati siapa yang tidak
akan marah? Yang paling tidak menyenangkan hatinya adalah membayangkan
betapa puteranya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji
dan jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia
menyerang puteranya itu dengan pukulan-pukulan maut dengan maksud untuk
memancing dan mencoba kepandaian puteranya, ingin melihat apakah
puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i Mo-ong. Lebih
baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang
calon datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa
ketika mereka beradu tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong
adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus diakuinya bahwa ilmu terakhir
yang dipergunakan puteranya dengan jari-jari tangan terbuka tadi amat
mengerikan dan mengandung hawa iblis!
Kini dia melangkah maju
dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai rambut
di kepala itu sebentar. “Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa
tinggimu sekarang!”
Dengan hati terharu karena dalam rabaan
tangan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan sentuhan kasih sayang
yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang
laki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan
sinar mata berseri dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong
kini sedikit lebih tinggi daripada ayahnya!
“Ha-ha-ha, engkau
sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita
bicara. In-moi, mana arak....? Aih, sudah lama sekali aku tidak minum
arak. Mana arak dan mana masakan?”
Siang In menahampiri mereka
dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di pinggang suami dan
puteranya. Suasana menjadi gembira bukan main. “Arak? Ah, ada kusimpan
di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada
beberapa ekor ayam kita. Tnnggu, akan kumasak untuk kalian....!”
“Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku sekarangpun sudah pandai masak setelah banyak merantau.” kata Ceng Liong gembira.
“Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan
dulu apa yang selama ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan
pulangnya dengan makan minum.” kata Suma Kian Bu. Suami isteri itu kini
berseri wajahnya, bersinar-sinar matanya, seperti hidup kembali setelah
bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan duka nestapa.Tak lama
kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga
kursi-kursinya mereka bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah
tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng Liongpun mulai menceritakan
semua pengalamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia dilarikan Hek-i
Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali
menyelamatkan nyawanya sehingga akhirnya dia diambil murid.
“Mula-mula aku hanya ingin membalas budinya karena telah dua kali dia
menyelamatkan nyawaku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik
hatiku dan selain itu, juga dia amat baik kepadaku, amat menyayangku
sehingga timbul rasa kasihan dan suka di dalam hatiku terhadap orang tua
itu.”
Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya
bersama gurunya itu ke barat, bahkan sampai di Bhutan. Betapa dia
bertemu dengan bibi Syanti Dewi dan suaminya, pendekar sakti Ang Tek
Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Suma
Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh
perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran,
kagum dan bermacam perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat
menilai lagi apakah mereka harus menyalahkan atau membenarkan putera
mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan hebat dialami putera
mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-ong.
Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong.
Hanya di bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i
Mo-ong tidak dia ceritakan kepada orang tuanya. Hal ini terlalu
memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah bundanya tentu tidak akan
cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka dijodohkan oleh
Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka. Setelah pemuda itu menceritakan semua
pengalamannya, Suma Kian Bumenarik napas panjang. Teng Siang In lalu
pergi mengambil arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan
mereka dan mengambil sayur-sayuran dari kebun belakang.
“Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?” Kian Bu bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong tersenyum. “Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng
adalah ayah. Baru setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga
tentu ayah atau paman lain dari keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah,
tentu untuk mengujiku.”
Kian Bu menggeleng kepala. “Bukan
sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar percakapanmu dengan
ibumu. Mendengar bahwa selama bertahun-tahun ini engkau menjadi murid
Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau
menjadi murid Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah
memperoleh warisan ilmu sesat dan hawa yang kotor. Daripada melihat
engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik melihat engkau mati.
Maka aku lalu keluar dan selain mencobamu, juga untuk melihat apakah
engkau benar-benar mewarisi ilmu kotor.”
“Kalau benar demikian?”
“Aku akan berusaha memukulmu roboh.”
“Ayah hendak membunuhku?”
“Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau
dalam penyerangan itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati
daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi, ternyata engkau memiliki
dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus terang
saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat
melawannya. Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi
engkau memiliki sin-kang keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini,
anakku?”
“Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari mendiang kakek Suma Han....”
“Ahhh....?”
Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengoperan tenaga sin-kang dari
kakeknya, sebelum terjadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu.
Mendengar cerita ini, bukan main girang rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya
berseri gembira dan matanya bercahaya.
“Ah, jadi kakekmu telah
mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu? Bukan main! Kepada
putera-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima
pengoperan sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau
mampu menghimpun dan mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah
dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dan
Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan tetapi.... sayang, engkau
telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong....”
“Maaf,
ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang
pernah kuterima dan masih kuingat? Ayah, kita harus melihat kenyataan.
Ilmu apakah yang kotor dan bersih? Bukankah segala ilmu, segala benda,
hanya dapat ditentukan bersih kotornya tergantung dari pada si pemakai?”
Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa
menilai-nilai, sudah biasa menentukan pendapat akan sesuatu,
memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak baik. Padahal, segala
ilmu, segala benda di dunia ini baru mempunyai predikat baik atau buruk
kalau sudah dipergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung
baik atau buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau
umpamanya, apakah pisan itu benda baik atau buruk? Tentu saja pisau ya
pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk. Baru disebut buruk
kalau orang mempergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain,
untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi
buruk. Akan tetapi sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk
merajang bumbu masak, untuk membuat kerajinun tangan, untuk keperluan
pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda itupun menjadi
benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau
dipergunakan untuk kejahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk
kebaikan, menjadi ilmu baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam
penilaian yang timbul karena adanya penggunaan.
Suma Kian Bu
menarik napas panjang. “Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di
dalam ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan
kecurangan, dan hal-hal semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang
pendekar.”
Pemuda itu mengangguk. “Aku mengerti, ayah. Keji dan
curang hanya terdapat dalam batin seorang yang menyeleweng daripada
kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun mendiang suhu
mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam
ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang.
Betapapun juga, ilmu-ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk
melindungi diri dari malapetaka.”
Kembali pendekar itu
mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa puteranya
yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang
luas dan matang.
“Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga
Pulau Es. Karena itu, engkau harus mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita.
Engkau dipilih o1eh mendiang kakekmu untuk mewarisi tenaga yang mujijat,
sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum
kaukuasai sepenuhnya, baru kauketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya
belaka. Maka, mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan
dariku secara tekun agar kelak tidak akan mengecewakan menjadi keturunan
kakekmu di Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng
Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan, sekali ini dari ayahnya
sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya. Ceng
Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga
kakeknya, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu
keluarganya. Bahkan diam-diam pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan
ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau Es dan ilmu-ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja penggabungan dua ilmu yang
amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara
diam-diam oleh Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu.
Selama beberapa tahun Ceng Liong digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya
juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu sihirnya!
***
Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri
dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu
matahari belum nampak walaupun sinarnya telah lama mengusir kabut dan
menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung
daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah
dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan
sejuk.
Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan
belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya yang tampan itu berbentuk
lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak
yang gemibira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup dingin, dia
membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja. Akan tetapi yang
amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki
itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan
apapun ketika dia memasang kuda-kuda dan menggeser ke sana-sini. Akan
tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak
mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf
permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan
gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga. Akan
tetapi, tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil
bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan
rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak
sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap
diantara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat
seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini
merasa kagum bukan main.
Pengintai itu menarik napas panjang dan
mengumam seorang diri, “Hebat.... seorang pemuda yang hebat tak ubahnya
Pendekar Siluman Kecil di waktu muda....” Kakinya bergerak sedikit dan
tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan
sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi
cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia
menghadap ke arah pohon itu.
“Saudara yang berada di belakang
pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya kalau tidak
ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan
mengintai.”
Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu
seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun
itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari
kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu,
yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin
mantap dan matang ilmunya.
Akan tetapi ketika orang yang
mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut dan kagum.
Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling
berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh
selidik. Belum pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang
berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap
gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai
para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari
kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan
kegagahan yang amat mengagumkan hati Ceng Liong.
Ceng Liong
dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak
dikenalnya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada
sebagai penghormatan dan berkata, “Bolehkah saya bertanya? Siapa nama
saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”
Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara
rapi. “Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku
berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh
jurus!” Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim
pukulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke
belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah
disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin
dahsyat.
“Plakk! Plakk!” Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan
selalu mengelak ke belakang itu kini menggunakan lengannya untuk
menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan mengerahan tenaga dan
akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang
beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas
serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling
serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat. Keduanya
menjadi semakin gembira ketika mendapat kenyataan bahwa lawannya
benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang Ceng
Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka diapun
melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan
tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.
Ketika
pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh
jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu
dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton
pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran. Mereka tidak
mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang
bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua
orang itu, suami isteri sakti inipun maklum bahwa mereka itu tidak
berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan
berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.
Tiba-tiba, pria
gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat
ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan
sikap hormat dan muka tersenyum ramah.
“Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”
Suma Kian Bu dan isterinya cepat membalas penghormatan tamu itu.
“Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada
tamunya dan juga kepada puteranya. Ceng Liong tidak menjawab karena
memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah
perkasa itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah?
Suma-taihiap tidak mengenal aku, si pemburu miskin ini?”Suma Kian Bu
memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu,
kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan diapun
lalu berseru, “Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri
hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali
dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!” Kian Bu girang bukan main
dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah
mengujinya.
Sim Hong Bu juga tertawa. “Suma-taihiap bersama
isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang
sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Murah, menurunkan berkah
melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”
“Sudahlah, saudara
Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami
rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa.” kata Suma Kian
Bu.
“Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”
Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu
dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi
hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan
hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma
Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya, “Nah, saudara Sim,
sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung
di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”
“Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah sejak kurang lebih tiga
tahun aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah
taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengarkan sesuatu yang sedang
bergejolak di dunia para pendekar?”
Suma Kian Bu saling pandang
dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala. “Selama tiga
tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu
dan tidak mendengar apapun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah,
saudara Sim?”
“Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini
sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa
kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan
membebaskan diri daripada belenggu penjajahan!”
Suma Kian Bu dan
Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti
pemberontakan! “Tapi.... tapi....” keduanya menggagap.
Sim Hong
Bu bersikap serius. “Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini
para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan
bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus
tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk
bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat
ini....!” Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal
itu terlepas dari gelungnya. “Kita harus berkuncir seperti ekor anjing!
Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi
bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu.
Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan,
apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa
budak?”
Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah,
dengan sepasang mata mencorong seperti berapi- api. Agaknya semangat
kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In.
Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah
mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat. Teng
Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh
semangat itu.
“Memang, sesungguhnya kamipun tidak buta terhadap
itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu,
sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan
tetapi.... karena kita tidak berdaya....”
“Tentu saja tidak
berdaya kalau kitadiam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang
selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa
kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi
budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang
gagah kalau kita membiarkan malapetaka ini terjadi? Apakah kita tidak
akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?”
“Engkau betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk. “Biarpun nampaknya mustahil, akan
tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan,
agaknya bukan tidak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin
oleh bangsa sendiri. Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Dan
kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apa lagi,
saudara Sim?”
“Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan
ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai
mengadakan hubungan, di mana-mana diadakan pertemuan rahasia dan
akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu,
menyebarluaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan
teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dau kelak akan diadakan
pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam
pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita
lakukan. Nah, dalam tugas menyebarluaskan dan mencari teman sehaluan
inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”
“Bagus!
Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu
dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini
berseri-seri dan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.
“Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah
perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari
cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar,
terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.” Sim
Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang sejak tadi nampak diam dan
menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan
dia tidak nampak segembira ayah ibunya.
“Tentu saja Ceng Liong
akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar.
Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.
Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya dan tamu itu,
kemudian dia menarik napas panjang. “Nanti dulu, ibu. Aku tidak bisa
mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara
tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang
tidak aku mengerti.”
“Hal-hal apakah yang belum kaumengerti?” Ayahnya bertanya.
“Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu
secara tiba-tiba saja merobah pendirian menjadi berlawanan dari yang
sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang
pemberontakan? Bukankah ayah selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi
pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu
menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku
mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan
membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”
“Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!” Ibunya
berseru menegur. Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum
dan wajah mereka berseri.
“Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya.” kata Suma Kian Bu.
“Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus,
menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main
ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain.” kata pula Sim Hong Bu
sambil mengangguk-angguk.
“Ceng Liong, kalau tidak diberi
penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui
batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot.
Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot
walaupun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air
dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot
berjiwa pendekar walaupun hal ini patut disayangkan.”
“Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.
“Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan
dipandang dari sudut perikemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela
yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang
bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar maupun pengemis,
apabila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya.
Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami
bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang
pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak
mencelakakan bangsa maupun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa
bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang
hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah
Mancu.”
“Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa
Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah
Ceng Liong.
Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan
isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan
mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya
akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong
adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.
“Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan
urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar
Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi
jangan lupa, dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan
memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi,
melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?”
Pemuda itu
menggeleng kepala. “Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah
yang pernah kubaca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan
bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di
jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar
lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi,
Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa
pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik
daripada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?”
Tiga orang sakti itu menggeleng kepala. “Tidak, tidak demikian, anakku.
Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapapun jeleknya pemerintahannya,
kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan
mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti
kaisar seperti yang seringkali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan
penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami
penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang,
larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan
lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.“Akan tetapi, kalau begitu kenapa
tidak dari dulu- dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah?
Kenapa ayah ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?”
“Itu lain lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba,
patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak
sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela
rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir
penjajah. Akan tetapi sementara itu kalau saatnya belum tiba lebih dulu
kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.”
“Tapi, bukankah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat
pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu
tidak membantu pemberontakan seperti itu?”
“Bolehkah aku
menjelaskan?” kata Hong Bu dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk,
dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang
gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang
tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus
menentang pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu
menang, berarti negara jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing
lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut
kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam inipun tidak akan
didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para
patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan
kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang
membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”
“Kita usir penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya. Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya.
“Ayah, satu pertanyaan lagi.”
“Tanyalah.”
“Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.”
“Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.”
“Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu.
Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak
dapat dibantah oleh siapapun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tak
dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam
tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan
kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, bahkan pernah
menjadi panglima? Danbibi Puteri Milana juga pernah menjadi panglima?
Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?”
Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan
mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu
betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya
sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri
terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang
membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, diapun lalu tersenyum dan
menatap wajah puteranya dengan tenang.
“Liong-ji, dengarkan
baik-baik. Aku tidak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri
Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah
kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es.
Kakekmu, mendiang ayahku itupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu.
Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang
Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot
berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana
juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan
pemberontakan golongan lain, sama sekali bukan pemberontakan para
patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi
mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di
Puncak Telaga Warna di Pegunungan Seng-san. Memang banyak pula
pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan
Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu
disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua.
Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu
bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu
pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka
duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?”
Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan
kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng
Liong mengerti dan diapun menyambut cita-cita perjuangan para patriot
itu dengan semangat menyala-nyala.
Sampai malam empat orang itu
bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu
menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para
patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan,
menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.
“Ada satu hal yang
amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan
seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri
Jenderal Muda Kao Cin Liong.”
Tentu saja nama ini membuat
keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong yang
mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat
akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya
pulau itu.
“Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.
Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk- angguk. “Aku sudah
mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan
yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.”
“Apakah yang
terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik
dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan
keponakanku, Suma Hui.”
“Bagus! Kamipun sudah mendengar akan
berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul
di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin
Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali
dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan
yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang
berbahanya.”
“Dan maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.
“Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan
penjajagan, menyelidiki kemungkinan- kemungkinannya menarik jenderal itu
ke pihak kita. Dia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau
kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita
sudah menang!”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus
jenggotnya. “Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga
tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir. Kita tak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik
jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak
terlalu dekat dengan keluarga Kao....”
“Serahkan saja padaku,
ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat
mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana
nada bicaranya,” kata Ceng Liong.
Ayahnya mengangguk setuju.
“Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak
dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya
akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”
Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong
Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang
tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda
dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan
perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang
tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan
perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para
pejuang.Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal
ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih
kalah dalam hal gin-kang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam
hal sin-kang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sin-kang yang
diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super
Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu
sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.
Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”
Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil
bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai
gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah
untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang
lebat dalam hutan itu.
Seorang gadis yang usianya antara delapan
belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya
sedang. Pakaiannya sederhana, bukan hanya potongannya melainkan juga
terbuat dari kain kasar, akan tetapi justeru pakaian sederhana ini
bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya.
Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas,
tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit.
Sepatunya dari kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat
sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang
biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya,
seorang gadis kang-ouw. Akan tetapi, tidak nampak sebuahpun senjata
menempel di tubuhnya. Sepasang matanya tajam bersinar- sinar, apalagi
pada saat ia sedang marah seperti itu. Hidungnya yang kecil mancung itu
dapat bergerak-gerak sedikit cupingnya, dan mulutnya yang cemberut itu
berbibir merah basah, tanda bahwa ia sehat dan segar. Kedua pipinya,
pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali seperti diberi
pemerah muka, padahal pipi itu merah aseli seperti juga bibirnya.
Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh
tahun dan biarpun dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan
tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut
mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum
arak di pagi itu. Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda
orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras dan dalam keadaan
mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka
lakukan, meniadakan sopan santun dan watak- watak aseli mereka akan
nampak keluar tanpa hambatan.
“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya
kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan
sedingin ini? Ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit
sekali berkata.
“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami
para pendekarpun suka bermain cinta, hi-hik!” kata orang ke dua yang
hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.
“Ha-ha-ha,
benar, benar! Pendekarpun laki-laki biasa yang suka bercanda dengan
gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu
begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?”
Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.
“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha!”
Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.
“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok,
kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka
tertawa-tawa.
Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat!
Kalian bertiga ini pantasnya anggauta gerombolan penjahat, sama sekali
tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang
mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini
pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan
pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian
yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan
kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu
mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka
bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.
“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.
“Kalian mau apa!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tak dapat dipertahankannya lagi.
“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu,
menjamahpun tidak, mengganggupun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu.
Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah.
Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak
boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu
yang tidak adil kepada kami.”
“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”
“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja
darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya
mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah
membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang
manis dan jelita ini.
Kini kemarahan dara itu tidak dapat
ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah
mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi,
pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”
“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.
Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang
halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”
“Dan akupun ingin dipijiti jari-jari mungil itu,
heh-heh!”“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki
tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara plak-plak beberapa kali
dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka. Mereka
terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh
tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan
itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka
dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu
memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi
rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg
itupun menjadi marah.
“Berani kau memukul kami?” Mereka bangkit
berdiri dan mengepung gadis itu. Kemudian, sambil berteriak marah mereka
mulai maju dan dari serangan mereka, dapat dilihat bahwa mereka masih
mempunyai niat kotor karena serangan mereka itu bukan pukulan melainkan
cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si
nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau
merobek pakaiannya! Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa
mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata
memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping
itu berloncatan ke sana- sini dan semua terkaman itu hanya mengenai
angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali
berturut-turut dan untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu
terpelanting dan mengaduh- aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor
domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina
yang galak dan kuat.
Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa
mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar
mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari
kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan tiga orang itu
bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka yaitu sebatang golok
tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan
wajah bengis.
Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak
gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu.
Bahkan ia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang
dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh
kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua
gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya
hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan
gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.
“Hemm, kalian
memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan
senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.
Tiga orang itu
kini sudah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang
ajar. Kini yang ada dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu
membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan
tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.
“Haiiiittt....!” Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya
yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak
mau ketinggalan dan dari kanan kiri merekapun menyerang dengan golok
mereka. Sungguh tiga orang ini tak tahu malu, menyerang seorang gadis
bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu.
Namun, gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di
antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok
mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka, maka
mereka menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan
bertubi-tubi. Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan
untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba ia
mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya
terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga
dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis
lihai menurunkan tangan membalas. Tiga kali ia memukul dan tiga orang
itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas
dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak
mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan
membuat tulang pundak mereka remuk dan lengan itu tentu saja menjadi
lumpuh seketika.
“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan
mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis
dengan kata-kata yang tegas.
Akan tetapi, pada saat itu
bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian
seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga
orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lalu mengurung si gadis
yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu
menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka
menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri.
Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan
sikap tenang itu.
“Nona, siapakah engkau yang begitu berani
melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya,
sikapnya tenang dan angkuh seolah-olah sikap seorang locianpwe kepada
seorang yang tingkatanya lebih muda dan rendah.
Melihat jubah
putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas
dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata
dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya
aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi kalau tidak salah, ji-wi adalah
orang- orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Dan tiga orang
yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggauta-anggauta Pek-lian-pai. Akan
tetapi mengapa mereka bersikap seperti penjahat-penjahat rendah yang
suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek- lian-pai diajar
untuk kurang ajar terhadap wanita?”
Wajah dua orang kakek itu
berobah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan
tongkatnya di atas tanah. “Siancai, nona muda yang bermulut lancang!
Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya
mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu.
“Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab
sebenarnya!”
Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya
cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu
wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara
kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai
seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan
memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”
Tosu
pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan
tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum
mengejek. “Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama
Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama
To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa
Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain
pemabok- pemabok dan pengganggu wanita, juga pembohong-pembohong besar
dan pengecut, tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka!”Si tosu gendut marah. Matanya
terbelalak dan tongkatnya digerakkan, melintang di depan dadanya. “Hemm,
engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya
mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah,
hendak pinto melihat sampai di mana kelihaianmu.” Setelah berkata
demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia
menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimanapun
juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau
harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya, dan ketika
menyerangpun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud
mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang
dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang
murid Pek-lian-pai itu. Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya
itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus
ilmu silat Pek-lian- pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan
cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga
sin-kang yang cukup kuat.
Akan tetapi kakek gendut itu kecelik.
Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya,
dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang,
gadis itu sudah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya.
Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia
mengirim serangan ke dua, kaki menendang ke arah lutut dilanjutkan
cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan
kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat
berbahaya!
Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang
amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan amat baiknya
dan tiga serangan beruntun itupun semua hanya mengenai tempat kosong
belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat
dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek
itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena
diapun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis
itu mengangkat tangan kirinya menangkis. Melihat ini, kakek Pek-lian-pai
menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu
lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang
seekor kupu-kupu yang lincah saja. Akan tetapi kalau gadis itu
menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua
lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya
akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, diapun
segera mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.
“Dukkk....!” Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main
karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang
lengan lawan atau setidaknya menbuat gadis itu roboh, sebaliknya malah
membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada
semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu
bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung
ke belakang.
“Totiang, apakah engkau masih hendak melanjutkan
kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah. Dalam pertemuan
tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak
bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sin-kangpun
gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau
memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat
ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan
tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk
gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak
memyambar ke arah kepala gadis itu!
“Wuuuuttt....!” Tongkat
menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula
menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu
dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang
lututnya tertotok, maka iapun meloncat jauh ke belakang dan tangan
kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan
mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari
emas yang indah sekali!
“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati,
harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang. Dua orang kakek
itupun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar
Pek-lian-pai, masa menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu
menang? Keduanya tidak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran
untuk dapat mengalahkan gadis itu.
Akan tetapi sebelum bergerak,
tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi
besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah.
Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang
kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan
hormat.
“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan
baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji- wi melanjutkan
perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.
Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua
orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang
muda, mengapa engkan mencampuri urusan kami dan apa yang kaumaksudkan
dengan kata-katamu tadi?”
“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh
Pek-lian-pai dan kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi
tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang
akan diadakan di tempat ini, bukan?”
“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”
“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukan
orang jahat, melainkan puteri pendekar sakti Suling Emas,
Kam-locianpwe. Iaadalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu
kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar
patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali
dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu
menghadapi pemerintah penjajah?”
Dua orang tosu itu kelihatan
terkejut. Biarpun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa namun
nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas
saja gadis itu lihai bukan main.
“Tapi, nona ini telah melukai
tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri
di sudut yang menguntungkan.
“Tentu saja aku melukai dan
menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!”
bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu
apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”
Pemuda itu
mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap
sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimanapun juga, nona ini adalah
seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan
murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid- murid ji-wi dalam keadaan
mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok
kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para
pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek- lian-pai akan menjadi merosot
saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”
Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa
murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini.
Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid
mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas
nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri
pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau
dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak nama karena
membela tiga orang murid mabok!
“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.
“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis
itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi
memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.
Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu
semakin
terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak
dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dari membentak tiga
orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu. Setelah mereka
pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu.
Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan
suara, dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka
menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam
pikiran mereka dan tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir
berbareng.
“Bi Eng....!”
“Ceng Liong....!”
Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng
berhenti dan ia berdiri memandang dengan muka berobah merah sekali.
Teringat ia bahwa yang berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan
remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan
seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi
seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan
pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!
Melihat
keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya.
Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong
mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh
sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi
seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah
ada seorang gadis yang begini menarik hatinya. Jantungnya berdebar
tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan
janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahtwa kelak dia akan menjadi
suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia
akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia
jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut
sendiri mengikuti jalan pikirannya.
“Bi Eng.... ah, tak kusangka
akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu
lagi, engkau.... sudah begini besar....!”
Bi Eng memandang
kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah diri jantung Ceng
Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!
“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau
bisa memberi tahu kepada kakek- kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri
pendekar Kam!”
Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan baru aku teringat ketika engkau mengeluarkan suling emas itu.”
Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkaupun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”
“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”
“Yang berobah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”
“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkaudatang ke sini tentu ada
hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara,
bukan?”
Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkaupun datang
untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu?
Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan
itu?”
“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku
mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga
hadir?”
Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku
datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berobah merah.
Hampir saja dia tadi menyebut “mertuaku”, bukan “guruku”.
Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau adalah puteri
tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan
kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi
orang yang sukar dicari tandingannya. Dan engkau masih mempunyai
seorang guru lain daripada ayah bundamu?”
Bi Eng bertolak
pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong,
engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri
sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok
dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang
bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau
masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”
Ceng Liong
tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan
tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan diapun
menarik napas panjang.
“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”
“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”
“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”
“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang
menyerang ayah padahal dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan
serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.
Ceng
Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh,
kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik
sekali. Bagaimanapun juga, andaikata dia tewas di tangan seorang
pendekar sakti seperti ayahmupun sudah sepatutnya. Dialah yang
menyebabkan kakek dan nenek- nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab
malapetaka yang melenyapkan Pulau Es....”
Sepasang mata yang
indah itu terbelalak. “Apa? Dan engkau masih mau menjadi muridnya?”
tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong
menghela napas panjang. “Dia berkali- kali menyelamatkan nyawaku,
membelaku dan amat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku
dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih
sayangnya dengan kebencian?”
“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”
“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau
menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah
oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi
sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri.
Baigaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya.
Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”
Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.
Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan
nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut
berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu
adalah racun.”
“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”
Tiba-tiba wajah Bi Eng berobah merah sekali dan bersungut-sungut.
“Engkau yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara
tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i
Mo-ong?”
Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis
itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa
menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan
mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau
terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika
disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”
Bi
Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, akan tetapi mana mungkin aku
berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana
keputusan orang tuaku saja....”
“Ah, sungguh sebaliknya dengan
aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang
bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walapun
orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dulu itu, kalau tidak
terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau
kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku
sekalipun.”
Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan ia
melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng
Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja,
hanya untuk berjalan- jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.
“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau
menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong
belaka....?”
“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapapun
juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi
kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”“Hemm, kalau begitu....
jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu
selamanya?”
Bertanya demikian, gadis itu menghentikan
langkahnya, memutar tubuh menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya
bertolak pinggang, matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum
mengejek seperti orang menantang! Diam-diam Ceng Liong terkejut dan
merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Akan tetapi dia
menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh.
“Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti
oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba
saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak
terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan
saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.
“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kaucinta itu?”
Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka oleh
Ceng Liong, membuat pemuda itu manjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama
ini memang belum ada.... eh, memang ada, ya, ada memang....”
Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya
kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan
pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kaucinta itu? Yang tegaslah,
jangan plintat-plintut!”
“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.
“Hemm.... dan.... dan iapun cinta padamu?”
Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum
tahu....” Karena pertanyaan- pertanyaan itu makin mendekati sasaran,
yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang
gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya
lemas. Maka diapun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ.
Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis
itu kelihatan tertarik sekali.
“Engkau belum tahu? Engkau
mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau
tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”
“Aku.... aku takut, Bi Eng.”
“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan
punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid
Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”
“Bi Eng,
aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta
padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah
engkau memberi nasihat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan
begini?”
Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang
jauh. “Engkau....? Minta nasihat dariku? Ah, bagaimana sih keadaanmu
itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga
mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena
takut ditolak? Begitukah?”
Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.
“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kausimpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”
Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”
“Kalau itu sih belum pernah!”
Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Eh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?
“Aku kan wanita dan yang kaucinta itupun wanita, bukan?”
Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana
menurut nasihatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak
tahu apakah ia mencintaku, dan aku takut menyatakan cintaku, takut
kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”
“Ceng Liong, tidak
ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta
kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang
jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali,
tentu saja, kalau pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau
kurang ajar. Kalau kau tidak menyatakan cintamu, mana ia tahu? Dan kalau
engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah ia mencintamu atau
tidak? Maka, kalau engkau minta nasihatku, datangi gadis itu dan akuilah
terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”
“Begitukah nasihatmu, Bi Eng? Gadis itu benar- benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”
“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cintapadamu ....”
Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi
Ceng Liong, mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan
matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.
“Apa....? Apa yang kaukatakan itu....?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”
“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju
dan mukanya berobah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Melihat ini, Ceng Liong menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa
engkau sendiri yang menasihatiku untuk berterus terang, engkau sendiri
yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”
“Tapi....
tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi
mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka?
Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”
“Memang benar,
janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku
menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu
memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”
“Tapi.... kita
baru saja berjumpa dan kau menyatakan cinta....?”“Bi Eng, sejak
pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali
kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan
cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau
terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku
bahkan melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira
engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah
aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi
Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta
padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkaupun membalas
perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”
Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi
Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya
dan air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu
saja Ceng Liong terkejut bukan main dan diapun cepat menghampiri dan
berlut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia
menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di
dalam hatinya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng, kaumaafkanlah aku kalau
semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa
terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah, aku mengaku salah, dan boleh
engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi matipun aku tidak akan
membalas.”
Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata
basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang
dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua
tangan.
Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia
adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan.
Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak
karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu
harus berbuat apa.
“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku....
mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku,
hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka?
Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”
Bi Eng semakin
mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya
gadis itu harus menghabiskan dulu air matanya, baru dapat diajak
bicara, pikirnya. Dan biarpun pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan
tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu
mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.
“Ceng Liong, aku.... aku
tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi
batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan
dengan orang lain....”
Ceng Liong menatap wajah gadis itu,
sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berobah pucat dan dia merasa
betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan
termenung sejenak.
“Tapi, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”
Gadis itu terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju.
“Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya
menurut kehendak ayah ibuku saja....”
“Ah, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepala. “Diapun seperti aku, hanya menurut
kehendak orang tua, dan kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang
tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah
mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk
menerima pendidikan ilmu pula.”
Ceng Liong menarik napas
panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang
muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat
isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi
mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!
“Sungguh aku
merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja
dijoodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”
“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah
ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”
Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi
engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”
“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eug?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”
“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng
juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang
gagah perkasa itu? Ah, pantas Kalau begitu orang tuamu menerimanya.
Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku tidak tahu diri berani
menyatakan cinta kepada calon mantu Sim- locianpwe. Maafkan
kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa
perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu menggalkan gadis itu, setelah
membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
“Ceng
Liong.....!” Terdengar seruan lemah dan Ceng Liong seperti tertahan
kakinya. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya,
disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang.
Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan,
kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang
pipinya.
“Ceng Liong.... jangan.... jangan pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.
“Bi Eng.... apa artinya ini....?” Ceng Liong lari menghampiri dan
mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak
merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda
itu dan iapun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak,
kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala
itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu
menembus bajunya dan membasahi dadanya. Terasa segar bagaikan siraman
embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinyamembuat bunga itu
berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan
keadaan ini. Seujung rambutpun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi
Eng akan bersikap begini, bahkan sekarangpun, setelah dia merangkul
gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di
kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.
“Bi
Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua
lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut
kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.
Tanpa
mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng
Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya
menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”
Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong
menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga
wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan
dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.
“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti
orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.Wajah yang basah
itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini
merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang
mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Biarpun dia
belum berpengalaman, dan biarpun getaran jantungnya membuat tubuhnya
menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua
kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata
dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat
seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.
Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang sejak tadi masih
dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercaya kebahagiaan yang
tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan
mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan,
kemudian terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi
kau telah bertunangan....”
Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng
melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan
memandang wajah Ceng Liong dengan muka berobah pucat sekali. Lalu gadis
itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan
ia nampak penasaran sekali.
“Engkau benar! Aku telah
bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku
bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima
begitu saja. Aku harus menentangnya!”
“Tapi, Bi Eng, kalau
engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu
marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal
mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulupun, mereka menolak keras ketika
mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Pula,
aku amat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk
berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi pengrusak pertalian jodoh
antara engkau dan puteranya?”
“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, kenapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”
“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan
mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan
nasibmu kalau menentang orang tuamu....”
“Jadi, kalau begitu
engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan
dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu
terhadap diriku?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin
agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu
agar mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap
orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”
“Nah, begitu baru
benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua
tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau
aku bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga. Aku berani
bersamamu menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta
dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta
kasih kita.”
Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Akupun tidak takut, Eng-moi....”
Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng- moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimanapun juga, selain lebih tua darimu, akupun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”
“Liong-koko.... ih, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini
tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tak dapat menahan hatinya
dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih
canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itupun
dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja. Bi Eng
terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya
menjadi lemas dan iapun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah
dengan sepenuh hati dan merekapun berciuman, canggung namun mesra.
“Eng-moi, aku cinta padamu dan aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”
“Tak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan
juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat
menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali
ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak
mereka tanpa perhitungkan lebih dulu,tanpa memperdulikan isi hati antara
yang bersangkutan.”
Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang ke tempat ini bersama suhu, dan tadi kami berpisah,
masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu
menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang
dari golongan lain yang menyelundup. Aku bertemu dengan orang-orang
Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”
Ceng Liong melepaskan
rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena
perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka
datang ke tempat itu. “Akupun heran mengapa orang- orang seperti mereka
itu hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku
menjadi semakin ragu- ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut suhu, Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang paling gigih
menentang pemerintah sejak dahulu. Yang kita pandang bukanlah perangai
mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena
itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin
kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.
“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan
kekasihnya, akan tetapi diapun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin
meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja.
“Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya dan
mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh
perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu
berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng
Liong berdiri bengong, kemudian diapun melanjutkan perjalanan menuju ke
Hutan Cemara.
***
Di Hutan Cemara telah berkumpul
banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang
berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat.
Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang- san itu nampak ramai walaupun hal
ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di
sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi
itu.
Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan
yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu
adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama
Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan
perkumpulan rahasia yang selalu dikejar- kejar pemerintah karena mereka
itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa. Pada
mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh
orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan
tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita
pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan
keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan
atau keuntungan. Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah
perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan
kekuatan dan kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga seringkali
mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan ada pula orang-orang yang
memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.
Ketika
Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat
menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan
anggauta yang puluhan orang banyaknya dan nampaklah bendera-bendera
mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera
perkumpulan masing-masing. Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang
tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka
pucat akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa
tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan
kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng. Sikap
tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan,
kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan
tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur dan mereka itu
nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik
ke kanan kiri. Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi
delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula
yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning seperti pakaian
pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak
terpelihara, diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang
kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian
dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam daripada para anak buah
Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu. Berbeda dengan
dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang datang dengan anak buah
sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat
puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang
tergantung di punggung. Sikapnya pendiam dan gagah, juga anak buahnya
kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.
Karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi
yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah
perkasa, yang memakai baju kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih
empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu pria itu
menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru
dengan nada suara yang lantang. “Cu-wi (saudara sekalian) yang
terhormat, mohon perhatian!”
Suaranya yang mengandung getaran
khi-kang yang kuat itu mengatasi suara berbisik para pendatang yang
memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan
sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini
semua mata ditujukan kepada pria itu.
Melihat pria itu Ceng
Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andaikata tidak terjadi
pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan
mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini.
Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam
(Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi
guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!
Setelah memberi hormat
ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan
gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili
para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini
sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal
saya, saya memperkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana
pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan
ini?”
Terdengar teriakan “setuju!” dari mereka yang sudah
mengenal pendekar ini, sedangkan mereka yang belum mengenalnya dan masih
ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan. Agaknya para pimpinan tiga
perkumpulan besar yang hadir itupun sudah mengenal pendekar ini karena
mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir
menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.
“Terima kasih atas
kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan sedikit tentang timbulnya
gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan
sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa,
mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang
dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan
patriot, tentu saja kita tidak mungkin tinggal diam saja. Maka sayapun
diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan,
mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari
pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana
bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari
tangan penjajah.”
“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.
Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu
tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti
yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu
maka tadi saya katakan bahwa saya hanya untuk sementara memimpin
pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita mengangkat seorang
pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya.
Setujukah cu-wi?”
Semua orang kembali berisik menyatakan setuju.
Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan
ke atas dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua
kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah
Pek-lian-pai.
“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi
bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa- pai dan teriakan
inipun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.
“Kami
usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah
Thian-li-pai disambut sorak- sorai teman-temannya.Kembali Sim Hong Bu
mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat agar suasana
kembali tenang. Setelah keadaan tenang, diapun berkata. “Memang untuk
memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon- calon. Seorang calon
yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan
kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya mulai dengan
locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi diajukan sebagai
calon. Harapdikemukakan alasan- alasan mengapa dia dicalonkan.” Sim
Hong Bu sudah tahu siapa adanya tosu kurus yang memimpin rombongan Pek-
lian-pai itu dan dia tahu bahwa biarpun tosu itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan
kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.
Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata.
“Suhu Ci Hong Tosu memiliki pengetahuan yang luas disamping itu
kepandaian tinggi, dan terutama sekali disamping itu semua, beliau
adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa
sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk
mengusir penjajah?”
“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah
dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar suara dari
rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah
penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”
“Dalam hal
perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga
toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai.
Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri
semaunya.
Sementara itu, sejak tadi Ceng Liong tidak
memperhatikan mereka yang ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia
mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan
calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana-
sini, mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa gelisah mengapa
gadis itu belum juga muncul. Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan
Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka diapun menyusup ke
sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya lalu bergerak pula
menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka
lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri
berdampingan dan sama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin
pertemuan itu.
“Suhumu memang gagah perkasa.” Ceng Liong memuji lirih.
“Ya, dan kalau menurut aku, tidak ada yang lebih baik daripada suhu
untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga
kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng
lirih.
“Kalau begitu, kenapa tidak kauusulkan agar dia dicalonkan pula?”
“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu
tidak?” Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu
sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi walaupun
tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada, dan dengan
pengerahan khi-kang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi
semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon
bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua
sudah mengenalnya!”
Usul ini disambut sorakan setuju dari
sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan
dan keberanian Bi Eng daripada kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu
sendiri.
Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan
mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid
saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu
saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang akan mengajukan calon?”
Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di
antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang
terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya
itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih
nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja
mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang memimpin para
pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah.
Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya
kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon
itu ada tujuh belas orang!
“Jumlah calon begini banyak,
bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim
Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang
diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam
pemilihan ini.
“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang
sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu,
untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang
paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah
maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”
Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang
sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua
orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan
dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai- goan, bahkan di
Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang
disegani. Karena dia tidak pernah jahat, walaupun agak sewenang-wenang
mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia
selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar! Pria ini bernama
Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat
puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya
ilmu-ilmu silat Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar.Sebelum yang
lain-lain mengemukakan pendapatnya dan sebelum Sim Hong Bu sempat
mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh
Thian- li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!
“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu.
Lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya
yang kuat. Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak
cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan
Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa
banyak cakap lagi.
“Heh, kau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.
“Dukk....!” Pertemuan dua buah lengan yang sama besar dan sama kuatnya
itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya
terkejut, tidak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar.
Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan
cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala
lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenagabesar,
maka melibat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok
mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerangpun terjadilah dengan
serunya.
Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama
kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali
lengan mereka saling bertemu dan keduanya selalu terdorong ke belakang.
Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba
berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu
adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa- pai.
“Plakk! Plakk!” kakek
berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua
orang yang sedang berkelahi itu dan demikian kuat tamparan tangannya
ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang
bertenaga besar itupun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu
saja keduanya terkejut bukan main.
“Kalian mundurlah!” kakek itu
membentak dengan mata mencorong kepada mereka. Dua orang kuat itu
terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja
merekapun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa- pai ini memang hebat sekali,
maka mereka menjadi ragu dan jerih, lalu mundur untuk membiarkan kakek
itu bicara.
Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, lalu
berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan
siapa menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara
kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi.
Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau- balau. Pertama
ingin kami mendengar apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk
menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon dan
yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”
“Siancai....! Itulah
yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh
Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking sehingga terdengar
jelas karena memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khi-kangnya.
Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang tadi
dicalonkan menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di
antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul
pertandingan adu kepandaian itu.
Ceng Liong sejak tadi merasa
tidak setuju dengan sikap para tokoh yang hendak melakukan pemilihan
bengcu melalui adu ilmu silat. Dan diapun melihat sesuatu yang menarik
hatinya, yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap
dengan Sim Hong Bu. Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk
pemuda itu. Dia lalu bertanya kepada Bi Eng siapa adanya pemuda yang
baru muncul itu. Bi Eng menoleh ketika ia memandang pemuda itu, wajahnya
menjadi merah sekali.
“Itulah putera suhu....” katanya lirih.
Jantung dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi
pemuda itukah tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah
sekali! Akan tetapi Bi Eng tidak mencintanya dan memilih dia!
Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi
menjadi dua golongan yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu
untuk menentukan siapa yang akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar
suara ketawa. Suara ketawa ini mengatasi semua suara berisik sehingga
semua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa
itu. Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa,
maka semua orang dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil
bertolak pinggang. Seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan
tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan
indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang
kesemuanya cantik- cantik. Mereka yang berada di situ, hanya ada
beberapa orang saja yang sudah mengenalnya. Kakek ini bukan lain adalah
Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang pendekar
besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat
orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan
nada mengejek. “Pertemuan macam apakah ini? Pertemuan antara
orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah pertemuan gerombolan tukang
pukul yang hendak pamer kepandaian silat? Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa
adanya kakek itu, akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara
para calon karena tadi ada orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.
“Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang tidak setuju boleh mundur!”
“Harap cu-wi pikirkan baik-baik!” Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi
Giam San-jin yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang
lawan.
“Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita
berkumpul di sini untuk bicara tentang perjuangan dan sebelum itu harus
diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi pemimpin dan menunjuk
orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya. Nah, calon-calon sudah
diambil dan kini tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!”
“Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang
berseru. Sebagai ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali
nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang
berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan,
maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk
melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan
memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu ini.
Sim
Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas minta agar semua orang tenang.
Kemudian dia berkata kepada Giam San-jin. “Maaf, sobat. Akan tetapi saya
kira tidaklah tepat kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini.
Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan
ada yang tewas.”
Giam San-jin tertawa. “Ha-ha, siapa yang tidak
tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua ini adalah orang-orang
yang sejak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan dan sudah
biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal itu tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada orang
yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu
menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat
diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan
siapa yang patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin
pertemuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak
berhak menentukan sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan
pibu. Bukankah demikian, cu-wi yang mulia?”
Ucapan ketua
Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena
baru anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh
jumlah yang hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak
tahu harus berkata apa lagi. Pada saat itu, Ceng Liong melompat ke depan
Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak lancang dan
terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.
“Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”
Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong dan sejenak dia memandang tajam,
kemudian dia mengangguk. “Silahkan, dan mudah-mudahan kekacauan ini
dapat diredakan,” katanya sambil mundur.
Giam San-jin
mengerutkan alisnya memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan
hendak bicara itu, akan tetapi Ceng Liong sama sekali tidak
memperhatikannya. Pemuda ini menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya
terdengar menggeledek. “Cu-wi sekalian, perkenankan saya bicara
sebentar dan harap cu-wi sudi mempertimbangkan dengan baik-baik.”
Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di
dalam suara pemuda ini terkandung getaran yang amat hebat, yang terasa
sampai ke jantung mereka, tanda bahwa kekuatan khi-kang pemuda yang
bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang memandan
kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan
oleh pemuda itu.
Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk
menghalangi terjadinya kekacauan dalam pertemuan ini, maka dengan sikap
tenang namun tegas diapun mulai bicara, suaranya tetap lantang karena
memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan
baik oleh mereka semua.
“Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak
cu-wi untuk merenungkan sejenak dan menjawab pertanyaan yang kita ajukan
kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh datang
berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini? Jawabannya tentu mudah
dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu
padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan. Dan sekarang,
dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang yang
hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan
bengcu, kita tidak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan
bahkan saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan
pibu memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang
juga tidak takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena
melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang
dipergunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!”
Ucapan pemuda
itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui
diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang
memelopori cara pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok,
menganggap pemuda ini menjadi penghalang yang menentangnya.
“Cara apapun yang kita adakan, adalah baik karena untuk suatu tujuan
yang baik. Tujuan kita memilih bengcu yang benar-benar patut kita
jadikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang
menganggap diri pendekar?” demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai
membantah, juga dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya sehingga
terdengar lantang.
“Maaf,” kata Ceng Liong, menjura kepada orang
tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata menentang pendapat itu,
melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan dengan penuh
kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi
perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan
bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan amat
berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apalagi yang tewas tentu menimbulkan
dendam dan hal ini akan memecah-belah persatuan antara kita. Pula,
harus diingat bahwa seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak
cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih
membutuhkan ilmu perang, walaupun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran
ilmu silat bagi para pejuang yang bertempur. Yang penting adalah
caranya untuk bersatu, karena caralah yang menentukan sesuatu, yang
menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan.”
Semua orang
yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama yang tadi menyetujui
diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu,
akan tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, merekapun
ingin sekali kalau pibu diadakan agar mereka dapat menikmati
pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu. Sementara
itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh
pemuda remaja yang tidak dikenal itu. Maka diapun melangkah maju
menghampiri Ceng Liong dan menegur keras.
“Orang muda, siapakah
engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimanapun juga, kami tetap
mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah
begitu, engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari
sini. Dalam urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasihat-nasihat
seorang bocah hijau seperti engkau!”Tentu saja ucapan ini merupakan
penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap bersikap
tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ
terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia
sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan
bertindak tegas kalau dia menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai
berobah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan
memecah-belah kekuatan di antara mereka saja.
“Locianpwe,”
katanya dengan sikap hormat. “Bagimanapun juga, saya akan menentang pibu
yang diadakan untuk pemilihan bengcu.” Ucapannya itu hormat, akan
tetapi tenang dan tegas sekali. Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu
mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya pemuda itu, pikir mereka.
Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang seperti itu kepada Giam
San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Bahkan
Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itupun tadi gentar dan mundur berhadapan
dengan kakek berpakaian pertapa ini.
Tentu saja Giam San-jin
menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti
mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan
tetapi berani menentangnya! “Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti
bahwa engkau hendak menentangku, ataukah engkau hendak memasuki pula
pertandingan pibu ini melawan aku?”
Ceng Liong menggeleng
kepala. “Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud ikut
pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti
saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya
tentang adalah cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di
antara kita itulah.”
“Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku
akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang aku! Kalau aku
melanjntkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani menentangku?”
“Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapapun juga akan saya tentang
kalau memaksakan diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.
“Keparat! Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan dulu siapa namamu?”
“Nama saya Suma Ceng Liong.”
“Suma? Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga
Suma Han Pendekar Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu
terkejut.
“Saya adalah cucunya,” jawab Ceng Liong singkat,
terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi keadaan keluarganya. Pengakuan
Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah
yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es?
Kini pandang mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan
semua orang ingin menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari
Pendekar Super Sakti.
“Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara
ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-pai yang tinggi
kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya? Bagus, siapa
tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es adalah
keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa
tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat
nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri
Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya
berada di sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”
Tentu saja semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka
Ceng Liong menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan
perkumpulannya, Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka
kepada keluarga kakeknya, karena memang banyak di antara pimpinan
Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga kakeknya
itu.
“Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh
Pek-lian-pai tadi. Dia sudah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh
seorang muridnya, sebuah tongkat baja yang kecil panjang dan kedua
ujungnya meruncing. Dia memutar tongkatnya dan berteriak, “Mata-mata
Mancu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus
menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari
kita main-main sebentar!”
Ceng Liong tersenyum pahit. Tak
disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar dan patriot itu
dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit
ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti
ini mencampuri perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang
tadinya bertujuan mulia untuk membebaskan negara dari tangan penjajah
asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi
mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun gerombolannya.
Maka, diapun harus memberantasnya!
“Giam San-jin, akupun sudah
banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai, hanya namanya
saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak
hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau
memaksa perkelahian, baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata.
Majulah, bakan pribadimu yang kulawan, melainkan sikap perpecahan yang
buruk itu yang kutentang!”
“Bocah sombong! Engkau yang mencari
mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang menjadi semakin marah karena dia
merasa dipandang rendah oleh pemuda itu. Seorang pemuda remaja berani
menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia
telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu
tongkatnya yang jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju,
tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar
yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan
suara berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat
dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara
bertubi-tubi! Serangan itu hebat sekali karena makin dielakkan, makin
meningkat bahaya serangannya, makin gencar dan makin kuat!
Akan
tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong.
Biarpun masih muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu
Pulau Es dan di samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang
hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan
tongkat yang bergerak dengan amat cepatnya itu dia bersikap tenang saja.
Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia
tidak dapat mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan
jari-jari tangan itu menyentil ke arah ujung tongkat yang menotok.
Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara
berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis oleh
benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam
San-jin, tidak satu kalipun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya
dia sengaja mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama
kalinya. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau
Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan
tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan
dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu
serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang
gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan penjuru,
menutup semua kemungkinan jalan keluar. Namun, lawannya dapat
menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia
pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah
hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es,
terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun
(Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa.
Apalagi Ceng Liong, bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu.
Dengan demikian serangannya yang didasari perhitungan pat-kwa tadi
baginya seperti permainan kanak-kanak saja.
Dalam kemarahan dan
penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain yang
kesemuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong
sengaja menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja,
bahkan ketika menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia
masih merasa segan untuk mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan.
Bukan maksudnya untuk membikin malu orang dalam pertemuan itu.
Bagaimanapun juga, dia hendak mencegah adanya perasaan dendam agar
pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap
mengalah Ceng Liong ini disalahartikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek
ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat
kepandaian tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan
lawan bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi lihai bukan
main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang
rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Geng Liong yang tidak
pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun
menyerang semakin ganas lagi karena dia berpendapat bahwa lawan yang
sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua
puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak
mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu
diri. Biarpun dia masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia
mengambil keputusan untuk merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan
bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh
jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian gerakan lawan
yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin
menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke arah pinggang
Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak
sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan
menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya
dari kakek pertapa itu.
“Hyaaaat....!” Ceng Liong mengeluarkan
suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang mata
lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor
burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya
dan pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua
pundak lawan. Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut
bukan main, akan tetapi diapun bukan seorang lemah. Kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi dan biarpun serangan Ceng Liong yang datangnya
tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun dalam
keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan
rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong! Rambut itu
bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di
tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu
simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah
ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan
sin-kangnya, rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti
ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi Ceng
Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka
menghadapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang
saja. Tangan kiri yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk
menangkis serangan rambut itu sedangkan tangan kanannya masih meneruskan
totokan ke arah pundak kiri lawan. Giam San-jin miringkan tubuhnya
untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari totokan yang
akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih
menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
“Plakk....!” Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah sekali.
“Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!” Ceng Liong berkata
sambil menjura dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq
tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak
kemarahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan dalam keadaan seperti
itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih unggul
dan tangguh. Dia berseru. “Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi
dengan tongkatnya. Dengan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa
penasaran mulai menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu
diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci
Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu, bersama kedua orang tosu
pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga itu
hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk
bersila dan bersedakap, memejamkan mata. Pada saat itu Ceng Liong
merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah
dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan
ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu
Pendekar Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai
ibu seorang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus
dia lakukan. Cepat dia mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat
itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh
Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah membantunya dengan ilmu
sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi
betapa kaget hatinya ketika pemuda itu menyahut hantaman tongkatnya
dengan kedua tangan yang mencengkeram!
“Braaakkkk....!” Begitu
tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa
tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting
keras sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal
pukulan pemuda itu dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah
mempergunakan pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)
yaug dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.Pada saat itu, terdengarlah suara
halus. “Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat
merangkak dan menggonggong!” Suara yang penuh wibawa ini keluar dari
mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang
pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti untuk
menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendakmemasukkan dan memaksa
keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus merangkak dan
menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini.
Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua
orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini
merasa betapa ada tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati perintah
tadi. Akan tetapi, dia tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan
tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan
untuk merangkak melainkan untuk bersila dan diapun menyilangkan kedua
lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi
dirinya dari serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu. Terjadilah
pertandingan ilmu sihir yang tidak dapat terlihat orang lain. Akan
tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran
aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang
berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba
terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti
anjing-anjing menggonggong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di
situ dan suara gonggongan itupun aneh, bukan seperti suara
anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan muka pucat ketika
mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila,
kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti
tiga ekor anjing yang kebingungan! Tentu saja peristiwa luar biasa ini
membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka teringat betapa
tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan
menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang
dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi
peristiwa senjata makan tuan!
Ceng Liong sendiripun terkejut dan
merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang
tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak memaksanya
mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga
yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian
ampuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia
melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang
tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak
menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di
tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan Teng Siang In, isterinya yang
ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus puteranya
untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi
tak lama setelah putera mereka berangkat.
“Bagaimanapun juga,
kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak
memberontak walaupun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian
Bu berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan
seksama akan bersihnya cita-cita itu. Pula, aku harus ingat kepada
keluarga Pulau Es dan minta pendapat mereka lebih dulu.”
Isterinya setuju. “Memang, akupun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya
kalau kita berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu
Suma Kian Lee, enci Milana dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai
kedudukan penting sebagai panglima di kota raja.”
Demikianlah,
suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula
mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma
Kian Lee terkejut sekali.
“Bu-te, masalah ini gawat sekali!”
kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiripun dapat mengerti tentang jiwa
patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu. Akan
tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono.
Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun
juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa
enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan bahkan enci
Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama
suaminya. Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan
Cin Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jenderal dan
panglima perang di kota raja, akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama
isteri mereka, berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja
mereka berjumpa dengan Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama
isterinya, bahkan Puteri Milana bersama suaminya, pendekar Gak Bun Beng
yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, berada pula di kota raja
dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah
gedung Jenderal Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang pertemuan
para pendekar di Hutan Cemara untuk merencanakan pemberontakan
menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja berita ini amat
mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali amat
mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk. “Saya juga dapat mengerti akan
jiwa patriot itu bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa
penasaran dalam hati saya melihat adanya penjajahan. Akan tetapi, dengan
jalan mengabdi pemerintah dan melakukan tugas dengan adil dan baik
berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak
menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana
menghadapi berita ini.”
“Biarlah kami pergi ke sana melakukan
penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu. “Setelah melihat
bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang
harus kita ambil.”
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih akan tetapi masih nampak segar dan gagah itu lalu bicara,
suaranya halus akan tetapi tegas. “Kita anggauta keluarga Pulau Es harus
melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu.
Akan tetapi dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai
oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan
kegagahan, dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang
remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan
perang, hal ini bukan hanya menjadi urusan kita atau para pendekar,
melainkan seluruh rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan
terjatuh banyak korban. Hal ini bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui
cita-cita membebaskan tanah air daripada penjajahan, hanya caranya
harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan rakyat
jelata.”
Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing selama hampir samalam suntuk,
pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri
mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan penyelidikan
dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri
bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air
dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan
menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua pasang
suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan
dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para
tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat
Ceng Liong maju menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh
orang-orang Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In
menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan keahlian sihirnya untuk
membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang tosu
Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari
menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi sebelum sempat bicara, tiba-tiba
mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu dikejutkan oleh
suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua
orang memandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati
mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak
sekali pasukan tentara penyerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung,
mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu
begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para pendekar
bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar
mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka
terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang
sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing tadi.
“Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung kita!”
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada
Ceng Liong, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar
tergugah oleh teriakan Ci Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang
keluarga Pulau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apakah yang
telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para
pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita
ketahui, hal itu sama sekali tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu
datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk menyelidiki,
bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Akan tetapi, bagaimana
tiba-tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung
tempat itu? Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak!
Biarpun dia merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi
diapun berjiwa pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan
pengkhianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa
pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja, yang
menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di
bagian depan, laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah
menemukan dan merampas surat dari para pimpinan pendekar dan patriot
yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di kota raja yang
juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.
Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng,
murid Kun-lun-pai yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid
Kong-thong-pai yang juga menjadi anggauta para pendekar yang mempunyai
prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas
surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan kemudian dia
membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian
menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada
pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng! Setelah
berhasil mengelabuhi para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong
Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu dan pergilah
manusia berhati kejam ini ke kota raja.
Dengan sikapnya yang
sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan kepada
kaisar dan dia melaporkan tentang pemberontakan itu, menyerahkan
suratnya kepada kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan
marah bukan main. Dia selalu bersikap baik dan bersahabat kepada para
pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa kini para
pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak kepadanya!
Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi
menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam
penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja
ketika mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke
dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisai lalu
memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek
Ciang mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat
dari para pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu. “Sekarang
juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua
pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan
memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.
“Harap paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba
rasa menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak
tidaklah tepat, sri baginda!” Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua
pembesar yang berada di situ terkejut. Orang ini sudah bosan hidup,
pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar. Akan tetapi
Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang,
tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
“Louw Tek Ciang, apa
maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong adalah seorang
panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah
yang akan mampu menandingi para pendekar!”
“Ampun, sri baginda.
Hamba berani mengemukakan pendapat hamba atas dasar perhitungan yang
matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari
para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di
sana. Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari
seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang memimpin pasukan, hamba
berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil,
mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam
bersekongkol dengan para pemberontak, atau setidaknya merasa simpati
kepada mereka. Maka, akan lebih tepatlah kalau paduka memerintahkan
seorang panglima lain yang memimpin pasukan untuk menyergap di Hutan
Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun sanggup
untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”
Kaisar Kian Liong
mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan
jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal
muda itu mohon agar diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan
jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan
para pendekar itu!“Baiklah, kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk
menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima
ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. Akan
tetapi sebelumnya, kaucoba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat
untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak.”
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat
puluh lima tahun. Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu
silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada
seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah
menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah
memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw Tek Ciang yang masih
berlutut.
“Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda.”
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat
dengan tangan agar dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka
berdua kini sudah berdiri saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan
para hulubalang.
“Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!” Jenderal
Cao Hui menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan sambil
mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka diapun
hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang
adanya pemberontakan dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
“Ciangkun, maafkan saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua
tangan ke depan menyambut serangan panglima itu. Gerakannya ini cepat
bukan main dan ternyata kedua telapak tangannya dengan tepat menerima
kedua tangan Cao-goanswe.
“Plakk!” Tubuh jenderal yang tinggi
besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan tubuh Tek Ciang
sebaliknya sedikitpun tidak terguncang. Tentu saja jenderal itu menjadi
terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan
main. Mereka mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga
raksasa, akan tetapi kini beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan
terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak tergoyah sedikitpun! Baru
segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu memang
sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal inipun diketahui oleh
Cao-goanswe, maka diapun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.
“Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini
boleh diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”
Kaisar Kian Liong juga bukan seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di
waktu mudanya kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau
dan berkenalan dengan orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali
melihat pertandingan tadi, walaupun hanya segebrakan, namun dia sudah
tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih
besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi
girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek
Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada
waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.
Berita
tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan
ditangkapnya Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal
Kao Cin Liong. Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar
bahwa pasukan itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat
memberitahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibunya yang masih
berada di rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Mendengar ini, keluarga inipun terkejut sekali. Para pendekar itu harus
diselamatkan, apalagi diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu
bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu.
Maka, berangkatlah mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar
dapat tiba di hutan itu lebih dulu daripada para perajurit pemerintah.
Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu
sudah dikepung pasukan yang besar, sebagian menjadi panik juga. Akan
tetapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru. “Harap saudara
sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi
kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan
nyawa!”
Ucapan ini disambut dengan gembira dan bangkitlah
semangat para pendekar itu. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing
dan siap menghadapi serbuan pasukan besar yang sudah mengepung hutan
itu.
“Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan
mereka dan membuka jalan darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim
Hong Bu berseru dan ternyata dalam keadaan terancam bahaya itu pendekar
ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan dan kepandaiannya untuk
memimpin.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Tahan
dulu....!” dan muncullah Kao Cin Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri
Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing mengangkat tangan memberi
isyarat kepada mereka semua agar tenang. “Saudara-saudara, dengarlah
dulu sebelum turun tangan!”
Yang bicara ini adalah Puteri
Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun dan gagah,
suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan
memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma
Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.
“Siapakah mereka itu....?” Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih
berdiri di dekatnya. Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua
keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun juga kini sudah
menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah keluarga para
pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan kekasihnya,
Ceng Liong menjawab lirih.
“Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es....”
“Ahhh....? Yang mana ayahmu dan ibumu....?” gadis itu bertanya penuh kagum karena rambongan itu memang nampak gagah perkasa.
“Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman Suma Kian Lee dan isterinya.”
“Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?”
“Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui,
isterinya. Dan kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir
Kao Kok Cu bersama isterinya pula....”
“Ahh....!” Bi Eng tiada
hentinya mengeluarkan seruan kaget dankagum. Ia sudah pernah mendengar
nama-nama itu disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia
dapat melihat mereka semua.
Munculnya keluarga para pendekar
Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama sekali mereka yang
sudah mengenal beberapa di antara anggauta keluarga itu. Pimpinan
Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan,
mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka. Ci Hong
Tosu bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru. “Mereka adalah
keluarga Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Merekalah yang
membawa pasukan pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri
Mancu yang dahulu sudah banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang
untuk mengusir penjajah?” Teriakan tosu ini tentu saja membangkitkan
amarah di dalam hati para pendekar, akan tetapi karena yang bicara
adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah memperlihatkan perangai buruk,
sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.
“Saudara
sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil
keputusan apa yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi
dengan lantang. “Rencana kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan
bodoh yang tidak tepat pada waktunya. Apa yang akan kalian capai dengan
pemberontakan? Hanya perang besar yang akan membuat rakyat jelata
menderita. Puluhan ribu orang tewas, rakyat kehilangan keluarga, harta
benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum terlambat, kami datang
untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian agar menyerah dan jangan
melawan!”
“Kami adalah patriot-patriot yang tidak takut mati.
Kami berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan Bangsa
Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja membela pemerintahan
bangsamu!”
“Aku bukan puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”
“Tetapi ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.
“Cu-wi, dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring.
“Lihatlah aku. Aku adalah Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi aku datang
bukan sebagai pemimpin pasukan untuk menyerbu kalian, melainkan aku
datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang panglima aku tahu benar
akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda Kaisar Kian
Liong, harus diakui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf hidup
rakyat tidak sengsara. Pula pemerintah ini selalu menentang golongan
jahat dan melindungi rakyat.”
“Engkau penjilat orang Mancu! Huh, tak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.
Akan tetapi Cin Liong masih bersikap tenang. “Cu-wi adalah orang-orang
yang gagah perkasa, bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan
setiap tindakan. Kita harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa
ruginya kalau kita bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan
pemberontakan, ruginya sudah jelas. Rakyat akan menderita karena perang,
karena perang mengakibatkan kematian dan kehilangan, juga menimbulkan
merajalelanya kejahatan karena kurang adanya penjagaan keamanan. Juga,
keadaan pemerintah sekarang amatlah kuatnya, setiap pemberontakan sama
artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian sekarang sudah dikepung oleh
sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati semua. Dan apakah
keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat? Cita-cita boleh
muluk, akan tetapi andaikata dapat menang, hal yang sungguh tidak
mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum
siap. Andaikata menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang
pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”
“Aha, enak saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lalu
tindakan kami seperti apakah yang akan kauanggap gagah? Apakah kami
harus berlutut menyerahkan diri dan minta ampun kepada orang Mancu?
Ha-ha, itukah yang akan kauanggap sebagai perbuatan gagah?”
Kao
Cin Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain
adalah Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini,
suatu perasaan tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki
keluarga itu antara dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap
(baca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman ).
Dengan sikap ramah
Cin Liong memberi hormat kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. “Harap
Bu-locianpwe suka melihat kenyataan dan tidak mendahulukan prasangka.
Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang bukan untuk menentang cu-wi,
juga bukan untuk membantu pemberontakan, melainkan untuk mengingatkan
akan bahayanya rencana cu-wi ini.”
“Nanti dulu, orang muda!”
Tiba-tiha terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini sudah
melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan
keluarga Pulau Es. “Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para
Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke
arah Suma Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi
bahaya dan kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan
bukan patriot sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban.
Setiap pembaharuan harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa
yang tidak tahu akan hal ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam
setiap perjuangan merupakan pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”
Kini Suma Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan
menjura kepada Sim Hong Bu. “Saudara Sim memang seorang gagah perkasa
dan tidak ada seorangpun meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu.
Saudara Sim, seperti pernah kita bicara, aku sendiripun mengerti tentang
jiwa patriot yang berkobar di hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau
negara dibebaskan dari penjajahan. Akan tetapi, kini akupun melihat
bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan yang masak, tidak
secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan dan ingat,
perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan beberapa
gelintir pendekar saja. Dan untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan
seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah
saudara lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan
perkumpulan yang lain yang selalu memberontak karena kepentingan pribadi
itu dapat dijadikan teman seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian
Bu mewakili seluruh keluarga para pendekar Pulau Es untuk minta
pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja tanpa perlawanan.”
“Bukan berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana
menghindarkan jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian
Lee.
“Saya sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata Jenderal Kao Cin Liong.
“Akupun akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda
membebaskan cu-wi semua dan menghabiskan urusan ini karena bagaimanapun
juga, cu-wi belum memberontak, baru mengadakan pertemuan dan kalau cu-wi
tidak melawan pasukan yang mengepung, maka dosa cu-wi tidaklah begitu
besar.”
“Omong kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru keras
sekali. “Heh, para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku
sudah banyak mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es,
juga aku sudah lama mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir, akan tetapi tidak kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah
penjilat-penjilat kaisar atau pengecut-pengecut lemah. Kalau memang
kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa Mancu, majulah, kami tidak
takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan karena kami mati
untuk membela bangsa dan tanah air!”
Ucapan Bu-taihiap ini
kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak
menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang
tidak terbawa emosi dandapat mempergunakan akal budinya untuk melihat
kebenaran dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka
ini menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga
pendekar Pulau Es di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang
dibakar emosi berdiri di belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama
empat orang isterinya.
“Kita lawan sampai mati....!” Bu Seng
Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh seratus orang lebih
mereka yang mendukungnya.
Sim Hong Bu yang sudah terbakar pula
semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan, di samping
Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan
ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan diapun berteriak. “Kita adalah
patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita
berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban
nyawa!” Sikap Sim Hong Bu ini menambah semangat mereka dan kembali para
pendekar menyambut dengan sorak-sorai. Melihat ini Sim Houw putera Sim
Hong Bu juga melompat ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh
semangat.
“Eng-moi....!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras
melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula ke depan, ke dekat guru dan
tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar matanya penuh
semangat dan iapun sudah melolos suling emasnya.
Pada saat itu
terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu
mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai!
Tadi, Kao Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe
menangguhkan dulu penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan
para pendekar. Cao-goanswe amat segan kepada rekannya ini maka dia
memberi waktu habis terbakarnya sebatang hio. Dan agaknya waktu yang
ditangguhkan itu sudah lewat dan kini terpaksa Gao-goanswe mulai
menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!
Melihat ini, Puteri Milana berseru. “Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di belakang kami!”
Mereka yang tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar
Pulau Es, segera berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana
segera minta kepada keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk
memberi perlindungnn. Adapun para pendekar lainnya yang mendukung Sim
Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah mencabut senjata masing-masing dan
berpencaran untuk menyambut serbuan para perajurit pemerintah.
“Liong-ji....!” Teng Siang In berseru keras ketika melihat puteranya
meloncat dan menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan
pasukan!“Ibu, aku harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng
Liong dan ibu ini diam-diam merasa khawatir sekali. Ia tadi melihat
betapa puteranya berdiri di dekat seorang gadis gagah yang juga ikut
maju bersama para pendekar melawan pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa
tentu puteranya itu telah jatuh hati kepada gadis pemberontak itu.
Diam-diam ia merasa gelisah sekali, akan tetapi karena iapun bertugas
melindungi para pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak
dapat meninggalkan tempat itu. Pula, apa yang dapat dilakukannya kalau
memang puteranya itu jatuh cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini
puteranya hendak melindunginya? Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi
karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi dengan amat serunya.
Ketika ada pasukan yang menghampiri rambongan mereka yang mengelilingi
para pendekar yang tidak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong bergantian
berseru. “Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”
Para
perajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian
besar perajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka
pasukan tidak ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak
melawan ini. Akan tetapi, pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat
dari para pendekar yang dipimpin oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu!
Biarpun jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi
orang-orang yang selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat
tinggi dan para pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan
mati-matian. Mereka telah terbakar semangatnya oleh sikap dan kata-kata
Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka itu tidak ingat apa-apa lagi
kecuali melawan dan melawan!
Hutan Cemara yang biasanya sunyi
dan bersih itu, kini berobah menjadi tempat yang gaduh dan kotor oleh
darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para pendekar itu
mengamuk dan para perajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama sekali
amukan Bu-taihiap dan empat orang isterinya. Segera mayat para perajurit
berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka. Tak kalah hebatnya
adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong
Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berobah menjadi seekor
naga, seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri
tanah ketika pendekar ini mengamuk dengan pedangnya. Sim Houw yang baru
saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam
Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya dan
biarpun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh
Pek-kong Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat
lagi. Hanya saja, agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk
membunuh banyak orang, maka gerakannya tidak begitu ganas dan biarpun
setiap orang lawan yang menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya
tidak menjatuhkan korban sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di
tangan ayahnya. Pedang Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih)
memang tidak sedahsyat Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali
oleh Cu Han Bu, akan tetapi pedang inipun bukan pedang biasa. Sim Hong
Bu memperoleh pedang ini dari seorang tosu pertapa yang merasa kagum
akan semangat perjuangannya.
Sementara itu, Bi Eng juga mengamuk
dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang
dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong! “Eng-moi,
jangan....!” kata pemuda itu dan Bi Eng terpaksa menghentikan gerakan
suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang dicintanya itu menghadang
di depannya.
“Liong-ko, minggirlah. Biarkan aku membantu para
pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar dan matanya basah. Gadis ini
memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali. Tak disangkanya bahwa
terjadi perpecahan antara para pendekar, terutama sekali antara gurunya
dan keluarga Ceng Liong!
“Eng-moi, jangan.... demi aku.... demi
cinta kita, jangan lanjutkan....!” Ceng Liong berkeras menahannya.
Suling emas itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng dan ia
menghadapi kekasihnya dengan muka pucat.
“Koko, kenapa engkau
menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan
minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut
mati....!”
“Eng-moi, ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik.
Kalau keluarga Pulau Es memang menentang kalian, tentu kami sudah
bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian akan mampu berbuat banyak
kalau begitu? Lihat, kami diam saja. Kami tidak membantu kalian, akan
tetapi kamipun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah. Mari engkau
ikut denganku, pergi, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan
semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini.
Lihat, tidak mengerikankah semua ini....?” Ceng Liong membuka kedua
tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat
mayat-mayat berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.
Akan tetapi, Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.
“Koko, aku harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan
terhadap para pendekar. Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa,
mari berjuang bersamaku, koko!”
“Tidak, Eng-moi, ingatlah,
engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah sadar bahwa
semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak
diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita pergi saja
dari sini, Eng-moi....”
“Tidak, koko, aku harus membunuh
anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu menggerakkan
sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.
“Aih, Eng-moi,
kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi kalau
memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kaubunuhlah aku lebih
dahulu daripada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan
aku menjadi menyesal dan berduka.” Suma Ceng Liong melangkah maju
mendekati gadis itu. Wajah Bi Eng menjadi pucat sekali dan suling yang
sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya terbelalak memandang wajah
Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan akhirnya gadis yang gagah
perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan gelisah, lalu
menangis!
“Kam-siocia (nona Kam), apakah orang ini
mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar berkilat menyambar ke
arah leher Ceng Liong. Pemuda ini terkejut, tahu bahwa yang
menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka diapun melempar tubuh
ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat menyambar.
Penyerangnya itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi
calon suami atau tunangan Bi Eng! Dan pemuda itu memang hebat sekali.
Begitu serangannya luput, pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi
seperti kilat menyambar-nyambar, pedangnya lenyap membentuk sinar
bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu pedang gabungan dari
Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari
pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia menggabung
kedua ilmu itu, akan tetapi biarpun belum sempurna, keampuhannya sudah
hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti
suling ditiup!
Tentu saja Ceng Liong merasa terkejut sekali dan
cepat diapun menggerakkan tubuhnya mencelat ke sana-sini untuk
menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar dari sinar
pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan tetapi
tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya
ilmu pedangnya.
Juga terjadi semacam keraguan dan kebingungan di
dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal pemuda ini sebagai calon
suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak hati sekali.
Bagaimanapun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini, maka ada
semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan untuk
melawan. Maka, biarpun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong
hanya berloncatan ke sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa
ragu-ragu untuk membalas. Padahal, kalau hanya bertahan saja tanpa balas
menyerang terhadap seorang lawan seperti Sim Houw, sungguh amat
berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga mengamuk dan
sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar Ceng
Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan
bergulingan di atas tanah.
“Brettt....!” Biarpun kulit tubuhnya
belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang. Barulah
Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang
akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja
membuktikan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.
“Tringgg....!” Tiba-tiba nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim
Houw yang masih terus mengejar Ceng Liong itu tertangkis sebatang
suling emas.
“Nona Kam.... kau.... kenapa....?” Sim Houw
terkejut sekali dan terbelalak memandang wajah Bi Eng. Biarpun gadis ini
dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada
hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya
gadis itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah
bergaul dan Sim Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah
bergaul dengan wanita. Oleh karena itu dia merasa sungkan dan malu dan
menyebut gadis itu dengan sebutan “nona”. Tentu saja pemuda ini merasa
kaget dan heran sekali melihat betapa tunangannya itu menangkis
pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang membuat tunangannya tadi
nampak bingung dan menangis!
“Sim-koko, jangan serang dia!” kata
Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata. Pada saat itu empat
orang perajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw
dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat
orang perajurit itu tanpa dapat bangun maupun bergerak lagi.
“Eng-moi, mari kita pergi....!” kata Ceng Liong. Bi Eng nampak ragu-ragu
dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya pergi dari
situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.
Pada
saat itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan
tubuhnya dan terkejut bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan
orang perwira dan perajurit pemerintah. Di antara para perwira yang
rata-rata lihai itu terdapat seorang laki-laki yang gerakannya aneh dan
lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang, dan membuatnya terkejut
karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip dengan Koai-liong
Kiam-sut! Ayahnya bukan hanya terdesak, akan tetapi agaknya sudah
terluka parah. Tubuhnya mandi darah dan biarpun pedang Pek-kong Po-kiam
masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa orang, namun luka-luka di
tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan membuat ayahnya
terhuyung-huyung. Kiranya, betapapun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi
pengeroyokan puluhan orang yang tak pernah berkurang jumlahnya karena
setiap kali ada yang roboh, ada pula penggantinya yang maju, akhirnya
kakek ini kehabisan tenaga dan berkurang kecepatannya sehingga dia
terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata lawan. Apalagi
ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang mengeroyok
pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.
“Ayah....!”
Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung
ketat itu dan diapun mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara
melengking-lengking dan banyak perajurit dan perwira roboh oleh sinar
pedangnya. Akibat kehebatan pemuda ini, Tek Ciang sendiri menjadi
terheran-heran dan kagum bukan main. Tadipun dia sudah mengenal
Kai-liong Kiam-sut. Sebagai murid keluarga Cu, tentu saja dia sudah
mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap murid bahkan mantu durhaka
dari keluarga Cu itu. Maka ketika dia mengeroyok pendekar itu, dia
mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut yang mempunyai dasar-dasar gerakan
mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu, dan
melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang untuk
membunuhnya. Guru-gurunya sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang
itu dan kini dia mendapatkan kenyataan betapa lihainya pendekar itu.
Akan tetapi setelah dia dan kawan-kawannya hampir berhasil merobohkan
Sim Hong Bu, tiba-tiba muncul pemuda yang amat lihai itu.
“Ayah....!” Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok ayahnya kocar-kacir.
“Houw-ji.... aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah
dirimu.... engkau tidak boleh mati.... engkau harus melanjutkan
perjuanganku kelak.... menyusun tenaga baru....” Sim Hong Bu
terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah, pedangnya melintang di
depan dada.
“Tidak, ayah.... aku harus melindungimu....”
Pada saat itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali
merampas pedang pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai
dan mengepung lalu menerjang ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan
terjadilah perkelahian seru antara Sim Houw dan Tek Ciang. Sim Houw
terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini amat tangguh,
bukan hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu pula
membalasnya dengan amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat
melihat semakin nyata bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang
ini mirip dengan Koai-liong Kiam-sut! Maka diapun memutar pedangnya dan
begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam-sut dan Sin-siauw Kiam-sut,
Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat! Suara
melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkannya
akan suara tiupansuling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.
Sementara itu, keadaan Sim Hong Bu semakin payah. Karena terlalu banyak
mengeluarkan darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berkurang
tenaganya dan menghadapi pengeroyokan para perwira, biarpun dia masih
berbahaya dandapat merobohkan lawan yang terlalu dekat dengannya, namun
dia menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan tubuhnya semakin
terhuyun-huyung.
Melihat keadaan ayahnya ini Sim Houw memutar
pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan melindungi ayahnya. Pedangnya
membentuk gulungan sinar yang panjang dan luas, membuat para pengeroyok
Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Tek Ciang bersama
kawan-kawannya datang menyerbu. Sim Houw merangkul ayahnya dan ayah ini
berkata. “Houw-ji, pergunakan pedang ini, pergunakan Pek-kong
Po-kiam....”
Sim Houw bertukar pedang dengan ayahnya dan begitu
dia memutar Pek-kong Po-kiam, akibatnya hebat empat orang perwira
terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa melompat mundur sampai jauh.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk memondong ayahnya yang
sudah lemah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.
“Pemberontak, hendak lari ke mana kau?” Tek Ciang yang menginginkan
pedang pusaka itu melakukan pengejaran. Akan tetapi Sim Houw bersama
ayahnya sudah menghilang di antara banyak perajurit yang masih bertempur
dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa dan marah, lalu membantu para
perajurit yang masih mengepung para pendekar.
Keluarga
Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini
lihai bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat
orang isterinya adalah wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang
dahulu terkenal dengan julukan Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa),
bekas isteri tokoh keluarga Cu yang lihai, kini biarpun sudah berusia
enam puluh tahun, masih ganas dan lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas
nikouw itupun mengamuk di samping suaminya. Puteri Nandini, puteri Nepal
yang menjadi seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap juga mengamuk
dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima Nepal dan memang sejak
dahulu ia bermusuhan dengan pemerintah, maka kini ia memperoleh
kesempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak sekali
perajurit yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang
bongkok bernama Gan Cui yang juga lihai sekali. Nenek inipun mengamuk
dan keluarga Bu yang terdiri dari lima orang ini telah merobohkan
puluhan orang perajurit pemerintah.
Selain keluarga Bu ini, juga
para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga para pendekar
Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah orang-orang
Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dahulu memang
merupakan musuh-musuh lama pemerintah. Perang kecil itu terjadi di Hutan
Cemara dan biarpun ratusan orang perajurit pemerintah roboh dan tewas,
namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan karena
kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.
Mulailah sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena
melihat bahwa perlawanan mereka akan sia-sia saja, di antara mereka
itupun mulai menyelinap dan mencari kesempatan menyelamatkan diri dari
pembantaian para perajurit. Akan tetapi Bu-taihiap bersama empat orang
isterinya tidak mau mundur selangkahpun! Bu-taihiap yang sudah tua itu
agaknya tahu bahwa usianya tidak akan lama lagi dan dia memilih mati
sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa.Agaknya empat orang isterinya
itn amat setia kepadanya dan juga berpendirian sama maka merekapun
mengamuk di samping suami mereka itu, sedikitpun tidak ingin mundur.
Akan tetapi, seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga
Bu-taihiap ini ada batasnya. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh
tewas di tangan mereka, akan tetapi saking banyaknya jumlah lawan,
merekapun mulai kehabisan tenaga dan mulai terkena senjata lawan
sehingga luka-luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari empat isteri
Bu-taihiap itupun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnyapun roboh. Dia
dan isteri-isterinya telah mempertahankan diri sampai titik darah
terakhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang yang amat gagah perkasa.
Perihal mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan Cemara itu
akan selalu dikenang oleh para patriot di sepanjang masa. Mereka yang
akhirnya berhasil lolos dari Hutan Cemara itulah yang bercerita tentang
kegagahan keluarga Bu-taihiap dan pertempuran di Hutan Cemara itu
terkenal dengan nama Banjir Darah Di Hutan Cemara.
Di antara
seratus lebih orang yang melawan pasukan pemerintah, hanya ada belasan
orang saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur
di bawah hujan senjata. Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya
kurang dari seratus orang itu ditebus dengan nyawa hampir seribu orang
perajurit Mancu!
Louw Tek Ciang merasa gemas sekali melihat
betapa keluarga Pulau Es berhasil menyadarkan banyak pendekar yang
kemudian hanya digiring ke kota raja oleh Jenderal Cao seperti yang
diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana. Tek Ciang tidak berani
membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan muka di depan keluarga
Pulau Es, melainkan mendahului pasukan pulang ke kota raja.
Barulah ketika keluarga Pulau Es diperkenankan menghadap kaisar bersama
para pendekar yang urung memberontak, Tek Ciang menyelinap di antara
para panglima. Ketika Cin Liong dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang
berada di antara para panglima menghadap kaisar, mereka terkejut bukan
main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan para keluarga Pendekar
Pulau Es inipun diam-diam tahu siapakah yang menjadi pengkhianatnya
sehingga pertemuan antara pendekar itu sampai diketahui kaisar dan
disergap. Tentu iblis itulah yang menjadi biang keladinya. Akan tetapi
keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah terjadi dan bagaimana iblis
itu memperoleh kepercayaan kaisar. Hanya seorang di antara para pendekar
yang berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya.
Ketika berada di Hutan Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia
berkesempatan bertemu dengan wakil Kun-lun-pai dan dia mendengar bahwa
kekasihnya, Can Kui Eng, terbunuh oleh susioknya sendiri. Ketika dia
bertanya dengan hati hancur tentang surat titipannya yang ditujukan
kepada seorang panglima di kota raja, para wakil Kun-lun-pai tidak tahu.
Mereka hanya menceritakan bahwa juga sebuah kitab pelajaran lenyap dari
kamar perpustakaan Kun-lun-pai.
Ketika keluarga Pulau Es muncul
dan menyadarkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan lima orang sutenya
dari Kong-thong-pai juga ikut sadar dan menggabung dengan keluarga Pulau
Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi setengah lumpuh oleh
berita tentang kematian kekasihnya. Juga wakil-wakil Kun-lun-pai yang
dapat melihat keadaan, ikut dalam rombongan keluarga Pulau Es. Ketika
berada di dalam rombongan itu dan hanya menyaksikan terjadinya
pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang melihat Louw Tek Ciang di
antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu
adalah seorang tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui
Eng.
Karena itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar,
Kwee Cin Koan mengerutkan alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang
dengan bermacam perasaan. Orang itulah yang tahu tentang kematian
kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang akan dapat memberi
keterangan dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya tidak mau banyak
bicara tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiripun merasa sungkan
untuk mendesak.
Kaisar Kian Liong merasa sedih mendengar
pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara. Dia merasa penasaran
sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya, bahkan
tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah menolongnya ketika dia masih
pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, ikut pula
menjadi pemberontak dan tewas oleh pasukannya.
“Penasaran!
Penasaran!” Kaisar menepuk-nepuk pahanya dengan wajah murung. “Mengapa
mereka itu memberontak? Mengapa para pendekar yang dahulu selalu
melindungiku, kini malah memberontak dan memusuhi aku?”
“Maaf,
sri baginda,” tiba-tiba Puteri Milana berkata sudah memberi hormat.
“Sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka secara
pribadi.”
Kaisar memandang kepada nenek itu dengan alis
berkerut. “Bibi Milana, engkau yang termasuk pendekar, akan tetapi
pernah pula menjadi panglima kerajaan, jelaskanlah apa yang menyebabkan
mereka memberontak kalau mereka tidak membenci dan memusuhi aku?”
Wanita itu kembali memberi hormat. “Hamba tahu benar bahwa para
pendekar itu pada umumnya sayang kepada paduka, menjunjung tinggi
keadilan dan memuji dengan kagum kebijaksanaan paduka di dalam
pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para pendekar itu merasa tidak
senang melihat betapa tanah air mereka terjajah. Itulah sebabnya mengapa
mereka memberontak.”
Kaisar Kian Liong menjadi lemas dan
menundukkan muka sampai lama, berulang kali menarik napas panjang. Jauh
di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh para
pendekar itu. Dan apakah yang dapat dilakukannya? Penjajahan dari
bangsanya, Bangsa Mancu, terhadap selurah Tiongkok ini dilakukan oleh
nenek moyangnya dan dia hanya sebagai keturunan yang melanjutkan
pemerintahan saja. Namun dia sudah berusaha untuk mendirikan
pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak
mungkin dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari hati para
pendekar.
“Dan bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa
menghadap itu?” tanya kaisar kemudian, dengan sinar mata kesal memandang
kepada mereka yang menghadap, berlutut di situ dan menundukkan muka.
“Hamba dan Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah kepada paduka,” kata Puteri Milana.
Kaisar menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar
mengerutkan alisnya. Dia teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya
dia sendiri mencurigai Jenderal Kao ini dan keluarga Pulau Es, akan
tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga Pulau Es yang telah menyadarkan
sebagian para pendekar dan karena itu maka pertempuran tidaklah sehebat
kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan betapa hebatnya dan
betapa banyaknya perajurit yang akan tewas sekiranya keluarga Pendekar
Pulau Es ikut pula memberontak!
“Bagaimana, Kao-ciangkun? Apa keteranganmu tentang semua peristiwa ini?”
Cin Liong melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata
dengan suara lantang, sedikitpun tidak kelihatan takut. “Harap sri
baginda maafkan kalau hamba bicara secara terus terang saja. Sebetulnya,
para pendekar yang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu sama sekali
belum melakukan perbuatan memberontak. Para pendekar itu hanya ingin
mengadakan pertemuan dan memilih seorang bengcu di antara mereka.
Memang, harus diakui bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai jiwa
patriot dan merasa tidak suka akan penjajahan. Akan tetapi, ketika
mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum ada rencana
pemberontakan atau gerakan memberontak.”
Kaisar mengangguk-angguk. “Boleh jadi demikian, akan tetapi mereka telah bersekongkol dengan Jenderal Gan!”
“Hamba tidak tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa
para pendekar itu mengadakan pertemuan dan begitu hamba mendengar
tentang persekutuan dengan Jenderal Gan dan ditangkapnya panglima itu,
hamba bersama keluarga Pulau Es segera pergi ke Hutan Cemara untuk
menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian dari mereka tidak mau dibujuk
sehingga terjadi pertempuran itu. Akan tetapi, hamba telah berjanji
kepada mereka yang sadar untuk memintakan ampun kepada paduka dan hamba
percaya akan kebijaksanaan paduka untuk mengampuni saudara-saudara yang
sama sekali belum memperlihatkan perbuatan memberontak ini.”
“Hamba juga memohonkan ampun bagi mereka,” kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.
Kaisar Kian Liong menghela napas panjang. “Baiklah, kami mengampuni
mereka, akan tetapi mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan
mengadakan persekutuan untuk memberontak lagi, kami akan bertindak dan
tidak akan dapat mengampuni mereka lagi.” Para pendekar menghaturkan
terima kasih atas kebijaksanaan kaisar. Mereka lalu diperkenankan keluar
dari istana.
Peristiwa di Hutan Cemara itu tidak habis sampai
di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa betapa sejak itu sikap kaisar
berobah terhadap dirinya, dan karena dia sendiripun merasa betapa
batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan setia kawan kepada
para pendekar dan patriot, lalu tidak lama kemudian mengajukan
permintaan untuk mengundurkan diri. Permohonan yang kedua kalinya ini
tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu saja yang mendorong
Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain lagi, yaitu
ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh kaisar,
diangkat menjadi seorang pembesar militer yang bertugas di utara!
“Si keparat itu!” Isterinya, Suma Hui mengepal tinju dan wajahnya
nampak membayangkan kebencian. “Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau
sampai dia menjadi pembesar, maka usahaku membalas kepadanya tentu akan
mudah dicap pemberontak.” Demikian antara lain isterinya mengeluh dan
akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri mengajukan permohonan kepada
kaisar untuk meletakkan jabatannya. Setelah urusan itu selesai, dia
bersama isterinya mulai melakukan penyelidikan dan mencari kesempatan
untuk dapat menyergap Louw Tek Ciang dan membalas dendam sebelum oran
itu memegang jabatannya di utara.
Ayah....!” Sim Houw mengeluh dengan sedih.
Ayahnya terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya.
Kini dia meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri
berlutut di dekat ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di
mana terjadi pertempuran dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan
di balik bukit yang penuh hutan. “Ayah, bagaimana keadaanmu?”
Sim Hong Bu membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya
pucat sekali, sepasang mata itupun sudah kehilangan sinarnya. Dia
menggerakkan tangannya dan Sim Houw mendekatkan mukanya. Hatinya seperti
diremas melihat ayahnya yang sudah demikian payah keadaannya. Ayahnya
menggerakkan bibir dan dia mendengar bisikan-bisikan ayahnya.
“Houw-ji, kau.... kau melihat.... Bi Eng....?”
Sim Houw mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda
yang dia tahu adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es. “Tadi aku tahu,
ayah, akan tetapi ia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang.
Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?
“Houw-ji.... kau melihat Suma Ceng Liong....?”
“Siapa dia, ayah? Aku tidak tahu....”
“Dia.... dia cucu Peudekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta
dengan Bi Eng.... ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu
mengikatkan perjodohan antara kalian....”
“Ayah, perlu apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan itu!”
“Benarkah....? Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa engkau.... engkau tidak mencinta Bi Eng....?”
Sim Houw menjadi semakin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena
luka-lukanya yang parah membuat ayahnya berobah pikiran? Kalau tidak
demikian, kenapa ayahnya menanyakan hal yang bukan-bukan?
“Ayah,
kami belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biarpun kami sudah
saling bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada
cinta?”
Anehnya mendengar ucapan, itu wajah orang tua itu nampak
girang! “Bagus, bagus.... ah, senang hatiku mendengar ini.... Houw-ji,
engkau.... engkau pergilah menemui pendekar Kam Hong dan.... terus
terang saja.... kau putuskan tali perjodohan itu dengan resmi....”
Sim Houw membelalakkan matanya. “Ayah, apa.... apa maksudmu?” Dia masih
bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan
hal perjodohan yang harus dia putuskan itu.Ayahnya yang sudah payah
keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa
detik lamanya, lalu pegangannya mengendur. “Dengar baik-baik.... Bi Eng
saling mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku melihat dan mendengarnya
sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama
dengan ayahmu.... ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa
rasa cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum
terlambat, putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali-
kali.... menanamkan permusuhan dengan.... keluarga Suma....” Kakek itu
tidak kuat lagi, terkulai lemas.
“Ayaaaahhh....!” Sim Houw
menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu. Baru
detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan
sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang amat dicintanya.
Ibunya tidak pernah memperdulikannya, bahkan terlalu galak terhadap
dirinya dan semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya
dari ayahnya, diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang
membiarkan ayahnya terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya
meninggalkannya untuk selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga
menyakitkan hatinya itu. Dia harus melepaskan ikatan jodohnya dengan
puteri gurunya! Memang, dia belum pernah jatuh cinta, dan terhadap Bi
Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena tadinya menganggap gadis
itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum pernah merasa jatuh
cinta kepada gadis itu.
“Ayah....!” Kembali dia mengeluh dan
menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut merapatkan mata dan
mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat itu
teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap
pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda
Pulau Es yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng
Liong dan oleh ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng.
Mengertilah dia akan sikap Bi Eng sekarang. Tentu tunangannya itu
dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak melawan pasukan dan gadis itu
berada dalam bingung dan ragu.
“Suhu....!”
Sim Houw menengok
kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungan sendiri, pemuda yang
lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya
Bi Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima
meter. Sim Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang
amat hebat bergelombang menerjang hatinya dan diapun memejamkan hatinya,
lalu menunduk dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang
akan tumpah lagi.
“Suhu....!” Sekali lagi Bi Eng berseru dan
kini gadis itupun lari menghampiri, lalu menjatuhkan diri berlutut di
dekat jenazah gurunya, tak dapat menahan air matanya yang menetes-netes
turun membasahi pipinya. Sejenak ia terisak. Gurunya adalah seorang yang
amat sayang kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat,
tentu saja hal ini amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya.
Setelah tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah. “Apakah yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”
“Tenangkan hatimu, sumoi. Ayah telah tewas sebagai seorang patriot yang
berjiwa besar, tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan
penjajah!” Ucapan Sim Houw itu lantang dan memang dia sengaja bicara
keras agar terdengar oleh Suma Ceng Lioug. Sebetulnya, tak perlu dia
bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong berada di situ, bahkan kini
pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
“Sim-locianpwe tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh
makin besar rasa kagum dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong
seperti bicara kepada diri sendiri.
Sim Houw menoleh dan melihat
pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng yang masih
berlutut, “Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kaubela di Hutan Cemara.
Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”
Wajah
gadis itu berobah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah
seorang gadis yang memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan
tabah. Ia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, apapun resikonya
ia berani menghadapinya. Maka iapun bangkit dan sejenak ia memandang
kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim Houw. Ia tidak tahu mengapa
Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona) itu kini berubah
menjadi sumoi (adik seperguruan), maka iapun menyebut suheng kepadanya.
“Sim-suheng, dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”
Sim Houw memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini
Ceng Liong juga sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh
selidik, sedangkan sinar mata Ceng Liong menunduk seperti orang yang
merasa bersalah.
“Kam-sumoi, bagaimanapun juga, kita berdua oleh
orang tua kita masing-masing telah ditunangkan dan sebagai orang yang
dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku berhak mengetahui keadaan
sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”
“Sim-suheng, apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.
“Sumoi, katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”
Tentu saja pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini amat
mengejutkan Bi Eng. Tak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan
pertanyaan seperti itu, dan karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba
dan tak tersangka-sangka, ia menjadi terkejut dan sejenak ia bungkam
tak mampu mengeluarkan jawaban!
“Sumoi, aku berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah dapat menguasai lagi hatinya dan ia mengangguk. “Benar,
suheng,” jawabnya kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa
terharu bukan main.
Kini Sim Houw membalikkan tubuh
menghadapinya. Ceng Liong sudah siap untuk menghadapi serangan karena
dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi Sim
Houw tidak membuat gerakan menyerangnya, melainkan bertanya, suaranya
tetap tenang dan tegas.
“Saudara Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”
Ceng Liong mengangguk perlahan. “Saudara Sim, terus terang saja,
dahulu, di waktu remaja kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru
dalam Hutan Cemara kami saling jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh
cinta. Ya, aku memang mencintanya, saudara Sim.”
Sim Houw
menarik napas panjang. “Bagus, aku hargai kejujuran kalian berdua.
Sekarang bereslah sudah....” dan diapun berlutut kembali dekat jenazah
ayahnya.
“Sim-suheng.... kau.... kaumaafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati kasihan.
Akan tetapi Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggeleng
kepala. “Sumoi, tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan.
Akupun harus jujur kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya
dibuat oleh orang tua kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak
pernah ada apa-apa. Kita bahkan belum pernah berkenalan atau bergaul,
jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau diputuskan juga. Akan tetapi,
karena hal ini menyangkut nama orang tua, yang memutuskannya haruslah
orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah ayah, setelah itu aku
akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta diputuskannya tali perjadohan
antara kita.”
Bi Eng dan Ceng Liong menjadi girang sekali. “Suheng, betapa bijaksana hatimu....”
Kembali Sim Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Aku bertindak biasa saja, sesuai dengan pesan terakhir ayahku....”
“Suhu....?” Bi Eng bertanya kaget.
“Dia melihat dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu
kepadaku dalam pesan terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula
yang menyuruh aku memutuskan tali perjodohan.”
“Ah, suhu....
suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi Eng
cemas. Gurunya amat sayang kepadanya dan hatinya akan merasa menyesal
sekali kalau sebelum meninggal dunia gurunya itu mengandung hati marah
dan menyesal kepadanya. Akan tetapi, legalah hatinya ketika pemuda itu
menggelengkan kepalanya.
“Tidak, sumoi. Ayah adalah orang yang
sudah mengalami penderitaan pahit dalam pernikahannya dan karena itu dia
menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan tanpa cinta kasih kedua
pihak takkan mendatangkan kebahagiaan, oleh karena itu bahkan ayah yang
menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini secara resmi.”
“Ah, suhu sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian....”
kata Bi Eng terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih
kepada mendiang suhunya.
“Nah, pergilah, sumoi. Pergilah lebih
dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul kemudian setelah selesai
mengurus jenazah ayah.”
“Tidak, suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”
“Jangan, sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah....
ahh, tinggalkan aku.... sendirian bersama ayah....!” Pemuda itu menutupi
kedua mukanya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya sudah memuncak
membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng Liong
menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas
seluruhnya daripada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti
isteri, anak-anak, keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian,
kedudukan, nama dan sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali
terjadi perpisahan akan timbullah duka. Dan perpisahan ini pasti
terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang terikat di batin kita
itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang meninggalkan
mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, dari semuanya.
Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian, takut akan
kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita dambakan.
Cinta bukan berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan
duka. Pengikatan batin timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin
memiliki segala yang menyenangkan dan membuang segala yang tidak
menyenangkan.
Kebebasan batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa
kita menjadi tidak perduli terhadap keluarga kita, terhadap orang-orang
lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama dan sebagainya itu. Bukan
berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban kita sebagai
seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia ramai
ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang
tidak terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat
bahwa ikatan-ikatan ini hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain.
Suma Ceng Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke
puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam Hong dan Bu Ci Sian. Dengan terus
terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri ini dan
menceritakan segala hal tentang diri mereka, tentang pertemuan di Hutan
Cemara, tentang tewasnya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara
mereka dan tentang pertemuan mereka dengan Sim Houw.
Mula-mula
Kam Hong dan isterinya terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong
mengerutkan alisnya dan memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong
Bu gugur, dia marah harus memegang teguh perjanjiannya dengan sahabat
itu.
“Bi Eng, bagaimana engkau dapat mengharapkan aku melanggar
janji terhadap seorang sahabat yang telah meninggal dunia?” katanya
dengan nada lebih banyak menegur daripada bertanya.
“Ayah, suhu Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim Houw suheng.”
“Sudahlah, aku baru mau mempertimbangkannya kalau sudah mendengar sendiri penuturan Sim Houw!”
Biarpun dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah
kekasihnya itu. Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia
merasa canggung sekali, akan tetapi demi cintanya terhadap Bi Eng,
diapun mempertahankan diri. Apalagi sikap Bi Eng amat manis dan gadis
ini selalu membesarkan hatinya.
Akhirnya, saat yang
dinanti-nantikanpun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini
menjatuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan
tak dapat menahan cucuran air matanya. Kam Hong dan isterinya merasa
terharu sekali.
“Kami telah mendengar tentang kematian ayahmu,
Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air matamu. Ayahmu tewas sebagai seorang
pendekar dan patriot sejati yang gugur dalam perjuangan yang patut. Tak
perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar kalau mudah saja
mencucurkan air matanya.”
“Maaf, suhu, maafkan kelemahan teecu,” jawab Sim Houw.
Seperti yang sudah direncanakan dengan isterinya, apalagi di situ tidak
terdapat Bi Eng dan Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong
memancing. “Sim Houw, setelah ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu
untuk mempercepat pelaksanaan pernikahanmu dengan Bi Eng....”
“Tidak, suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan
antara teecu dan sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan....”
Kam Hong pura-pura kaget dan marah. “Sim Houw! Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Apa maksudmu?”
“Suhu, sebelum meninggal, ayah berpesan kepada teecu agar teecu
menghadap suhu dan menyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar
diputuskan.”
Kam Hong mengangguk-angguk. Kalau begitu puterinya tidak berbohong. “Apa alasannya mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?”
“Sederhana saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh
dengan teecu, maksud teecu.... eh, sumoi dan teecu tidak saling
mencinta....”
Inilah keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan
isterinya. “Sim Houw, katakan sekali lagi, apakah benar-benar engkau
tidak mencinta Bi Eng?” tanya Bu Ci Sian.
Sim Houw merasa
bingung dan takut menghadapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku
sejujurnya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya
tidak akan suka dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu
silatnya, juga amat manis itu? Akan tetapi dia sendiripun tidak tahu
apakah dia mencinta Bi Eng, suatu perasaan yang belum pernah
dirasakannya. Yang jelas, mendengar bahwa Bi Eng mencinta pemuda lain,
dia tidak merasa duka atau marah.
“Subo, maafkanlah teecu. Tentu
saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang sebagai saudara
seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta seorang
pemuda lain. Bagaimana teecu dan ia dapat saling mencinta? Dan menurut
ayah, jodoh tanpa cinta hanya akan berakhir dengan duka nestapa.”
Mendengar ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berobah pucat. Dahulu,
dahulu sekali, ketika Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi
seorang pemuda, Hong Bu pernah mati-matian jatuh cinta kepadanya. Akan
tetapi ia tidak membalas cintanya dan ia mencinta Kam Hong. Kemudian Sim
Hong Bu menikah dengan Cu Pek In. Iapun menarik napas panjang dan
tenggelam dalam kenangan.
Kam Hong merasa lega sekali mendengar
ucapan muridnya ini. Jadi benar semua keterangan puterinya. Puterinya
saling mencinta dengan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari
Pular Es itu. Dan putusnya tali perjodohan puterinya dengan Sim Houw
inipun sudah sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw
sendiri.
“Baiklah, kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw.
Ketahuilah bahwa sebetulnya kami telah mendengar kesemuanya itu dari Bi
Eng.”
“Ah, jadi sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada
suhu dan subo? Dan pemuda itu.... eh, maksud teecu, saudara Suma Ceng
Liong....”
“Diapun sudah berada di sini. Mereka berdua sudah
menceritakan semuanya kepada kami, akan tetapi kami masih merasa
penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri, Sim Houw.”
Wajah pemuda itu berseri gembira. “Ah, kalau begitu hati teecu menjadi
lega dan gembira. Mereka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu
amat gagah dan jujur, menjadi calon jodoh sumoi yang amat baik.”
Sim Houw tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan
beramah tamah dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersama dari
hidangan hasil buruan sepasang muda mudi itu, diapun berpamit dan
mendapat doa restu dari suhu dan subonya yang merasa terharu dan
kasihan, juga kagum terhadap murid itu.
Perjodohan antara Kam Bi
Eng dan Suma Ceng Liong tidak mengalami banyak kesulitan. Suma Kian Bu
dan Teng Siang In segera datang berkunjung ke puncak Bukit Nelayan
setelah mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pinangan dan
diterima dengan senang hati dan gembira oleh Kam Hong dan isterinya.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itupun
dirayakan dengan amat meriah, dihadiri oleh orang-orang gagah dari
segenap penjuru dan di dalam perayaan ini berkumpullah semua keluarga
para pendekar Pulau Es dengan lengkap. Kam Hong dan isterinya merasa
bangga dan berbahagia sekali dapat berbesan dengan keluarga Pulau Es
apalagi setelah mereka mendengar penuturan mantu mereka tentang
riwayatnya sampai dia menjadi murid Hek-i Mo-ong dan diajak menyerbu ke
Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya merasa tidak senang melihat pemuda
itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi kagum.
Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh
keluarga Pulau Es. Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup
bahagia. Suma Ceng Liong hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam
Bi Eng. Dan biarpun Suma Ciang Bun masih merasa kehilangan Gangga, akan
tetapi dia semakin matang dan semakin dapat mengenal diri sendiri,
perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berobah melalui kewaspadaan.
Sebagai akhir tulisan dalam cerita ini, pengarang mengharapkan
mudah-mudahan di samping menghibur dan menemani Anda di kala senggang,
juga cerita ini mengandung manfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa
kembali di lain kisah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar