Hubungan Bank dan Risiko
· Bank adalah sebuah institusi yang
memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito, memberikan
pinjaman, dan menerima serta menerbitkan check.
· Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadi bad outcome (hasil yang buruk), dan besarnya peluang dapat diestimasikan.
·
Risk event (kejadian risiko) adalah terjadinya suatu peristiwa
yang menciptakan potensi terjadinya kerugian (hasil buruk).
·
Risk loss (risiko kerugian) adalah kerugian yang terjadi sebagai dampak
langsung atau tidak langsung dari kejadian risiko. Kerugian tersebut
dapat bersifat finansial atau non-finansial.
Bank Bersifat Khusus
Bank
disebut bersifat “khusus” karena permasalahan di perbankan bisa
mengakibatkan dampak yang serius bagi perekonomian. Bank sebagai
perantara (intermediary), artinya, bank adalah sebuah lembaga untuk
menyalurkan dana deposito dari nasabah kepada perusahaan-perusahaan
(yang berupa suatu pinjaman). Apabila pinjaman yang diberikan bank
ternyata tidak dapat dikembalikan oleh perusahaan, hal in akan
menimbulkan insolvabilitas (insolvency) yang akan merusak modal pemegang
saham (shareholder equity) dan dana dari nasabah. Hal itu disebabkan
karena bank memiliki rasio utang terhadap modal (gearing) yang tinggi
(highly geared / highly leveraged).
Tidak seperti perusahaan
keuangan, maupun industri lain, regulasi bagi industri perbankan tidak
hanya mencakup produk dan jasa yang ditawarkan, tetapi juga mencakup
lembaga bank itu sendiri. Hal ini karena kegagalan bank akan memberikan
dampak jangka panjang yang mendalam terhadap perekonomian.
Berkaitan dengan hal tersebut, otoritas pengawas perbankan (supervisor) menetapkan:
a. Struktur Modal
Struktur
modal adalah cara bank untuk mendanai bisnisnya, biasanya melalui
kombinasi pemberian saham, obligasi, dan penerimaan pinjaman.
b. Persyaratan Modal Minimum
Sebuah
bank dikatakan memiliki modal yang cukup jika bank tersebut memiliki
sumber daya finansial yang memadai untuk mengantisipasi potensi
kerugianna.
c. Tingkat Likuiditas Minimum
Bank dikatakan
memiliki likuiditas yang cukup jika bank tersebut memiliki sumber daya
finansial yang memadai untuk mendanai aktivanya (asetnya) dan memenuhi
kewajibannya saat jatuh tempo.
d. Jenis dan Struktur Pemberian Kredit
Bank, Risiko Sistematik, dan Perekonomian
Risiko sistemik adalah risiko di mana kegagalan sebuah bank
tidak hanya berdampak langsung terhadap karyawan, nasabah, dan pemegang
saham, tetapi bahkan dapat menghancurkan perekonomian. Hal ini lebih
dikenal dengan sebutan “run on a bank” atau “bank rush”, yaitu penarikan
dana besar-besaran dari bank.
“Run on a bank” terjadi
ketika bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain
bank tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membayar kembali nasabah
yang ingin menarik dananya (ada masalah solvabilitas). Solvabilitas dari
suatu bank tidak hanya menjadi perhatian pemegang saham, nasabah,
maupun karyawan, tetapi juga pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur
ekonomi.
Sebelum tahun 1930-an, “run on banks” dan
masalah solvabilitas relatif sering terjadi. Kondisi ini mendorong
pemerintah untuk mengendalikan bank melalui regulasi, dengan memastikan
bahwa bank memiliki modal dan memiliki likuiditas yang mencukupi.
Bank sentral sebagai supervisor harus memastikan bahwa bank dapat:
·
memenuhi sejumlah permintaan dari deposan yang ingin dananya
dikembalikan, tanpa perlu mencairkan pinjamannya (menjual asetnya), dan
·
mempertahankan tingkat kerugian yang masuk akal sebagai akibat
dari lemahnya sistem pemberian pinjaman atas siklus ekonomi yang turun.
Misalnya, dapat bertahan saat resesi.
Sebelumnya tingkat kecukupan
modal dan likuiditas tidak diterapkan secara tegas, hanya dihubungkan
dengan persentase dari kredit (pinjaman). Namun, ada ‘missing
link’(suatu keterkaitan yang hilang dalam menghitung tingkat modal yang
cukup bagi bank, yaitu besarnya risiko yang diambil bank. Semakin tinggi
risiko yang diambil semakin besar potensi kerugian yang dihadapi.
Dengan demikian, semakin besar modal yang harus disediakan. Bank
mengambil risiko yang lebih besar, karena mengharapkan keuntungan
(margin) yang lebih besar (high risk high return / reward).
Ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban dan membayar kembali nasabah yang ingin menarik dananya dapat terjadi karena:
· Risiko kredit yang buruk
· Persepsi dari sebagian nasabahnya (bersifat tidak nyata)
· Gejolak ekonomi (economic shock), sehingga debitur macet akan meningkat secara signifikan
Bank masih akan terkena risiko perekonomian negara, walaupun sudah melakukan diversifikasi portofolio kreditnya.
Pada dasarnya, perekonomian suatu negara dipengaruhi oleh:
· External shock (guncangan eksternal), misalnya bencana alam atau peristiwa karena perbuatan manusia; dan
· Economic mismanagement (pengelolaan ekonomi yang buruk).
Memburuknya
perekoniman suatu negara berdampak pada meningkatnya jumlah kredit
macet. Hal ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga, penurunan kinerja
perusahaan, dan kenaikan tingkat pengangguran. Beberapa hal yang dapat
dilakukan bank untk mengurangi dampak tersebut adalah:
· Mematuhi peraturan (termasuk Basel II);
· Membuat skenario atas economic shocks;
· Memiliki tingkat modal yang cukup untuk menjaga dari dampak economic shocks;
· Memperkirakan tingkat kredit macet dan memastikan bahwa tersedia modal yang mencukupi.
Modal
Modal adalah investasi dari pemegang saham bank, dan dapat
diukur dari nilai yang tercatat di neraca. Modal yang mencukupi
merupakan sumber daya yang penting bagi bank untuk memastikan solvency.
Modal bank adalah satu-satunya sumber daya yang dapat menyerap kerugian
karena tidak harus dibayar kembali.
Bank diharuskan
memiliki modal yang mencukupi untuk menghadapi tingkat risiko yang
diambil. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi pula modal yang
dipersyaratkan. Tingkat kecukupan modal berdasarkan tingkat risiko
disebut risk-based capital. Perkembangan perbankan internaisonal pada
tahun 1970-an dan 1980-an yang pesat membuat persaingan dan risiko
menjadi semakin meningkat, berarti;
· Risk based capital menjadi semakin berarti
· Supervisor lebih yakin bahwa bank internasional harus memiliki cukup modal untuk menghadapi risiko (capital adequancy).
Gearing
Gearing adalah rasio dari jumlah utang (company debt)
dibandingkan dengan modal (capital) yang dipunyai. Bank yang memiliki
utang yang jauh lebih besar daripada modalnya, disebut “highly geared”
(‘highly leveraged’).
Insolvency (Insolvabilitas)
Insolvabilitas
didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan membayar klaim (apa pun
jenisnya) yang telah jatuh tempo. Dampak krisis solvabilitas sebuah
bank pada ekonomi biasanya kecil. Akan tetapi, jika krisis solvabilitas
terjadi pada seluruh sektor perbankan maka seluruh perekonomian akan
terkena dampaknya.
Lender of Last Resort
Bank sentral sebagai
“Lender of last Resort” harus siap memberikan bantuan dana kepada bank
umum untuk menjaga stabilitas sistem finansial dan untuk mencegah
terjadinya krisis ekonomi yang diakibatkan oleh krisis solvabilitas
maupun krisis likuiditas.
Pengaruh Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi
yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an, merupakan alasan utama
kenapa kebijakan moneter yang sukses tidak menghasilkan stabilitas
keuangan.
Turunnya peran pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian disebabkan oleh:
·
dihilangkannya penghalang kompetisi antar lembaga keuangan
(terjadinya persaingan bebas), termasuk liberalisasi izin pendirian bank
yang menjadi bagian utama regulasi sampai tahun 1970-an;
·
dihilangkannya pembatasan penetapan harga atas transaksi keuangan,
seperti misalnya suku bunga maksimum atas pinjaman dan deposito;
· dihilangkannya pembatasan pergerakan modal internasional, yang mengiringi pengenalan atas pertukaran mata uang.
Liberalisasi di pasar keuangan meningkatkan situasi persaingan di perbankan, yaitu dengan cara:
·
Menurunkan kemampuan bank untuk memiliki margin keuntungan yang
tinggi (produk-produk harus memiliki harga yang kompetitif).
· Meningkatkan masuknya pemain baru sehingga meningkatkan kompetisi.
Kesulitan
memperoleh keuntungan dalam kondisi seperti tersebut, memaksa bank
untuk mengambil risiko yang leibh tinggi untuk menjaga tingkat
pendapatannya.
Inovasi Produk Finansial
Liberalisasi sektor finansial melahirkan suatu periode di mana inovasi
tercipta dengan cepat, terutama pertumbuhan produk keuangan seperti
futures, swaps, dan options (produk derivatif) dan sekuritisasi aset.
Melalui produk-produk tersebut, bank dapat melakukan transfer risiko
antarsesama bank kepada investor dari pasar yang lain.
Perkembangan Internasional
Kontrol atas persiangan antarnegara juga mengalami
liberalisasi sebagai akibat dari perkembangan perdagangan bebas. Namun
mungkin yang lebih signifikan, itu semua sebagai akibat dari
meningkatnya kekuatan perekonomian dari politik dari Uni Eropa (European
Union). Liberalisasi tersebut memperkuat keterkaitan finansial
antarinstitusi, antarpasar, dan antar negara.
Stabilitas Keuangan
Stabilitas keuangan adalah suatu situasi di mana kemampuan
untuk memobilisasi simpanan (saving) secara efisien, menyediakan
likuiditas, dan mengalokasikan investasi dari institusi keuangan dan
pelaku pasar yang lain terpelihara dengan baik. Stabilitas keuangan
konsisten dengan kegagalan sebuah atau beberapa institusi keuangan yang
terjadi secara periodik (artinya, adanya kegagalan adalah suatu hal yang
biasa terjadi, dan stabilitas keuangan tetap terjaga). Kegagalan
lembaga keuangan menjadi masalah besar, jika bisa menggoncangkan dan
berpotensi menghancurkan stabilitas keuangan.
Stabilitas Moneter
Stabilitas moneter adalah stabilitas atas nilai uang (yaitu,
terjadinya inflasi yang rendah dan stabil). Stabilitas keuangan tidak
sama dengan stabilitas moneter. Walaupun dapat terjadi bersamaan, tetapi
kedua stabilitas ini tidak selalu terjadi bersamaan, misalnya:
·
Pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, inflasi rendah
(stabilitas moneter), tetapi tak terjadi stabilitas keuangan.
· Pada akhir Perang Dunia I sapai 1980-an, inflasi tinggi dan tak stabil, tetapi stabilitas keuangan tetap terjaga.
·
Pada tahun 1980-an sampai saat ini. Inflasi terkontrol (terjadi
stabilitas moneter), tetapi tidak meningkatkan stabilitas keuangan.
PENDEKATAN BARU DALAM PEMBUATAN REGULASI
Perkembangan pasar keuangan dan liberalisasi kontrol
antarnegara memaksa supervisor, terutama bank sentral, untuk memikirkan
kembali bahwa meskipun nilai safety net yang disediakan oleh bank
sentral memalui fungsinya sebagai “lender of last resort” tumbuh semakin
besar, namun fungsinya sebagai regulator keuangan mulai melemah.
Sebelum periode liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an,
regulasi keuangan fokus pada:
· Pemberian wewenang, hak, dan kewajiban kepada institusi keuangan (otorisasi institusi keuangan);
· Pendefinisian secara ketat bidang usaha yang diizinkan untuk setiap jenis institusi keuangan; dan
·
Definisi dari rasio finansial dan persyaratan untuk menyimpan
kas dalam jumlah tertentu di bank sentral, atau memiliki aset (surat
berharga) sejumlah tertentu yang diterbitkan pemerintah (surat utang
negara).
Supervisor yang prudent mulai melihat pendekatan baru untuk regulasi, sebagai berikut:
1.
Menjadikan risk-return menjadi ukuran dari kinerja. Jika
supervisor mampu membuat peraturan yang sejalan dengan pasar maka
peraturan tersebut akan lebih efektif dan lebih relevan terhadap
institusi yang diatur.
2. Meningkatnya globalisasi pada pasar
modal mendorong kebutuhan norma kehati-hatian yang dapat diterima secara
internasional dan dapat diimplementasikan secara konsisten.
3.
Regulasi hanya sebagian dari solusi. Risiko dari internasional
finansial, secara internasional, sangat bergantung pada isu tentang
adanya:
Standar minimum hukum atas kontrak dan kepailitan,
Standar audit dan akuntansi,
Persyaratan disclosure.
DAMPAK POTENSIAL DARI KEGAGALAN PENGELOLAAN RISIKO
Risk
event akan berdampak pada bank (berupa kerugian finansial), stakholder
bank tersebut (pemegang sham, karyawan, nasabah) dan perekonomian.
Dampak pada Pemegang Saham
Kegagalan
dalam mengelolaa risiko selain merugikan bank juga berdampak langsung
pada para pemegang saham, dalam bentuk antara antara lain:
· hilangnya seluruh investasi mereka – bangkrutnya perusahaan;
· penurunan nilai investasi – harga saham yang turun karena reputasi yang buruk atau penurunan laba,
· hilangnya dividen sebagai akibat dari penurunan laba perusahaan,
· pemegang saham bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada perusahaan.
Dampak pada Pegawai
Baik pegawai yang terlibat maupun yang tidak terlibat risk event tetap akan terkena dampaknya, seperti:
· Tindakan indisipliner karena kesengajaan atau kealpaan.
·
Kehilangan pendapatan, misalnya penurunan bonus ata penundaan
peningkatan upah, karena dampak pada pendapatan perusahaan.
· Kehilangan pekerjaan.
Dampak pada Nasabah
Dampak terhadap nasabah memang tidak langsung dan tidak terlihat jelas namun tetap dirasakan, seperti:
· Penuruan kualitas layanan konsumen,
· Penurunan ketersediaan produk,
· Krisis likuiditas
· Perubahan peraturan.
Risiko Operasional dan Pelayanan Nasabah
Jenis
risiko yang berdampak pada nasabah sehari-hari adalah risiko
operasional. Suatu operasional event akan mempengaruhi secara langsung
nasabah melalui kesalahan atau kelemahan kualitas pelayanan, gangguan
pelayanan, ketidakamanan yang bersifat persepsi maupun kenyataan, dan
tidak adanya pelayanan yang memadai.
Gangguan layanan kepada nasabah
berdampak pada reputasi bank, yang akhirnya berdampak pada
profitabilitas bank tersebut, karena nasabah pindah ke bank lain. Dampak
pada nasabah dapat berakibat terjadinya kerugian finansial lainnya
terhadap bank, yaitu ganti rugi pembayaran kepada nasabah sebagai
kompensasi, ongkos litigasi, dan denda.
Dampak Ekonomi dari Suatu Kejadian Risiko
Procyclicality
Bank
yang “over lent” (terlalu banyak menyalurkan kredit) pada saat boom
(ekonomi tumbuh pesat), akan “under lent” (kurang mampu menyalurkan
kredit) pada saat resesi. Dampak dari resesi akan mengurangi permodalan,
karena bank terpaska melakukan kredit macet. Modal yang rendah
mengurangi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Hal ini dapat jelas
terlihat pada fenomena “asset bubles” (misalnya properti dan pasar
saham di seluruh dunia). Basel II telah dikritik atas meningkatnya
“procyclicality” pada penyaluran kredit bank. Basel mengaitkan credit
grading models (peringkat) dengan persyaratan permodalan bank, sehingga
memburuknya peringkat pada kredit akan berdampak pada peningkatan modal
(regulatory capital).
Likuiditas dan Risiko Pasar
Perdagangan aset di pasar meningkat dan market risk event terus
membesar, sehingga timbul masalah baru. Model matematis untuk
mengidentifikasi dan memahami risiko serta pricing belumlah sempurna,
belum menjadi indikator utama, dan belum dapat diandalkan untk memonitor
dan mengukur risiko pasar.
Krisis likuiditas jarang
terjadi pada retail banking, tetapi sering terjadi pada wholesale banks.
Wholesale banks tidak menarikdana masyarakat (nasabah perseorangan)
melalui tabungan dan deposito, tetapi menggantungkan pendanaannya dengan
menjaminkan aset (misalnya obligasi pemerintah dan obligasi korporasi).
Aset tersebut dapat menjadi tidak likuid, karena investor tidak mau
membeli aset tersebut, sehingga nilai aset tersebut turun secara
drastis.
Tidak likudnya aset dapat mengakibatkan krisis
likuiditas (liquidity crisis) tak terhindarkan. Krisis likuditas yang
terjadi pada wholesale markets dapat ditekan dampaknya dengan beberapa
cara, antara lain dengan meningkatkan kewaspadaan, reaksi yang cepat
dari bank sentral, dan pengawasan oleh manajemen bank.
Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)
Regulasi
ini merupakan akibat atas terjadinya skandal akuntansi seperti yang
terjadi pada Enron dan WorldCom. SOX menetapkan persyaratan tentang
akuntabilitas korporasi. Penerbitan regulasi baru tersebut secara tidak
langsung memberikan dampak kepada nasabah bank, baik melalui biaya
implementasi maupun perubahan persepsi mengenai nilai-nilai yang ada.
International Accounting Standards (IAS)
Pengenalan
ketentuan baru dalam bidang akuntansi biasanya tidak dianggap[ seperti
sebuah kejadian risiko. Pengenalan IAS dianggap sebagai kejadian risiko,
karena akan memberikan persepsi baru terhadap tingkat profitabilitas
bank pada masa mendatang. Peraturan baru tersebut dapat berdampak
negatif terhadap perusahaan maka perlu dikelola secara cermat dan perlu
diterangkan kepada stakeholders.
IAS yang diperkenalkan secara luas
pada tahun 2005-2006 akan mempengaruhi cara bank dalam mencatat hedging
atas risiko suku bunga dalam banking book (cara mencatat berdasarkan IAS
berbeda dengan Basel II), dan pengungkapan (disclosure) laporan
keuangan.
BASEL I
(Basel Capital Accord I, 1998)
Pengembangan Basel I
Basel
I merupakan hasil usaha pertama The Basel Committee on Banking
Supervision (BCBS) dalam menciptakan metodologi standar untuk menghitung
besarnya risk-based capital yang harus dimiliki Bank.
BCBS
didirikan pada tahun 1974 oleh gubernur bank sentral dari the Group of
Ten (G10) untuk menfokuskan pada regulasi perbankan dan praktik
supervisi. G10 mempunyai 11 negara anggota, yaitu Belgia, Kanada,
Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, Swiss, Inggris, Amerika, dan
Jepang. Anggota BCBS terdiri atas perwakilan bank sentral dan supervisor
dari G10 + Spanyol + Luxemburg (total ada 13 anggota).
Basel I hanya mencakup risiko kredit dan keterkaitan antara risiko dan
modal masih kasar (kurang sensitif). Di Basel I, target rasio modal
ditetapkan sebesar 8% (Basel II tetap memakai rasio modal 8% ini).
BCBS memiliki tiga tujuan utama dalam mengembangkan Basel I, yaitu:
· Memperkuat keandalan dan stabilitas dari sistem perbankan internasional.
· Menciptakan kerangka yang adil dalam mengukur kecukapan modal bank internasional.
·
Mengembangkan kerangka yang dapat diimplementasikan secara
konsisten dengan tujuan untuk mengurangi persaingan yang tidak seimbang
di antara bank internasional.
Kecukupan Modal untuk Risiko Kredit
Aset “on-balance-sheet”, ATMR dan bobot risiko
Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Risk Weighted Asset (RWA) adalah
kumpulan aset dalam neraca (on-balance sheet) yang telah dikalikan
dengan bobot risiko. Sementara itu, bobot risiko atau Risk Weight (RW)
didasarkan pada risiko kredit yang diasosiasikan dengan segolongan aset.
Ada lima kategori aset dengan bobot risiko 0%, 10%, 20%, 50%, dan 100%.
ATMR = ASET x bobot risiko
Rasio Modal: Eligible Capital / ATMR (minimum 8%)
Modal yang Dipersyaratkan (Required Capital) = ATMR x 8%
Aset “off-balance-sheet” & Credit Risk Equivalence (CRE)
Dalam
perhitungan modal untuk aset yang bersifat off-balance-sheet. BCBS
memakai konsep credit risk equivalance. Hal ini pertama kali dibahas
pada bulan Maret 1986 dalam sebuah kertas kerja BCBS berjudul The
Management of Banks’ Off Balance-Sheet Exposures: A Supervisory
Perspective. Setiap transaksi off-balance sheet dapat diubah menjadi
setara pinjaman (credit equivalant) dan dengan demikian dapat dimasukkan
ke dalam on-balance-sheet dengan tujuan untuk perhitungan ATMR.
Off-balance
sheet exposure biasanya adalah contigent liabilities seperti
guarantees, options, acceptances, dan warranties. Tidak ada kas atau
aset fisik yang terlihat dalam neraca keuangan (neraca tidak mencatat
kontrak, hanya proceeds). Contoh yang paling baik adalah kontrak
asuransi di mana account hanya menunjukkan premi yang harus dibayar,
tetapi kontrak itu sendiri tidak masuk dalam account.
CRE & Instrumen Derivatif
Transaksi
off-balance sheet seperti derivatif diperlakukan berbeda. Derivatif
adalah instrumen keuangan di mana nilai pokok kontrak biasanya tidak
dipertukarkan.
Dalam instrumen derivatif (misalnya
interest rate swap), bank tidak menghadapi risiko sebesar nominal (full
face value) dari nilai kontrak swap. Bank hanya menghadapi potensi
kerugian sebesar arus kas dari kontrak. Oleh karena itu, untuk setiap
kontrak derivatif, faktor konversi (conversion factor / CF) turun 50%
(50% x CF).
Ada dua metode untuk menghitung credit equivalent dari kontrak derivatif, yaitu:
· the Current Exposure Method (CEM), dan
· the Original Exposure Method (OEM)
Metode CEM untuk Instrumen Derivatif
CEM merupakan metode yang direkomendasikan oleh BCBS dalam Basel I. CEM menghitung ‘credit exposure’(CE) sebagai berikut:
·
Menghitung currenct replacement cost (biaya pengganti saat ini)
atas kontrak dengan melakukan mark-to-market (MTM). Jika MTM bernilai
positif, berarti bank pada posisi untung, tetapi akan merugi jika
counterparty mengalami default.
· Ditambahkan ‘add-on’ yaitu
suatu persentase pada notional principal, untuk dapat mencakup
‘additional exposure’. Additional exposure terjadi karena MTM selalu
berubah, terus berfluktuasi sampai jatuh tempo.
Metode OEM untuk Instrumen Derivatif
The
Original Exposure Method memungkinkan bank menghitung suatu persentase
dari notional principal sebagai exposure tanpa harus menghitung current
value (replacement value) atas kontrak derivatif yang dimiliki.
Bank yang diperbolehkan Basel I memakai OEM adalah yang akan
(belum) mengimplementasikan CEM dan yang memiliki sedikit kontrak
derivatif (matched position).
Bank yang tidak
diperbolehkan Base I memakai OEM dan harus memakai CEM adalah bank yang
sering melakukan aktivitas forwards, swaps, membeli options atau kontrak
derivatif berdasarkan ekuitas, logam berharga (kecuali emas), atau
komoditi lainnya.
Return atas Modal
Return atas modal adalah
suatu ukuran kinerja yang dipergunakan untuk memastikan bahwa suatu
transaksi mampu menghasilkan return yang cukup tinggi, sehingga
memungkinkan bank menambah modal baru.
Biasanya, sesuai
Basel I dan II, cara menghitung modal adalah melakukan perhitungan
berdasarkan besarnya ATMR yang dimiliki. Namun, terbitnya kontrak
(bisnis) baru dan hilangnya kontrak lama (jatuh tempo0 dapat mengubah
besarnya ATMR.
Oleh karena ATMR selalu berubah, bank memiliki dua pilihan, yaitu:
·
Menetapkan batas maksimum besarnya modal atau batas maksimum
ATMR. Namun, hal ini sangat sulit diterapkan karena ATMR dari traded
instrument dapat memperbesar tanpa munculnya bisnis baru.
·
Menetapkan besarnya modal baru mengikuti kenaikan ATMR. Pada umumnya,
jika ATMR naik, bank perlu menambah modal. Dengan demikian, perlu
mempertimbangkan return atas modal tersebut.
Eligible Capital
Selain
menetapkan kerangka untuk mengukur kecukupan modal, Basel I juga
menetapkan kerangka dari struktur modal bank yang disebut ‘eligible
capital’. BCBS menetapkan bahwa elemen utama dari eligible capital dari
sebuah bank adalah modal saham.
Untuk tujuan persyaratan
permodalan (regulatory capital), bank diperbolehkan memiliki modal
(eligible capital) dalam dua tier.
Tier 1, yaitu modal inti terdiri
dari saham biasa (common stock) yang diterbitkan yang disetor penuh,
non-cumulative perpetual preferred stock dan disclosed reserved.
Tier
2, yaitu modal pelengkap yang terdiri dari cadangan umum, cadangan
revaluasi aktiva tetap, provisi umum dan penyisihan penghapusan aktiva
produktif umum (general provisions and general loan loss reserve), modal
pinjaman (hybrid capital instruments) dan pinjaman subordinasi. Modal
Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari modal total.
Sebagai catatan, terdapat pula Tier 3, yang hanya dapat digunakan untuk trading portfolio yang dimiliki bank.
Modal tidak boleh mengikutsertakan:
· goodwill;
· investasi di perbankan dan institusi finansial yang tidak dikonsolidasi;
· investasi pada modal dan bank lain dan perusahaan finansial lainnya;
· investasi minoritas yang tidak dikonsolidasi misalnya associate banks.
Kelemahan Basel I
Dalam
perhitungan kecukupan modal, Basel I tidak menggunakan informasi
tentnag peringkat (rating) dari peminjam. Bank yang memberikan pinjaman
kepada korporasi atau perusahaan yang bagus akan menyediakan jumlah
modal yang sama dengan bak yang memberikan pinjaman kepada perusahaan
yang buruk. Tidak ada bedanya.
Hal tersebut menimbulkan masalah,
terutama pada pasar obligasi, karena peringkat memiliki keterkaitan erat
dengan return. Obligasi yang diterbitkan perusahaan yang bagus akan
memiliki return (yield / imbal hasil) yang rendah. Bank dapat kalah
bersaing dengan obligasi. Perusahaan-perusahaan yang bagus akan lebih
memilih menerbitkan obligasi daripada meminjam dari bank, karena
biayanya lebih murah (suku pinjaman lebih rendah).
Selain itu, karena
persyaratan modal yang sama, maka bank akan cenderung untuk menyalurkan
fasilitas kredit ke perusahaan yang yang tidak bagus (berisiko tinggi)
dengan harapan akan mendapatkan return yang tinggi pula. Kondisi seperti
ini disebut regulatory capital arbitrage. Efek buruknya, banyak bank
akan memiliki portofolio kredit dengan risiko yang tinggi.
Market Risk Ammendment
(Ammendment to the Capital Accord to Incorporate Market Risk, January 1996)
Pengembangan Market Risk Ammendment
Basel
I sering secara salah dikritik karena kurang sensitif terhadap risiko,
padahal sensitivitas risiko adalah sangat mendasar bagi BCBS ketika
menggembangkan Basel I.
Pada Market Risk Ammendment (MRA) tingkat sensitivitas risiko semakin meningkat.
Proses pengembangan MRA adalah sebagai berikut:
1.
BCBS menerbitkan kerta kerja yang berjudul “The Supervisory
Treatment of Market Risks” dan menanyakan komentar dari bank dan pelaku
pasar lainnya.
2. Pada tahun 1994 BCBS melakukan penelitian atas
penggunaan internal models di perbankan dalam mengukur risiko pasar.
Ternyata, modal yang dikembangkan masing-masing bank cenderung berbeda
satu sama lain, bahkan berbeda jauh dari konsep ATMR Basel I. Meskipun
begitu, untuk memperoleh internal model yang dapat diterima, BCBS
mengikuti apa yang sudah dikembangkan di perbankan.
3. BCBS
memakai pendekatan ‘twin-track’, yang mengevaluasi ketepatan penerapan
model kuantitatif dan kualitas proses yang mendukung penerapan model
tersebut. Model kauntitatif yang dikembangkan oleh bank, dan diterima
oleh BCBS, adalah Value at Risk (VaR).
Value at Risk (VaR)
VaR menggambarkan estimasi dari jumlah kerugian maksimum yang
mungkin terjadi pada portofolio bank akibat dari risiko pasar dalam
periode waktu tertentu dan dalam tingkat keyakinan statistik tertentu.
VaR horizon adalah periode di mana transaksi berjalan. Biasanya
menggunakan satu hari trading (untuk berbagai transaksi perdagangan),
yang disebut Daily Value at Risk (DVaR).
Laporan risiko suatu bank mungkin berupa kalimat sebagai berikut:
“Trading portfolio memiliki DVaR sebesar USD 10 juta pada tingkat keyakinan 95%.”
Dalam
kalimat tersebut, tingkat keyakinan (confidence level) menunjukkan
tingkat probabilitas suatu event akan terjadi. Biasanya, probabilitas
yang digunakan adalah 95% atau 99%.
Secara sederhana, kalimat tersebut dapat dibaca sebagai berikut:
“Dalam satu hari trading ada 5% (100% - 95%) peluang, bank akan menderita kerugian yang melebihi USD 10 juta.”
Tingkat
probabilitas tersebut kelihatannya kecil. Namun jika diperhitungkan,
maka dalam periode satu tahun, dengan asumsi 240 hari dalam satu tahun,
ada sebanyak 12 hari, di mana portofolio dapat menderita kerugian
melebihi USD 10 juta.
Patut dicatat bahwa angka dalam
model VaR tidaklah menunjukkan suatu estimasi seberapa besar kerugian
aktual yang akan terjadi. Dalam contoh tersebut, model tidak
memperlihatkan suatu indikasi berapa kerugian (di atas USD 10 juta) akan
terjadi.
Market Risk Amendment, dengan model Value of
Risk, menghasilkan untuk pertama kalinya regulasi berbasis risiko yang
sebenarnya (true risk based regulation). Kesuksesan Market Risk
Amendment merupakan tonggak utama pengembangan regulasi berbasiskan
risiko. Banyak banyak yang mulai mengganti proses kredit internal ke
arah penggunaan model risiko kuantitatif yang mempunyai kemiripan dengan
teknik VaR.
Basel II
(Basel Capital Accord II, 2004)
Pada
tahun 1999, BCBS mulai bekerja dengan beberapa bank besar di negara
anggotanya untuk mengembangkan sebuah Capital Accord yang baru. Tujuan
utamanya adalah merangkum semua risiko perbankan dalam satu
comprehensive capital adequacy framework yang baru, kemudian dikenal
dengan nama Basel II.
Jenis-jenis risiko perbankan yang utama adalah:
· Market risk (risiko pasar)
· Credit risk (risiko kredit)
· Operational risk (risiko operasional)
· Other risk (risiko lain)
Supervisor
(pengawas) lokal bertanggung jawab terhadap implementasi Basel II yang
akan disesuaiakn dengan hukum dan regulasi setempat. Sangat penting
untuk menjaga konsistensi dalam melakukan implementasi dari kerangka
yang baru pada negara yang berlainan, melalui supervisi dan kerangka
yang baru pada negara yang berlainan, melalui supervisi dan kerja sama
yang lebih ditingkatkan. Implementasi yang konsisten juga amat penting
untuk menghindari adanya kekeliruan dalam membuat laporan untuk
supervisor di ‘home’ yaitu negara di mana bank tersebut didirikan dan
supervisor di ‘host’ yaitu negara di mana cabang bank beroperasi.
BCBS
memakai pendekatan konsultatif untuk memastikan bahwa Basel III, yang
sedang dikembangkan, memiliki dampak positif. Juga, membantu kewaspadaan
bank dan BCBS akan timbulnya masalah dalam implementasi. Selain itu,
BCBS tidak ingin ada perubahan jumlah total modal bank yang menyangga
industri perbankan. Upaya ini dianggap sudah ‘benar’ oleh banyak bank.
Pendekatan
konsultatif dimulai dengan penerbitan consultative papers, kemudian
diikuti periode konsultasi dan revisi. Periode konsultasi meliputi
sejumlah Quantitative Impact Studies (QIS). Di dalam proses ini,
beberapa bank melakukan estimasi dari dampak implementasi Basel
berdasarkan consultative paper yang paling baru.
Dua Masalah yang Harus Diputuskan Sebelum Basel II Diselesaikan
Perkembangan
metode kuantitatif yang digunakan perbankan memberikan landasan yang
kuat bagi Basel II. Walaupun demikian, masih ada dua isu yaitu credit
models dan risiko operasional dan risiko lain yang perlu diputuskan
sebelum BCBS menyelesaikan Basel II.
Credit Models – Berbasis Peringkat atau Opsi
Pada
akhir tahun 1990-an BCBS memutuskan untuk memakai credit grading models
sebagai credit models (model untuk risiko kredit) dan option based
models sebagai teknik tambahan saja. Sebelum keputusan ini keluar, BCBS
menimbang penggunaan dua model, yaitu:
· Full Portfolio Models
Menggunakan teknik option pricing (ciptaan Robert Merton).
· Grading Models / Rating Models
Grading Models sering dipakai oleh credit rating agencies seperti Standard & Poor’s dan Moody’s Investors Service Ratings.
Risiko Operasional dan Risiko Lain
Keputusan BCBS mengenai risiko operasional dan other risk adlaah sebagai berikut:
· Memasukkan risiko operasional dalam pengukuran kuantitatif Pilar I;
·
Mendefinisikan risiko operasional secara lebih luas untuk
mencakup risiko yang lebih banyak, kecuali risiko reputasi, bisnis, dan
strategis.
Sensitivitas Risiko
Breadth of Coverage
Cakupan Basel II lebih luas dibandingkan Basel I, yaitu adanya:
· Risiko operasional
· Pilar 2 dan Pilar 3, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalma penetapan rasio modal.
Depth of Coverage
Cakupan Basel II lebih dalam dibandingkan Basel I terutama dalam risiko kredit. Kedalaman cakupan risiko kredit dalam Basel II:
1.
Memberikan sejumlah perbedaan terutama berdasarkan kualitas dari
peminjam, jangka waktu kontrak, dan kualitas jaminan (agunan);
2. Menggunakan dua pendekatan untuk menetapakan ATMR, yaitu:
the Standarised Approach
Menggunakan peringkat dari public rating agency.
the Internal Rating-Based Approach
Menggunakan peringkat buatan snediri (minimum delapan peringkat).
Kecukupan Modal
Persyaratan
kecukupan modal dalam Basel II, sama dengan Basel I yakini minimum 8%,
BCBS yakin bahwa 8% target capital ratio untuk bank internasional tetap
valid. Basel II bertujuan untuk membuat persyaratan modal semakin
mendekati profil risiko dari setiap bank. Tentu saja ada kemungkinan
besarnya modal yang dibutuhkan akan berbeda (dapat lebih besar atau
lebih kecil) dari besarnya modal yang diwajibkan menurut ketentuan Basel
I.
Dalam praktiknya, banyak bank yang memiliki rasio modal sebesar
10% hingga 12% di atas persyaratan 8% (memiliki ‘excess’ capital). Bank
biasanya jarang memberitahukan bagaimana modal akutal ditetapkan. Namun,
ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi keputusan tersebut:
1. Apabila rasio modal minimum dilanggar, bank dapat dicabut lisensi atau izinnya.
2. Supervisor dapat menetapkan rasio modal di atas tingkat minimum (8%) yang ditetapkan oleh Basel.
3.
Beberapa bank besar memiliki modal internal yang sesuai dengan
profil risiko dari portofolio bank (disebut ‘economic capital’).
Internal model sering menghasilkan hasil perhitungan modal yang lebih
tinggi.
4. Bank sebagai institusi komersial memiliki rencana
bisnis jangka panjang (rencana pertumbuhan), baik yang akan dicapai
secara organik ataupun melalui akuisisi, yang semuanya akan membutuhkan
tingkat modal yang tinggi.
5. Karena tidak ada kepastiaan akses
ke pasar modal, maka banyak bank yang tidak mau menggantungkan rencana
kerja mereka pada ketersediaan modal dair pasar modal. Dengan demikian,
lebih baik memiliki modal berlebih.
Pada proses implementasi
Basel II, BCBS ingin memastikan BaselII tidak akan membuat jumlah modal
yang diwajibkan sebelumnya (menurut Basel I) menjadi lebih kecil, baik
dalam sistem perbankan secara keseluruhan maupun pada tiap bank.
Oleh karena itu, BCBS memakai dua ‘transitional arrangments’:
1. Faktor pengali (106%)
Supervisor
akan menggunakan sebuah faktor penggali untuk memastikan bahwa minimum
rasio modal sebesar 8% dapat terjaga. Faktor pengali akan ditetapkan
pada semua bank yang menggunakan Internal Rating Based (IRB) Approach
untuk risiko kredit atau Advanced Measurement Approach (AMA) untuk
risiko operasional. Dari hasil QIS 3 (Quantitative Impact Study 3)
faktor pengali adalah 106%.
2. Capital floor
Setiap bank
tidak akan diizinkan merealisasi manfaat pengurangan modal secara cepat.
Bank harus mengikuti fase yang disetujui supervisor, antara periode
akhir tahun 2005 sampai dengan 2008. Arrangements tersebut berdasarkan
pada sebuah capital ‘floor’ yang akan berkuarang seiring dengan
berjalannya waktu.
Tiga Pilar Basel II
Pilar 1 – Persyaratan Modal Minimum
Dalam
Pilar 1, bank diharuskan menghitung modal minimum untuk risiko kredit,
risiko pasar, dan risiko operasional. Untuk traded market risk, tidak
ada perbedaaan dari apa yang telah didefenisikan dalam Market Risk
Amendment. Sebagai catatan, interest rate risk in the banking book
(risiko bunga dalam banking book) tidak tercakup dalam Pilar 1 (tetapi,
tercakup di Pilar 2).
Pilar 2 – Supervisory Review
Pilar 2
bertujuan untk menformalkan praktik yang sudah dilakukan oleh banyak
regulator, dan sangat mirip dengan pendekatan risk based supervision
yang dilakukan oleh Federal Reserve Board (USA), dan the Financial
Services Authority (UK). Supervisory review didesain untuk memberi
perhatian pada setiap persyaratan modal yang melebihi tingkat minimum
yang dihitung berdasarkan Pilar 1 dan tindakan dini yang diperlukan
untuk mengatasi risiko yang baru muncul.
Supervisory review merupakan
hal yang penting untuk memastikan kepatuhan atas persyaratan modal
minimum dan untuk mendorong bank mengembangkan serta menggunakan teknik
manajemen risiko yang terbaik. Pilar 2 menetapkan prinsip-prinsip dari
proses supervisory review yang harus digunakan untuk supervisor dalam
melakukan evaluasi kecukupan modal bank.
Pilar 2 juga membahas tiga area utama di luar cakupan Pilar 1, yaitu:
· Risiko yang tidak sepenuhnya dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko konsentrasi kredit);
· Risiko yang sama sekali tidak dibahas dalam Pilar 1 (misal, risiko suku bunga dalam banking book);
· Faktor-faktor eksternal terhadap bank (antara lain pengaruh siklus bisnis).
Proses Assessment Modal
Assessment modal adalah proses yang berkelanjutan dan merupakan bagian integral dari aktivitas pengelolaan bisnis bank.
Proses
ini tidak hanya mengevaluasi modal saat ini, tetapi juga melakukan
estimasi modal di masa depan. Manajemen bank akan menggunakan estimasi
modal pada setiap lini bisnisnya untuk menetapkan modal bank
keseluruhan. Selain itu, manajemen bank juga akan memonitor modal saat
ini (actual0 terhadap target, sebagai bagian dari pengawasan operasional
bank.
Dewan direksi dan manajemen senior bank memiliki
tanggung jawab untuk memastikan kecukupan modal termasuk yang tidak
tercakup dalam Pilar 1. Manajemen bank bertanggung jawab mengembangkan
proses assessment modal, di mana proses tersebut mengevaluasi risiko dan
sistem pengendalian risiko di seluruh bagian bank.
Mekanisme untuk Memastikan Kualitas Proses Assessment Modal
Kualitas
dari proses assessment modal akan dievaluasi oleh supervisor. Evaluasi
ini, dikombinasikan dengan faktor-faktor lainnya, akan menjadi dasar
penetapan rasio modal bank.
Jika proses tersebut dianggap tidak
berkualitas, maka rasio modal akan ditetapkan lebih tinggi. Rasio modal
yang lebih tinggi akan mengurangi tingkat aktivitas bisnis, dan akan
mengakibatkan turunnya laba bank. Akibatnya, bank akan berusaha
mengembangkan dan menjaga proses assessment modal yang berkualitas
tinggi (artinya, mekanisme ini memiliki insentif komersial dan juga
prudensial). Mekanisme tersebut adalah faktor kunci dalam proses
supervisory review, karena hal ini memastikan bahwa proses pemenuhan
regulasi adalah bagian integral dari pengelolaan bank.
Namun perlu dicatat, bahwa kenaikan modal bukan merupakan subtitusi
untuk memperbaiki ketidakcukupan atua kegagalan proses assessment.
Meskipun supervisor dapat menetapkan rasio modal yang lebih tinggi
mereka juga dapat menggunakan cara perbaikan lain yaitu:
· Menetapkan target untuk perbaikan struktur manajemen risiko;
· Memperkenalkan prosedur internal yang lebih ketat;
· Memperbaiki kualitas karyawan melalui training dan rekrutmen;
Dalam
kasus yang ekstrem, supervisor dapat mengurangi tingkat risiko atau
aktivitas bisnis, sampai permasalahan diselesaikan atau dapat
dikendalikan. Misalkan, supervisor dapat memaksa bank untuk keluar dari
pasar tertentu sampai situasi dapat diatasi.
BCBS melihat proses
supervisory review sebagai dialog aktif antara bank dengan supervisor.
Dengan demikian, permasalahan yang timbul dapat diidentifikasi dan dapat
ditindak lanjuti dengan cepat untuk memulihkan posisi modal bank sampai
pada tingkat yang memuaskan.
Empat Prinsip Penting Pengawasan
BCBS menetapkan 25 prinsip utama pengawasan dalam “Core
Principles for Effective Banking Supervision”, yang dikeluarkan pada
September 1997. Pilar 2 mengidentifikasikan empat (4) prinsip penting
supervisory review sebagai pelengkap 25 prinsip utama. Prinsip-prinsip
utama (25 prinsip) meliputi 7 hal sebagai berikut:
· Prakondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif,
· Izin dan struktur,
· Peraturan yang prudent,
· Metode Pengawasan perbankan yang berkelanjutan,
· Persyaratan informasi,
· Kekuasaan formal (formal powers)
· Perbankan antarnegara (cross-border banking).
Prinsip
1: Bank harus memiliki proses untuk menilai kecukupan modal secara
keseluruhan dalam hubungannya dengan profil risiko dan strategi untuk
menjaga tingkat modal. Manajemen bank memiliki tanggung jawab untuk
memastikan bahwa bank memiliki modal yang cukup untuk memenuhi
kewajibannya sekarang dan masa yang akan datang. Target modal harus
ditetapkan dengan integritas dan harus konsisten dengan profil risiko
dan situasinya. Target harus menjadi bagian integral dari rencana
strategis bank dan harus mencakup stress testing.
Basel II memberikan gambaran lima ciri khas dari suatu proses penilaian modal yang mendalam, yaitu:
1. Pengawasan dewan dan manajemen senior,
2. Assessment modal yang baik,
3. Assessment risiko yang komprenhensif,
4. Monitoring dan pelaporan,
5. Review dan kontrol internal.
Prinsip
2: Pengawas (supervisor) harus melakukan review dan mengevaluasi bank
dalam melakukan assessment dan strategi kecukupan modal bank, serta
mengevaluasi kemampuan bank memonitor dan memastikan kepatuhan mereka
terhadap rasio modal. Pengawas harus melakukan tindakan pengawasan yang
tepat jika tidak puas dengan hasil dari proses tersebut. Proses
supervisory review secara berkala harus:
· Memeriksa perhitungan eksposur risiko dna transaksi risiko tersebut ke dalam modal yang dipersyaratkan;
· Fokus pada kualitas dari proses dan kualitas dari kontrol internal atas proses tersebut;
· Memeriksa framework dari assessment model untuk mengidentifikasi setiap kelemahan atau kekurangan;
· Tidak memberikan rekomendasi terhadap struktur dari framework karena ini adalah tugas dari manajemen bank.
Proses review dapat mencakup kombinasi dari beberapa metode pengumpulan informasi berikut:
· On-site visits (kunjungan ke bank)
· Off-site review (review tanpa kunjungan ke bank)
· Pertemuan dengan manajemen bank
· Melakukan review perkerjaan yang relavan yang dilakukan oleh auditor eksternal
· Monitoring atas laporan rutin
Prinsip
3: Pengawas hars meminta bank untuk beroperasi di atas rasio modal
minimum dan harus memiliki kemampuan untuk meminta bank memiliki modal
di atas minimum.
Prinsip 4: Pengawas harus melakukan intervensi
dini untuk mencegah modal menurun di bawah tingkat minimum yang
dipersyaratkan dan harus meminta tindakan pemulihan yang segera apabila
modal tidak dijaga atau dipulihkan. Jika bank gagal untuk menjaga modal
yang dipersyaratkan, pengawas dapat menggunakan wewenangnya untuk
memperbaiki keadaan. Pengawas dapat meminta peningkatan modal bank
sebagai ukuran jangka pendek sambil menunggu permasalahan diatasi.
Peningkatan modal akan dibatalkan jika pengawas merasa puas terhadap
bank yang telah mampu mengatasi permasalahannya.
Pilar 3 – Disclosure (Pengungkapan)
Pilar
3 adalah pilar disiplin pasar (market discipline). Disiplin pasar,
menurut BIS (The Book for International Settlements), adalah mekanisme
governance baik internal maupun eksternal dalam perekonomian pasar bebas
di mana terjadi kekosongan intervensi pemerintah secara langsung.
Pilar 3:
· Mencaku apa saja yang akan dipersyaratkan dalam pengungkapan bank kepada publik;
· Didesain untuk membantu pemegang saham dan analis;
· Mengarahkan ke perbaikan transparansi pada isu-isu portofolio aset bank dan profil risiko bank.
Sifat Disclosure
Disclosure
adalah penyebaran informasi yang material kepada masyarakat luas untuk
mengevaluasi bisnis perusahaan. Pada umumnya disclosure dipandang
penting karena akan memberikan informasi yang relevan kepada investor
maupun calon investor mengenai kinerja perusahaan, baik saat ini maupun
di masa depan. Oleh karena itu, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan
di pasar modal harus memenuhi persyaratan disclosure yang lebih berat
dibandingkan dengan perusahaan yagn dimiliki perorangan.
Pada
tahun-tahun terakhir ini, disclosure semakin dipandang sebagai mekanisme
penting untuk menyampaikan atau mewujudkan isu-isu kebijakan publik,
seperti:
· Melakukan perbaikan corporate governance sebagai
rekasi atas kasus skandal enron & Worldcom yang terjadi di Amerika
Seriakt dan Parmalat di Italia
· Memperbaiki transparansi dari
kebijakan perusahaan yang memberikan dampak kepada kebijakan publik
seperti isu-isu kesenjangan sosial, keberagaman ras, lingkungan, dan isu
konservasi.
Laporan Keuangan
Pada umumnya, perusahaan (baik
perusahaan publik maupun keluarga) diminta untuk menerbitkan laporan
keuangan (misalnya laporan rugi laba, neraca, laporan pajak). Laporan
keuangan tersebut harus ditandatangani oleh auditor eksternal dan dibuat
sesuai dengan standar akuntansi nasional atau jika dimungkinkan, sesuai
International Accounting Standard.
Persyaratan Otoritas Pasar Modal
Bagi
perusahaan yang telah tercatat di bursa, mereka harus mematuhi
keterbukaan tersebut sesuai ketentuan pasar modal yang berlaku.
Ketentuan listing mengharuskan publikasi atas laporan yang beragam
dikenal sebagai fillings. Otoritas pasar modal adalah lembaga yang
sangat memperhatikan kepentingan pemegang saham, dan pada umumnya
fillings memuat informasi keuangan yang sangat detail. Otoritas pasar
modal tidak hanya membuat ketentuan sendiri, tetapi juga bertanggung
jawab untuk melaksanakan keterbukaan yang dipersyaratkan oleh regulator
lainnya.
Perundang-Undangan
Contoh yang paling baik adalah
diundangkannya US Sarbanes-Oxley Act 2002 yang memperkenalkan
persyaratan wajib untuk akuntabilitas perusahaan. Salah satu persyaratan
adalah chief executive dan chief financial officer dari perusahaan yang
listing di pasar modal US harus menyatakan kebenaran atas laporan
keuangannya secara terbuka kepada publik. Bab 404 dari UU tersebut juga
mensyaratkan keterbukaan atas dokumentasi, pengujian dan verifikasi dari
auditor eksternal atas kualitas dari kontrol internal perusahaan
terhadap laporan keuangannya.
UU ini dilaksanakan melalui SEC (the Securities and Exchange Commission), otoritas pasar modal Amerika Serikat.
Sudut Pandang Manajemen Perusahaan
Merupakan
suatu hal yang penting untuk melihat bagaimana dewan direksi dan
manajemen senior memilih untuk melaporkan seluruh aktivitasnya kepada
stakeholder. Hal ini secara signifikan akan menunjukkan bagaimana
perusahaan dijalankan. Laporan tersebut menunjukkan prioritas,
kebijakan, dan bagaimana kinerja perusahaan dari sudut pandang dewan
direksinya. Inilah mengapa bank-bank besar di dunia menetapkan standar
pelaporan yang tinggi tentang bagaimana perusahaan dikelola.
Isu-Isu Lainnya
Di
beberapa negara, seperti Inggris, peraturan untuk keterbukaan
perusahaan relatif lebih jelas. Selain meliputi laporan keuangan
peraturan menfokuskan pada kode etik (codes of practice) (misalnya The
Combined Code, dan prinsip-prinsip disclosure). Ada berbagai perusahaan
lainnya, tidak hanya di Inggris, yang diwajibkan dan melaksanakan
disclosure yang meliputi isu-isu seperti keberagaman lingkungan,
persamaan hak, dan afiliasi politik.
Disclosure adalah isu yang luas.
Aspek-aspek disclosure yang dicakup dalam Basel II hanyalah bagian dari
disclosure yang harus dilakukan bank sebagai bagian dari aspek hukum
dan kewajiban terhadap peraturan. Pengungkapan atas kinerja operasional
perusahaan (meliputi seluruh kebijakan dan prosedur), didesain untuk
memberikan informasi kepada para investor dan analis. Hal ini
memungkinkan mereka mengambil kesimpulan terhadap prospek perusahaan
saat ini dan masa depan.
Akhir-akhir ini, disclosure
digunakan lebih jauh untuk kebijakan sosial lainnya, yaitu lebih
memperhatikan sudut pandang stakeholder, daripada hanya pemegang saham,
dalam melihat kinerja perusahaan.
REGULASI DI INDONESIA
Peran Bank Indonesia
Sasaran Utama dan Tugas-Tugas Strategis
Bank
Indonesia (BI) bertindak sebagai bank sentral dari sistem perbankan
Indonesia. BI adalah lembaga negara yang independen dari kontrol
pemerintah. Sasaran utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah.
Untuk mencapai sasaran utama tersebut, BI bertanggung jawab untuk:
· merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan moneter
· memelihara dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
· mengatur dan mengawasi bank
Kebijakan Moneter
Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter dengan
menetapkan secara resmi target suku bunga, yaitu BI Rate. Suku bunga ini
setara dengan suku bunga pasar satu bulan dan ditetapkan sebagai bagian
dari Kerangka Kerja (Framework) Target Inflasi Bank Indonesia
(Inflation Targetting Framework). BI Rate ditetapkan pada pertemuan tiga
bulanan (kuartalan). Dewan Gubernur, walaupun dapat juga ditetapkan
dalam pertemuan bulanan, jika diperlukan. Penetapan BI Rate merupakan
alat utama operasi pasar BI dalam mengelola kebijakan moneter. Operasi
pasar Bank Indonesia yang lainnya adalah:
· Operasi pasar terbuka untuk mempengaruhi tingkat likuiditas
· Menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk memperketat atau memperlonggar kebijakan moneter
· Bertindak sebagai lender of last resort untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek.
· Menetapkan kebijakan nilai tukar untuk menjaga stabilitas nilai rupiah
· Mengelola cadangan devisa (reserve) untuk menfasilitasi perdagangan internasional.
Sistem Pembayaran
Bank
Indonesia adalah satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk
mencetak dan mengedarkan uang rupiah. BI juga bertanggung jawab atas
sistem kliring untuk pembayaran rupiah dan valuta asing.
Bank Indonesia telah mengembangkan sistem pembayaran nasional. Sistem
tersebut menawarkan metode pembayaran yang berbeda seperti fasilitas
secara elektronis, kartu, warkat, uang kertas, dan fasilitas DVP
(Delivery Versus Payment), yang digunakan dalam penyelesaian transaksi
antar valuta. Sistem pembayaran nasional terbagi dalam beberapa sub
sistem yang berbeda, yaitu:
· Sistem Kliring Elektronik
· Jadwal Kliring T+0
· Layanan informasi dan transaksi elektronik antar bank (BI-LINE)
· The Real Time Gross Settlement System (RTGS).
Peraturan dan Pengawasan
Bank Indonesia mengeluarkan peraturan perbankan dan memberikan izin operasi bagi bank. Di samping itu, BI juga:
· Menyetujui pembukaan atau penutupan kantor bank.
· Menyetujui kelayakan dari pemilik bank dan manajemen
· Memberikan izin bank untuk melakukan aktivitas perbankan tertentu.
BI
melaksanakan peran pengawasan dengan menggunakan suatu gabungan atas
pemantauan (monitoring) langsung yang didasarkan pada pengujian di bank
(on-site examinations) dan kehadiran di bank (on-site presence / OSP).
BI juga melaksanakan pengawasan tanpa kunjungan ke bank (off-site
supervision) yang didasarkan atas laporan bank.
Sistem dan Regulasi Perbankan Indonesia
Peraturan perbankan telah tumbuh cepat sejak tahun 1998
sebagai jawaban terhadap banyaknya tantangan di pasar keuangan domestik.
Banyak bidang pasar keuangan yang telah dicakup dalam regulasi baru,
yang menciptakan sebuah kerangka regulasi yang komprehensif. Bank
Indonesia telah mengumumkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang
mengatur arah, gambaran, dan struktur kerja perbankan Indonesia dalam
jangka waktu 5 sampai 10 tahun ke depan.
Perubahan-perubahan tersebut akan diimplementasikan secara bertahap dan mencakup misi berikut:
· Memperkuat struktur perbankan nasional,
· Meningkatkan kualitas regulasi bank,
· Meningkatkan fungsi supervisi,
· Meningkatkan kualitas manajemen dan operasional bank,
· Mengembangkan infrastruktur perbankan,
· Meningkatkan perlindungan kepada konsumen.
Peraturan Bank Indonesia 5/8/PBI/2003
Cakupan Manajemen Risiko di Bank
Ketentuan
umum tentang pelaksanaan manajemen risiko tertuang dalam ketentuan BI
No. 5/8/PBI/2003: “Penetapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum”. Ketentuan
tersebut menekankan pada risiko yang dihadapi bank dalam melakukan
kegiatan bisnisnya dan struktur pengawasan yang diperlukan untuk
mengelola risiko tersebut, yang meliputi:
· Identifikasi risiko,
· Pengukuran risiko,
· Pemantauan risiko,
· Pengendalian risiko.
Manajemen risiko yang terintegrasi mengharuskan bank untuk:
· Mengelola risiko-risiko dalam satu struktur manajemen risiko yang terintegrasi, dan
· Membangun sistem dan struktur manajemen yang memadai untuk mencapai hal tersebut.
Peraturan tersebut ditetapkan untuk bank umum, yang meliputi:
· Bank yang berbadan hukum PT,
· Bank yang dibentuk berdasarkan undang-undang pemerintah daerah (BPD)
· Bank yang didirikan dengan undang-undang koperasi
· Cabang dari bank asing.
Direksi setiap bank memiliki tugas untuk mengelola risiko secara efektif. Untuk itu dibutuhkan:
·
Pengawasan aktif dewan komisaris, dewan direksi dan pejabat
(staff) manajemen risiko terhadap risiko yang diambil oleh bank.
· Kebijakan dan prosedur untuk menetapkan limit dari risiko-risiko yang diambil bank.
· Prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko.
· Struktur manajemen informasi yang layak untuk mendukung manajemen risiko.
· Struktur pengendalian internal untuk mengelola risiko-risiko.
Struktur Manajemen Risiko
Direksi
dan manajemen bank, yang secara formal bertanggung jawab atas penerapan
atas kebijakan manajemen risiko yang efektif harus mempertimbangkan:
· sasaran dan kebijakan bank
· kompleksitas model bisnisnya
· kemampuan bak untuk mengelola bisnisnya
Bank
Indonesia mengharapkan bank yang memiliki operasi bisnis yang sangat
kompleks termasuk trading mata uang dan obligasi, kredit dalam valuta
asing, dan sekuritasasi harus memiliki struktur manajemen risiko yang
lebih kompleks dibandingkan bank yang secara relatif hanya memiliki
bisnis tabungan dan pinjaman yang sederhana.
Struktur manajemen
risiko harus didesain untuk memastikan bahwa unit pengambil risiko
(risk-taking unit) bersifat independen dari unit audit internal dan juga
independen dari departemen manajemen risiko.
Risiko yang Wajib Dikelola oleh Bank
Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank memiliki struktur manajemen yang mencakup risiko-risiko sebagai berikut:
· Risiko pasar
· Risiko kredit
· Risiko operasional
· Risiko likuiditas yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
Jika bank memiliki model bisnis yang lebih kompleks, Bank Indonesia mewajibkan bank juga mengelola:
· Risiko hukum atau legal
· Risiko reputasi
· Risiko strategik
·
Risiko kepatuhan yaitu risiko yang timbul karena bank tidak
mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan lain yang berlaku.
Jika sebuah bank menderita kerugian
sehubungan dengna adanya beberapa risiko yang telah dijelaskan tersebut,
bank diharuskan untuk melakukan monitoring terhadap perilaku risio
tersebut di masa depan.
Pengawasan Aktif oleh Dewan Komisaris, Direksi & Manajemen
Tanggung jawab utama dari dewan komisaris dan dewan direksi
adalah menetapkan jenis risiko yang mana harus dikelola oleh satuan
kerja manajemen risiko mengingat kompleksitas bisnis mereka. Dewan
komisaris dan dewan direksi harus juga menetapkan pembagian wewenang dan
tanggung jawab manajemen risiko kepada dewan direksi dan manajemen.
Wewenang dan tanggung jawab dari dewan komisaris dan dewan direksi meliputi:
· Menyetujui dan mengevaluasi kebijaka manajemen risiko
· Membagi tanggung jawab dari manajemen untuk melaksanakan kebijakan manajemen risiko.
· Menetapkan jenis transaksi yang membutuhkan persetujuan khusus dewan komisaris.
Wewenang dan tanggung jawab manajemen harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
· Membuat dokumentasi yang menggambarkan strategi dan kebijakan manajemen risiko.
· Menerapkan dan mengelola manajemen risiko dalam batasan ‘risk appetite’ bank.
· Menetapkan jenis transaksi yang membutuhkan persetujuan dari pejabat senior manajemen risiko.
· Mengembangkan budaya risiko dalam bank.
· Mengembangkan keahlian manajemen risiko untuk semua personil yang terkait.
· Memastikan bahwa manajemen risiko dan manajemen bisnis beroperasi secara independen.
· Melakukan review secara periodik terhadap:
Akurasi risk assessment atas suatu transaksi atau nasabah tertentu dibandingkan dengan kerugian yang terjadi (actual losses).
Akurasi dan kelengkapan informasi manajemen risiko dan kualitas sistem pendukungnya.
Kesesuaian
penetapan limit risiko dan kualitas prosedur pendukung alokasi limit
risiok tersebut yaitu apakah persoil yang tepat telah mendapatkan limit
yang tepat untuk mengelola risiko yang merupakan tanggugn jawabnya.
· Menghitung dan melaporkan:
Keseluruhan risk appetite bank, yaitu jumlah total risiko yang akan diambil bank.
Keseluruhan risk profile bank, yaitu distribusi dari total risiko tersebut ke semua lini bisnis bank
Kemampuan bank untuk mengelola risiko tersebut dalam profil dan limit yang telah disetujui.
Prosedur Kebijakan dan Penetapan Limit
Kebijakan
manajemen risiko harus meliputi penilaian (assessment) terhadap risiko
yang berhubungan dengan masing-masing produk dari transaksi. Penilaian
tersebut meliputi:
· Metode yang cocok untuk mengukur risiko;
· Kecukupan informasi yang dibutuhkan untuk menilai risiko (diambil dari sistem informasi manajemen bank);
· Penetapan limit untuk total risiko, yang merupakan risk appetite;
· Proses penilaian risiko dalam bentuk ranking system, seperti credit grading process;
· Suatu penilaian terhadap ‘worst case scenario’ untuk risiko yang dihadapi bank;
· Memastikan adanya pengendalian yang tepat untuk semua risiko misalnya review secara rutin.
Dewan
direksi dan senior manajemen harus membuat proses untuk membangun risk
appetite bank, yang harus meliputi poses penetapan limit yang baik.
Penetapan limit risko yang harus meliputi:
· Pendelegaian
wewenang secara jelas dan tertulis untuk memastikan akuntabilitas
individual wewenang tersebut harus didokumentasikan untuk setiap
deskripsi kerja individual dan akan menjadi referensi silang
(cross-referenced) kepada otoritas (supervisor) dalam bentuk daftar
wewenang dari seluruh anggota dewan dan manajemen bank.
·
Limit secara keseluruhan dan limit dalam periode waktu tertentu, di mana
pada setiap kasus, limit tersebut harus didokumentasikan berdasarkan
penetapan bertahap (ladder), misalkan limit suku bunga untuk kontrak
forward.
· Dokumentasi keseluruhan untuk memastikan proses penilaian limit.
Limit risiko harus ditetapkan berdasarkan:
· Jumlah keseluruhan, yaitu risk appetite;
· Jenis risiko misalnya risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, dsb.
· Fungsi mislanya treasury, manajemen cabang, manajemen risiko, anggota direksi.
Informasi dan Analisis Informasi
Proses Identifikasi Risiko
Identifikasi
faktor-faktor risiko biasanya dilakukan oleh unit manajemen risiko
setelah melakukan konsultasi dengan trading department. Untuk melakukan
identifikasi faktor-faktor risiko, unit manajemen risiko akan mencari
harga penutupan harian yang independen untuk setiap faktor. Hal ini
untuk memastikan bahwa revaluasi posisi bank ditetapkan secara
independen.
Proses ini harus dilengkapi dengan analisis
harian kinerja aktivitas trading untuk memastikan bahwa laporan
rugi-laba konsisten dengan profil risiko bank.
Dewan direksi bank memiliki tugas umum untuk memastikan bahwa:
· Seluruh risiko harus diidentifikasikan;
· Seluruh risiko diukur, dipantau, dan dikendalikan;
· Pengukuran risiko didukung oleh informasi yang terkini (up to date), akurat, dan lengkap.
Implementasi, Pemantuan, Manajemen dan Kontrol
Proses analisis risiko harus mengidentifikasi seluruh
karakteristik risiko bank (biasanya dimulai dengan membagi jenis bisnis
yang diambil), sebagaimana risiko yang berhubungan dengan masing-masing
produk dan aktivitas bisnis bank. Jadi, hal ini akan berhubungan dengan
faktor risiko dan juga akan mempertimbangkan risiko-risiko lain (misal,
performance risk dan confidentiality risk).
Dalam cakupan analisis risiko yang didasarkan pada produk dan bisnis, maka pengukuran risiko harus:
· dibuat dalam periode waktu;
· menyebutkan sumber data yang digunakan;
· menyebutkan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko;
· memiliki kemampuan untuk menunjukkan setiap perubahan yang terjadi pada profil risiko bank.
Proses
monitoring risiko harus mengevaluasi seluruh eksposur risiko dan
membuat proses pelaporan yang merefleksikan setiap perubahan profil
risiko bank.
Proses manajemen risiko harus membuat struktur yang
dapat mengelola setiap risiko yang diperkirakan akan menjadi ancaman
potensial terhadap kelangsungan bisnis bank.
Pada akhirnya, proses mengontrol risiko harus meliputi proses asset & liability management (ALM) untuk manajemen:
· Risiko nilai tukar;
· Risiko suku bunga;
· Risiko likuiditas
Sistem Informasi
Chief
Risk Officer harus secara teratur melakukan review atas laporan risiko
yang dihasilkan oleh sistem manajemen risiko. Sistem informasi manajemen
risiko harus mampu memberikan laporan:
· Seluruh eksposur risiko;
· Eksposur aktual dibandingkan dengan limit yang diterapkan;
· Outcome aktual karena mengambil suatu risiko misal kerugian dibandingkan dengan risk appetite.
Kontrol Internal
Dewan direksi harus memastikan bahwa bank
mengimplementasikan sistem kontrol internal berdasarkan aktivitas bisnis
terhadap operasi bank secara keseluruhan.
Sistem kontrol
internal harus mampu mengidentifikasikan setiap kegagalan pengontrolan
(pengendalian), serta deviasi dari kebijakan, prosedur, dan proses yang
dimiliki bank. Sistem kontrol internal harus:
· Memenuhi Peraturan Bank Indonesia;
· Memenuhi aturan internal bank yang ditetapkan oleh dewan direksi dan manajemen;
· Menggunakan informasi finansial dalam proses pelaporan yang komprehensif, akurat dan up-to-date.
· Mampu mendukung manajemen dalam membuat keputusan untuk menerima atau menurunkan risiko.
· Membangun budaya pelaporan berbasis risiko di seluruh bank.
Peran Internal Audit
Internal audit merupakan seubah fungsi yang independen di
bank. Tugas utamanya adalah melakuka penilaian berkelanjutan, melalui
penyusunan laporan yang menganalisis metodologi, prosedur dan proses di
dalam organisasi manajemen risiko bank. Dalam perannya ini, sudah umum
apabila departemen audit internal mempertanggungjawabkan tugasnya kepada
Presiden Direktur bank, dan tidak kepada Chief Risk Officer.
Laporan tertulis audit internal biasanya harus mencakup:
· Kelayakan sistem kontrol internal bank terhadap jenis risiko yang dihadapi bank.
·
Penilaian kepatutan terhadap kebijakan, prosedur dan limit yang
disusun oleh bank dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai supervisor
bank.
· Independensi fungsi manajemen risiko dari manajemen bisnis
·
Struktur bank yang menunjukkan organisasi dan pemisahan yang
jela antara garis komando/perintah dan pelaporan untuk manajemen risiko,
manajemen bisnis, dan internal audit.
· Akurasi dan ketepatan waktu seluruh pelaporan keuangan dan pelaporan sistem informasi.
· Kepatuhan terhadap ketentuan wajib Bank Indonesia dan ketentuan lainnya.
· Independensi dan objektivitas dari fungsi manajemen risiko.
· Kecukupan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan bisnis oleh manajemen.
· Kecukupan dokumentasi untuk mendukung proses operasional biasanya melalui pembuatan mapping.
·
Kualitas tanggapan manajemen dan jangka waktu pemberian
tanggapan terhadap pertanyaan dari audit internal maupun eksternal.
· Kelemahan operasi bank dan tanggapan manajemen terhadap kelemahan tersebut.
Unit Manajemen Risiko
Organisasi dan Fungsi Manajemen Risiko
Dewan
direksi bank memiliki kewajiban untuk menciptakan struktur organisasi
guna mengelola risiko bank, yang meliputi komite manajemen risiko dan
unit manajemen risiko. Keanggotaan dari komite manajemen risiko harus
terdiri atas mayoritas dewan direksi bersama dengan executive officers
yang sesuai.
Komite manajemen risiko harus memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama terhadap isu-isu berikut:
· Kebijakan, strategi, dan penerapan manajemen risiko
·
Setiap proses perubahan yang diakibatkan oleh rekomendasi audit
internal atau evalausi lainnya dari proses manajemen risiko;
·
Menjelaskan kepada Bank Indonesia dan dewan direksi, setiap keputusan
yang dibuat oleh bank yang tidak sesuai dengan kebijakan manajemen
risiko yang telah dibuat.
Struktur Unit Manajemen Risiko
Persyaratan untuk struktur unit manajemen risiko adalah:
· Harus cukup untuk mengontrol ukuran an kompleksitas dari risiko yang akan diambil bank;
· Memiliki independensi operasional dan pelaporan dari unit bisnis,
· Melapor ke anggota dewan direksi (Chief Risk Officer).
Unit manajemen risiko harus bertanggung jawab untuk:
· Memonitor penerapan strategi manajemen risiko yang telah disetujui oleh dewan direksi bank dan BI;
·
Memonitor semua tingkatan risiko yang akan diambil oleh bank dan
membandingkan dengan risk appetite bank keseluruhan (seperti yang
disetujui oleh dewan direksi dan BI).
· Memonitor tingkat
risiko yang diambil bank dibandingkan dengan limit risiko yang telah
diterapkan untuk setiap jenis risiko;
· Melaksanakan stress test;
·
Melakukan review secara berkala terhadap prosedur dan proses
manajemen risiko bank (misalnya proses pemberian kredit, dan lain-lain);
· Menguji proposal produk dan layanan baru;
·
Melakukan pengujian secara berkala terhadap kemamuan prediktif
model risiko (misalnya, realisasi kredit macet dibandingkan prediksi
yang dihasilkan oleh model).
· Membuat rekomendasi kepada komite manajemen risiko terhadap seluruh aspek proses manajemen risiko.
· Melaporkan secara berkala risk profile bank kepada pimpinan unit manajemen risiko dan komite manajemen risiko.
Unit Operasional dan Unit Manajemen Risiko
Unit operasional bank harus memberikan laporan eksposur risiko yang lengkap kepada unit manajemen risiko secara berkala.
Pengenalan Produk dan Layanan Baru
Bank
harus mendokumentasikan proses dan prosedur pengenalan produk dan
layanan baru, termasuk wewenang yang berhubungan dengan manajemen
terkait.
Dokumentasi tersebut harus meliputi:
· Sistem dan prosedur (berikut perubahannya) untuk penerapan produk dan layanan baru;
· Pemberian wewenang untuk mengenalkan produk dan layanan baru;
· Laporan lengkap mengenai risiko yang berhubungan dengan produk dan layanan baru;
· Metode untuk mengukur dan memonitor risiko yang berhubungan dengan produk dan layanan baru;
· Penilaian risiko hukum yang berhubungan dengan pengenalan produk dan layanan baru;
· Pernyataan terbuka untuk nasabah terhadap risiko yang melekat dengan produk dan layanan baru.
Laporan Bank Kepada BI
Laporan Profil Risiko
Bank
harus melaporkan profil risiko mereka kepada Bank Indonesia. Laporan
tersebut harus sama dengan laporan yang dihasilkan oleh unit manajemen
risiko untuk pimpinan unit (Chief Risk Officer) dan untuk komite
manajemen risiko. Laporal profil risiko harus dibuat setiap tiga bulan
yaitu Maret, Juni, September, dan Desember, serta disampaikan kepada
Bank Indonesia dalam tujuh hari setiap akhir triwulan.
Laporan Produk dan Layanan Baru
Bank
harus melaporkan kepada Bank Indonesia produk dan layanan baru untuk
nasabah. Laporan tersebut harus disampaikan kepada Bank Indonesia tujuh
hari kerja setelah produk dan layanan baru tersebut efektif
dilaksanakan.
Laporan Kerugian Finansial yang Signifikan
Setiap bank yang menderita kerugian yang signifikan, harus segera melaporkan ke Bank Indonesia.
Laporan yang Dipublikasikan
Setiap
laporan keuangan, bank harus memublikasikan informasi tentang kebijakan
dan strategi manajemen risiko, dan ketaatan mereka terhadap limit
risiko. Seluruh publikasi harus mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia.
Sanksi untuk Ketidakpatuhan
Bank Indonesia memiliki
wewenang untuk memberikan sanksi kepada bank yang tidak mematuhi
peraturan perbankan. Sanksi tersebut dapat berupa pengenaan denda,
sampai yang terberat adalah pencabutan izin bank.
Prinsip-Prinsip Corporate Governance untuk Bank
Karakteristik Corporate Governance
Corporate
goverance digambarkan sebagai serangkaian hubungan antar manajemen,
dewan direksi, stakeholder, dan pemegang saham dari perusahaan.
Corporate governance menciptakan struktur yang membantu bank dalam:
· Menetapkan sasaran;
· Menjalankan operasi bank setiap harinya;
· Memperhatikan kepentingan stakeholders bank;
· Memastikan bank beroperasi secara aman dan baik;
· Mematuhi peraturan dan perundangan yang berlaku;
· Menjaga kepentingan para deposan.
Ada beberapa teknik dan strategi yang dibutukan untuk menciptakan infrastruktur tata kelola yang baik, yaitu:
·
Nilai-nilai perusahaan, kode etik dan standar perilaku lainnya
yang layak, dan sistem yang digunakan untuk memastikan bank mematuhinya;
·
Strategi perusahaan yang dinyatakan dengan tegas di mana
kriteria keberhasilan seluruh perusahaan dan kontribusi dari
masing-masing individu dapat diukur;
· Penetapan tanggung
jawab dan wewenang pengambilan keputusan yang jelas, mempertimbangkan
hierarki atau tingkatan approval mulai dari individu sampai ke dewan
direksi.
· Membangun suatu mekanisme untuk melakukan interaksi
dan kerja sama antara dewan komisaris, dewan direksi, senior manajemen
dan auditor.
· Sistem kontrol yang kuat, termasuk fungsi audit
internal dan eksternal, fungsi manajemen risiko yang independen dari
lini bisnis, dan mekanisme checks and balances lainnya.
·
Monitoring khusus untuk eksposur risiko di mana konflik kepentingan
sangat mungkin terjadi, termasuk hubungan bisnis dengan peminjam yang
terafiliasi dengan bank, pemegang saham mayoritas, senior manajemen,
atau pengambil keputusan kunci dalam bank.
· Insentif
finansial dan manajerial agar karyawan dapat menjalankan tugasnya dengan
baik. Insentif ini harus ditawarkan kepada senior manajemen, manajemen
lini bisnis dan para karyawan dalam bentuk kompensasi, promosi atau
bentuk penghargaan lainnya.
· Adanya aliran informasi yang baik secara internal maupun kepada publik.
Struktur Corporate Governance
Struktur
corporate governance di bank memiliki berbagai variasi bergantung pada
adat setempat, hukum yang berlau, dan perkembangan historis dari
masing-masing bank. Meskipun tidak ada suatu struktur yang dapat
dikatakan ideal, ada beberapa isu tata kelola yang penting yang harus
diperhatikan untuk memastikan adanya kecukupan checks and balances yang
dibangun di dalam struktur. Check and balance yang harus melekat pada
struktur adalah:
· Pengawasan oleh dewan komisaris, dewan direksi atau dewan pengawas.
· Pengawasan oleh individu yang tidak terlibat dalam aktivitas berbagai area bisnis.
· Pengawasan langsung dari area bisnis yang berbeda.
· Manajemen risiko dari funsi audit yang independen.
· Personil kunci harus ‘fit and proper’ untuk tugas-tugasnya.
· Pelaporan secara berkala.
Implementasi Corporate Governance
Penetapan Sasaran Strategis dan Nilai-Nilai Korporasi
Penting
bagi bank untuk menetapkan dengan jelas sasaran strategis dan “etos”
perusahaan. Sama pentingnya juga melakukan komunikasi atas kebijakan
untuk seluruh area di bank. Bank yang tidak memiliki sasaran strategis
akan menemui kesulitan untuk mengelola aktivitasnya, karena tidak ada
fokus dalam memanfaatkan sumber dayanya. Dengan membentuk etos
perusahaan, bank akan dapat menjalankan bisnisnya sesuai dengan
nilai-nilai yang telah jelas didefinisikan. Penetapan nilai-nilai
perusahaan harus diterpakan ke seluruh area bank, termasuk dewan
direksi. Mereka harus mendorong pelaporan setiap masalah dengan segera
dan melarang korupsi serta penyuapan baik secara internal maupun
eksternal. Nilai-nilai ini harus didukung dengan kebijakan untuk
mencegah situasi yang dapat melawan penerapan tata kelola yang baik
(good corporate governance). Kebijakan yang jelas menegaskan nilai-nilai
bank menghadapi situasi tersebut. Dewan direksi harus memastikan bahwa
sistem dan proses telah berjalan semestinya untuk memonitor dan
melaporkan kepatuhan atas kebijakan tersebut.
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas yang Jelas
Untuk
melakukan monitoring dan controlling yang efektif atas aktivitas bank,
dewan direksi harus menetapkan secara jelas jalur wewenang dan tanggung
jawab. Proses ini harus mencakup dewan direksi sendiri. Seluruh
aktivitas bisnis harus memiliki akuntabilitas yang jelas dan tegas untuk
memastikan bahwa semua permasalahan merupakan subjek untuk menjadi
perhatian utama manajemen. Karyawan arus memiliki tingkat wewenang yang
diberikan secara jelas dan tingkatan wewenang dengan siapa mereka
berinteraksi. Batasan akuntabilitas yang jelas menciptakan lingkungan
kerja yang stabil untuk operasional manajemen bank sehari-hari dan
memungkinkan proses pengambilan keputusan yang efisien.
Tanggung Jawab Dewan Direksi
Direksi
atau yang setara memiliki tanggung jawab utama atas pengelolaan dan
kinerja bank. Itulah sebabnya, penting bagi direksi untuk:
· Memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatannya;
· Memahami perannya dalam kerangka kerja tata kelola (corporate governance framework);
· Bukan menjadi subjek atas pengaruh buruk dari pihak internal maupun eksternal.
Direksi
harus yakin bahwa mereka menerima informasi yang cukup untuk menilai
kinerja dari manajemen bank secara independen dari sudut pandang
(pengaruh) manajemen, pemegang saham, atau pemerintah. Dewan direksi
yang berkualitas akan:
· Memahami peran pengawasannya dan “duty of loyalty” mereka kepada bank dan pemegang sahamnya;
· Bertindak sebagai fungsi “checks and balances”dalam kaitannya dengan manajemen bank sehari-hari;
· Berwenang menanyakan kepada manajemen bank dan tidak ragu meminta penjelasan langsung dari manajemen bank;
· Merekomendasikan praktik yang baik yang dipelajari dari pihak atua situasi lain;
· Memberikan nasihat dengan sabar (dispassionate advice);
· Tidak melebihi kapasitasnya (not be overextended);
· Menghindari konflik kepentingan dalam aktivitasnya dengan dan komitmen kepada organisasi lainnya;
·
Mengadakan pertemuan berkala dengan senior manajemen dan audit
internal untuk menetapkan dan menyetujui kebijakan membangun komunikasi,
dan memonitor perkembangan pencapaian sasaran perusahaan;
· Tidak melibatkan diri dari pengambilan keputusan apabila merasa tidak mampu memberikan nasihat yang objektif;
· Tidak melakukan manajemen bank sehari-hari.
Komite Khusus
Direksi dapat membentuk komite khusus untuk mengawasi area-area tertentu. Komite-komite tersebut dapat meliputi area seperti:
·
Manajemen risiko yaitu melakukan pengawasan aktivitas manajemen
senior dalam mengelola risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional,
hukum dan risiko lainnya dari bank.
· Audit yaitu melakukan
pengawasan atas auditor internal dan eksternal bank dan memastikan
manajemen mengambil tindakan korektif yang layak dan tepat waktu untuk
mengontrol kelemahan dan ketidakpatuhan terhadap kebijakan, hukum, dan
peraturan.
· Remunerasi, yaitu melakukan pengawasan atas
kompensasi manajemen senior dan personel kunci lainnya dan memastikan
kompensasi telah konsisten dengan budaya, sasaran, strategi dan
lingkungan atau situasi kontrol bank.
Pengawasan Manajemen Senior
Elemen
kunci dalam good corporate governace (GCG) adalah sekelompok pejabat
yang bertanggung jawab melaksanakan bank, yaitu manajemen senior.
Manajemen senior harus melakukan pengawasan yang komprehensif terhadap
manajer lininya seperti halnya fngsi pengawasan dari dewan direksi.
Keputusan manajemen strategis harus dibuat oleh lebih dari satu manajer.
Selain itu, kondisi manajemen seperti berikut ini harus dihindari;
· Manajer senior yang terlalu terlibat dalam pengambilan keputusan bisnis;
·
Manajer senior yang ditugaskan untuk mengelola satu bidang,
tanpa memiliki persyaratan keahlian atau pengetahuan yang cukup;
·
Manajer senior yang tidak mau melakukan kontrol terhadap bawahan
yang berprestasi, karyawan kunci (seperti trader), karena takut karyawan
tersebut akan keluar dari perusahaan.
Peran Auditor Internal dan Eksternal
Peran
dari auditor internal dan eksternal sangat penting dalam kerangka kerja
corporate goverance. Dewan harus memahami bahwa mereka sangat penting
bagi dewan. Hasil auditor harus dapat digunakan untuk melakukan validasi
terhadap informasi yang diberikan oleh manajemen senior.
Proses audit dapat lebih dikembangkan oleh dewan, yaitu dengan cara:
· Memahami arti pentingnya proses audit dan mengkomunikasikan ke seluruh bank;
· Melakukan tindakan untuk mengembangkan independensi dan meningkatkan peran auditor;
· Memanfaatkan, dalam waktu dan tindakan yang efektif, baik temua auditor;
· Memastikan independensi dari pimpinan auditor melalui laporan mereka kepada dewan atau dewan komite audit;
· Meminta auditor eksternal untuk menilai tingkat efektivitas dari kontrol internal;
· Meminta waktu untuk melakukan perbaikan oleh manajemen atas permasalahan yang diidentifikasi oleh auditor;
Kebijakan Kompensasi
Sangat
penting bagi dewan direksi untuk membuat kebijakan kompensasi yang
merefleksikan budaya, sasaran, stratgi dan situasi kontrol bank. Dewan
harus menetapkan kompensasi untuk manajemen senior dan karyawan kunci
lainnya. Skema kompensasi harus didesain untuk memotivasi manajemen
senior guna melakukan yang terbaik bagi kepentingan bank. Skema tersebut
harus mencegah perilaku atau kinerja jangka pendek yang akan membuat
bank terekpos oleh risiko jangka panjang. Skala gaji harus ditetapkan
sehingga pengawai tidak terlalu bergantung pada kinerja jangka pendek
yang berkaitan dengan paket renumerasi.
Transparansi
Sulit
bagi stakeholder, pelaku pasar, dan masyarakat umum menilai efektivitas
dari dewan direksi dan manajemen senior jika tidak ada transparansi
terhadap struktur dan sasaran bank. Tata kelola yang sehat dapat
dilaksanakan dengan transparansi yang tinggi. Oleh karena itu,
keterbukaan publik harus mencakup:
· Struktur dewan (ukuran, keanggotaan, kualifikasi, dan komite)
· Struktur manajemen senior (tanggung jawab, garis pelaporan, kualifikasi, dan pengalaman)
· Struktur dasar organisasi (struktur lini bisnis, struktur hukum perusahaan)
· Informasi tentang struktur insentif bank (kebijakan renumerasi, komponen eksekutif, bonus, stock options).
· Transaksi dengan pihak terafiliasi.
Jenis-Jenis Risiko
· Risiko Pasar dan Risiko Treasury
· Risiko Kredit
· Risiko Operasional
· Risiko Lainnya
Risiko Pasar dan Risiko Treasury
Karakteristik Risiko Pasar
Risiko
pasar adalah risiko kerugian dari posisi on dan off-balance sheet yang
ditimbulkan dari pergerakan harga pasar. Risiko ini menimbulkan dampak
pada bank yang memiliki posisi instrumen keuangan pada neracanya. Namun,
risiko ini tidak menimbulkan dampak jika bank hanya bertindak sebagai
intermediaries dalam suatu transaksi.
Risiko Pasar Terdiri Atas:
· Risiko spesifik (specific risk)
Risiko
spesifik adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan
harga pada pasar sekuritas yang hanya dialami oleh penerbit dari
sekuritas tersebut.
· Risiko pasar umum (general market risk)
Risiko
pasar umum adalah risiko yang timbul karena adanya perubahan pergerakan
harga pasar sehingga berdampak pada seluruh pasar dan pada sejumlah
instrumen.
General market risk terbagi menjadi empat kategori:
· Risiko suku bunga (interest rate risk)
· Risiko posisi saham (equity position risk)
· Risiko nilai tukar valuta asing (foreign exchange risk)
· Risiko posisi komoditas (commodity position risk)
Perlu
dicatat bahwa masing-masing kateogri risiko pasar umum tersebut tidak
berdiri sendiri (mutually exclusive), melainkan satu risiko akan
berdampak pada risiko yang lain. Misalkan, perubahan pada suku bunga
akan berdampak pula pada perubahan posisi saham, dan seterusnya.
Risiko Suku Bunga
Risiko
suku bunga adalah potensi kerugian karena adanay perubahan pergerakan
arah suku bunga. Risiko ini akan mempengaruhi semua instrumen yang
menggunakan satu atau lebih yield curves untuk menghitung satu nilai
pasar. Timbulnya risiko suku bunga pada bank disebabkan oleh:
· Traded market risk
· Interest risk in the banking book
Traded market risk
Traded
market risk adalah risiko kerugian dari nilai investasi sehubungan
dengan pembelian dan penjualan instrumen keuangan di pasar secara
terus-menerus (trading) dengan tujuan mencari keuntungan. Traded market
risk erat kaitannya dengan tingkat risiko yang sengaja diambil untuk
memperoleh profit yang diinginkan.
Contoh: perdagangan
obligasi. Misalnya perdagangan obligasi pemerintah yang memiliki suku
bunga tetap 12% untuk jangka waktu tiga tahun. Nilai obligasi tersebut
akan terpengaruh oleh perubahan suku bunga. Jika suku bunga turun, nilai
obligasi akan naik. Jika suku bunga naik, nilai obligasi akan turun.
Keputusan pendanaan (funding decision) untuk pembelian obligasi tersebut, antara lain:
· Matched (obligasi dan pendanaan berdurasi sama)
· Long funding (pendanaan jangka panjang)
· Short funding (pendanaan jangka pendek)
Interest Rate Risk in the Banking Book
Risiko Operasional
Pengertian Risiko Operasional
Risiko
operasional didefenisikan dalam Basel II sebagai risiko kerugian yang
disebabkan oleh kegagalan atau ketidakcukupan karena tidak memadainya
proses internal, manusia, dan sistem atau dari kejadian eksternal.
Risiko operasional bukanlah risiko yang baru (sudah ada sejak bank mulai
beroperasi), dan juga bukan suatu risiko yang unik bagi bank. Risiko
ini akan memberikan dampak kepada seluruh bisnis bank karena risiko
operasional adalah risiko yang melekat di dalam bank ketika melakukan
proses operasional sehari-hari.
]
Risiko Kredit
Pengertian Risiko Kredit
Risiko
kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang
counterparty gagal memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Dengan
kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar
utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai
berikut:
· Debitur tidak dapat melunasi utangnya;
· Obligasi yang dibeli bank, tidak membayar kupon dan/atau pokok utang;
·
Terjadinya gagal bayar (non-performance) dari semua kewajiban
antara bank dengan pihak lain. Misalnya, kegagalan untuk membayar
kontrak derivatif.
Risiko Lainnya
Tiga risiko yang digolongkan dalam risiko lainnya (other risks) adalah:
· Risiko bisnis (business risk)
· Risiko strategis (strategic risk)
· Risiko reputasi (reputational risk)
Risiko Bisnis
Risiko
bisnis adalah risiko yang terkait dengan posisi kompetitif dan prospek
perkembangan bank dalam menghadapi pasar yang dinamis, penuh perubahan.
Risiko bisnis meliputi risiko yang terkait dengan prospek dari produk
dan layanan.
Sebagai contoh, misalnya sebuah bank (bank
A) berencana memperluas pangsa pasar (market share) bisnis kredt
perumahan dengna cara memberikan bunga kredit serendah mungkin dan
menawarkan kredit (loan-to-value) 100% dari nilai rumah (DP 0%). Jika
kemudian terjadi kenaikan tingkat suku bunga, beba nasabah membayar
bunga semakin berat. Bagi Bank A, hal ini berarti risiko akan meningkat,
karena akan banyak nasabah tidak mampu membayar utangnya. Akan terjadi
gagal bayar (default) yang menyebabkan kredit macet. Lebih dari itu,
jika harga properti jatuh, nilai jaminan berupa rumah bisa lebih rendah
daripada nilai sisa utang yang belum terbayar, yang akan memperbesar
terjadinya gagal bayar (default). Peningkatan suku bunga dan jatuhnya
harga properti dapat terjadi secara bersamaan sehingga kebijakan
manajemen Bank A jelas memiliki risiko yang tinggi. Jadi, meskipun Bank A
dapat meningkatkan jumlah nasabah kredit perumahan (pangsa pasar
meningkat), tetapi kualitas kredit amat rendah (risiko tinggi).
Risiko Strategis
Risiko
strategis adalah risiko yang terkait dengan keputusan bisnis jangka
panjang yang diambil oleh direksi bank. Risiko ini juga terkait dengan
implementasi dari strategi tersebut. Risiko strategis mirip dengan
risiko bisnis. Perbedaannya terletak pada durasi (jangka waktu) dan
tingkat kepentingan dari suatu keputusan (kebijakan) manajemen.
Risiko strategis umumnya terkait dengan kebijakan sebagai berikut:
· Investasi pada suatu bisnis;
· Jenis bisnis yang akan diakuisisi;
· Pemilihan bisnis yang akan dipangkas atau dijual;
Contoh,
sebuah Bank (Bank Midland) berencana memperluas bisnisnya, dengan masuk
ke bisnis kredit perumahan yang belum pernah dimilikinya, dengan cara
membeli (akuisisi) bank lain (Bank Crocker). Keputusan ini bersifat
strategis sehingga terkait risiko strategis karena keputusan ini
bersifat jangka panjang pada bisnis yang baru (belum berpengalaman)
serta terkait permasalahan akuisisi yang kompleks misalnya permasalahan
perbedaan budaya bisnis di kedua bank tersebut.
Risiko Reputasi
Risiko
reputasi adalah risiko terjadinya potensi kerusakan pada sebuah
perusahaan sebagai akibat dari opini publik yang negatif. Saat ini,
risiko reputasi memiliki dampak kerugian yang semakin besar Selain itu,
dampak risiko tersebut semakin cepat terjadi.
Meningkatnya risiko
reputasi disebabkan oleh pasar finansial telah bersifat global dan
trading dilakukan 24 jam sehari. Jadi, dampak kerusakan reputasi bank
internasional dapat terjadi setiap saat dan di mana pun berada karena
dapat dilaporkan secara real time di seluruh dunia.
Contoh, sebuah
bank yang terkena isu karena kekurangan dana dapat menyebabkan nasabah
panik dan melakukan pengambilan besar-besaran (rush). Sekarang ini,
risiko seperti ini dapat berdampak lebih cepat karena semakin mudahnya
penyebarluasan suatu isu tertentu lewat radio, televisi, dan internet.
Risiko
reputasi yang bermula dari sebuah bank bisa berkembang dan berdampak
luas pada industri perbankan secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena
tidak ada pengendalian risiko (risk controls) yang memadai dan juga
karena pemberitaan yang berlebihan.
Dalam Basel II,
risiko lainnya (other risk) termasuk dalam risiko yang harus dikelola
dan dihitung modal cadangannya masuk dalam penentuan perhitungan modal
berbasis risiko/risk-based capital). Perlu diingat bahwa risiko lainnya
(other risk) tidak termasuk dalam definisi Basel II tentang risiko
operasional.
Soal-Soal Latihan
1. BCBS untuk pertama kalinya menawarkan suatu metodologi standar perhitungan jumlah modal berbasis risiko untuk risiko:
Likuiditas
Pasar
Kredit
Operasional
2. BCBS didirikan pada tahun 1974 untuk:
Menfokuskan pada regulasi perbankan dan praktik supervisi
Menyusun Basel Accord
Menyusun Basel Accord I
Menyusun Basel Accord II
3. BCBS mempunyai tujuan utama dalam mengembangkan Basel I, yaitu:
Untuk memperkuat keandalan dan stabilitas dari sistem perbankan internasional
Menciptakan kerangka yang adil dalam mengukur kecukupan modal dari bank internasional
Berusaha
untuk mengembangkan kerangka yang dapat diimplementasikan secara
konsisten dengan tujuan mengurangi persaingan yang tidak seimbang antara
bank internasional
Semua benar
4. Basel I mengatur perhitungan modal minimum risiko kredit untuk:
on-balance sheet item
off-balance sheet item
derivatif
semua benar
5. Dalam Basel II terhadap metode pengukuran risiko kredit, yaitu sebanyak:
1 metode
2 metode
3 metode
4 metode
6. Risiko suku bunga dalam banking book diatur dalam:
Basel I
Market Risk Ammendment
Basel II
Semua salah
7. Risiko suku bnga dalam trading book diatur dalam:
Basel I (risiko kredit)
Basel II – Pilar 1
Basel II – Pilar 2
Basel II – Pilar 3
8. Value at Risk (VaR) pertama kali diperkenalkan dalam:
Basel I
Market Risk Ammendment
Basel II
Quantitative Impact Studies
9.
Pada perhitungan modal untuk kontrak derivatif, Basel I
mempertimbangkan nilai kontrak di masa depan (additional exposure). Hal
ini merupakan bagian dari metode:
Current Exposure Method (CEM)
Original Exposure Method (OEM)
Credit Risk Equivalance (CRE)
Semua benar
10. Dibandingkan Basel I, Basel II
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap risiko
Mencakup lebih banyak jenis risiko
Lebih fleksibel dalam memenuhi kebutuhan yang berbeda dari bank
Semua benar
11. Untuk menghitung modal minimum bagi kontrak derivatif, Basel I merekomendasikan:
Current Exposure Method (CEM)
Original Exposure Method (OEM)
Credit Risk Equivalance (CRE)
Semua benar
Jumat, 13 Mei 2016
Kamis, 05 Mei 2016
Menilai Calon Peminjam
Pinjaman uang dalam bentuk kredit adalah salah satu fasilitas yang
bank yang paling banyak dimanfaatkan orang. Namun, tak semua orang bisa
mendapatkannya. Berikut lima prinsip yang digunakan bank untuk menilai
kelayakan calon peminjam (debitur).
Dalam istilah perbankan dikenal istilah “5 C’s of Credit” atau Lima faktor penilaian bank terhadap calon nasabah atau peminjam.
Kelima faktor tersebut antara lain watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), kondisi/prospek usaha (condition) dan analisa agunan (collateral).
akan membantu Anda untuk mengetahui lebih rinci mengenai lima faktor penilaian bank terhadap calon nasabah, sebagai berikut:
1. Analisa watak (Character)
Pada tahap pertama, analisa watak (character) adalah penilaian prioritas utama untuk melihat unsur ‘mau’.
Karena pada dasarnya, orang membayar kembali angsuran kredit tergantung dua unsur yakni mau dan mampu.
Mampu membayar tetapi tidak mau, menyebabkan kredit bermasalah. Begitu juga halnya mau membayar tetapi tidak mampu. Intinya, pihak bank enggan jika berpotensi alami kredit macet.
Sebenarnya, analisa watak calon peminjam ini telah dinilai oleh pihak bank pada saat mengajukan kredit.
Hal itu bisa dilihat dari sikap kooperatif dengan memberikan informasi yang diperlukan oleh bank. Pihak bank bisa mencari informasi calon peminjam dari berbagai sumber, antara lain BI Checking, pelanggan/pesaing, dan masyarakat/sumber lain.
2. Analisa kemampuan (Capacity)
Faktor kedua adalah penilaian terhadap kemampuan dari calon peminjam. Setelah bank mendapatkan informasi mengenai calon peminjam, bank akan melakukan analisa kemampuan mengembalikan pinjaman.
Calon peminjam dari kalangan pengusaha biasanya lebih diprioritaskan. Adapun hal-hal yang dipertimbangkan dan diamati terdapat lima aspek adalah aspek manajemen, aspek produksi, aspek pemasaran, aspek SDM, dan aspek finansial.
Sedangkan untuk penilaian aspek finansial, digunakan untuk penilaian calon peminjam dari individual atau personal.
Aspek finansial memiliki tiga rasio keuangan yang utama yaitu profitabilitas (tingkat keuntungan), likuiditas (kemampuan usaha dalam memenuuhi kewajiban jangka pendek), dan solvabilitas (pemenuhan kewajiban jangak pendek dan panjang).
Contohnya, jika calon peminjam adalah pegawai BUMN/PNS/ASN, kemampuannya akan dilihat dari gaji atau penghasilan bulanannya.
Sedangkan untuk profesional, biasanya petugas bank akan melihat penghasilan minimal selama sebulan dari mutasi rekening.
3. Analisa modal (Capital)
Selain menganalisa kemampuan berdasarkan pendapatan yang masuk secara berkala (gaji, keuntungan, dan sebagainya), bank juga menganalisa modal calon peminjam.
Analisa modal ini untuk mengetahui ketergantungannya kepada pihak luar (eksternal). Nanti, akan terlihat seberapa besar hutang yang dimiliki calon peminjam. Jika hutangnya terlalu besar dianggap berisiko terhadap perubahan eksternal.
Sebab, bebannya akan lebih berat jika dibandingkan dengan kegiatan operasional usaha dibiayai lebih banyak dari modal sendiri.
4. Analisa kondisi (Condition)
Serupa dengan analisa modal, untuk analisa kondisi ini diperuntukan bagi calon peminjam berasal dari kalangan pengusaha.
Pihak bank akan memotret kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sektor-sektor tertentu serta mengamati bisnis apa yang telah jenuh atau masih berpotensi. Hal ini tentu akan mempengaruhi keputusan bank.
Bagi calon peminjam yang berasal dari pegawai maka bank akan melihat masa produktifnya, dedikasi, prestasi dan kemungkinan masih naik terus karir/jabatannya untuk memperlancar membayar kreditnya.
5. Analisa agunan (Collateral)
Terakhir adalah analisa agunan. Analisa ini menitik beratkan pada aset yang diserahkan kepada bank sebagai jaminan. Dalam istilah perbankan, agunan memiliki pengertian yang berbeda dengan jaminan.
Yang dinamakan jaminan adalah keseluruhan dari “5 C’s of Credit” di atas yang memberikan keyakinan bahwa pinjaman bersifat aman. Tidak hanya aman, bahkan proses pengembaliannya, lancar sesuai yang diperjanjikan.
Jadi, bila Anda melakukan pinjaman dengan cara mengagun, sebaiknya yang perlu Anda perhatikan adalah kelancaran dalam membayar cicilan dalam proses pengembaliannya.
Dengan begitu, pihak bank tidak akan meminta agunan tambahan berupa rumah tempat tinggal calon peminjam.
Selain melakukan penialaian terhadap kelima faktor tersebut, pihak bank juga akan meneliti identitas calon peminjam KPR seperti alamat tinggal, status kepegawaian apakah pengusaha atau profesional, lokasi bekerja, penghasilan sampingan, riwayat hubungan bisnis dengan bank, dan pengamatan terhadap mutasi trasaksi keuangannya.
Karena pihak bank juga memiliki alat deteksi kewajaran data, maka jangan coba-coba untuk membuat mutasi transaksi palsu, karena denga kualitas percetakan secanggih apapun pada akhirnya akan ketahuan. Dan pada akhirnya, pengajuan kredit Anda pun ditolak
Dalam istilah perbankan dikenal istilah “5 C’s of Credit” atau Lima faktor penilaian bank terhadap calon nasabah atau peminjam.
Kelima faktor tersebut antara lain watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), kondisi/prospek usaha (condition) dan analisa agunan (collateral).
akan membantu Anda untuk mengetahui lebih rinci mengenai lima faktor penilaian bank terhadap calon nasabah, sebagai berikut:
1. Analisa watak (Character)
Pada tahap pertama, analisa watak (character) adalah penilaian prioritas utama untuk melihat unsur ‘mau’.
Karena pada dasarnya, orang membayar kembali angsuran kredit tergantung dua unsur yakni mau dan mampu.
Mampu membayar tetapi tidak mau, menyebabkan kredit bermasalah. Begitu juga halnya mau membayar tetapi tidak mampu. Intinya, pihak bank enggan jika berpotensi alami kredit macet.
Sebenarnya, analisa watak calon peminjam ini telah dinilai oleh pihak bank pada saat mengajukan kredit.
Hal itu bisa dilihat dari sikap kooperatif dengan memberikan informasi yang diperlukan oleh bank. Pihak bank bisa mencari informasi calon peminjam dari berbagai sumber, antara lain BI Checking, pelanggan/pesaing, dan masyarakat/sumber lain.
2. Analisa kemampuan (Capacity)
Faktor kedua adalah penilaian terhadap kemampuan dari calon peminjam. Setelah bank mendapatkan informasi mengenai calon peminjam, bank akan melakukan analisa kemampuan mengembalikan pinjaman.
Calon peminjam dari kalangan pengusaha biasanya lebih diprioritaskan. Adapun hal-hal yang dipertimbangkan dan diamati terdapat lima aspek adalah aspek manajemen, aspek produksi, aspek pemasaran, aspek SDM, dan aspek finansial.
Sedangkan untuk penilaian aspek finansial, digunakan untuk penilaian calon peminjam dari individual atau personal.
Aspek finansial memiliki tiga rasio keuangan yang utama yaitu profitabilitas (tingkat keuntungan), likuiditas (kemampuan usaha dalam memenuuhi kewajiban jangka pendek), dan solvabilitas (pemenuhan kewajiban jangak pendek dan panjang).
Contohnya, jika calon peminjam adalah pegawai BUMN/PNS/ASN, kemampuannya akan dilihat dari gaji atau penghasilan bulanannya.
Sedangkan untuk profesional, biasanya petugas bank akan melihat penghasilan minimal selama sebulan dari mutasi rekening.
3. Analisa modal (Capital)
Selain menganalisa kemampuan berdasarkan pendapatan yang masuk secara berkala (gaji, keuntungan, dan sebagainya), bank juga menganalisa modal calon peminjam.
Analisa modal ini untuk mengetahui ketergantungannya kepada pihak luar (eksternal). Nanti, akan terlihat seberapa besar hutang yang dimiliki calon peminjam. Jika hutangnya terlalu besar dianggap berisiko terhadap perubahan eksternal.
Sebab, bebannya akan lebih berat jika dibandingkan dengan kegiatan operasional usaha dibiayai lebih banyak dari modal sendiri.
4. Analisa kondisi (Condition)
Serupa dengan analisa modal, untuk analisa kondisi ini diperuntukan bagi calon peminjam berasal dari kalangan pengusaha.
Pihak bank akan memotret kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sektor-sektor tertentu serta mengamati bisnis apa yang telah jenuh atau masih berpotensi. Hal ini tentu akan mempengaruhi keputusan bank.
Bagi calon peminjam yang berasal dari pegawai maka bank akan melihat masa produktifnya, dedikasi, prestasi dan kemungkinan masih naik terus karir/jabatannya untuk memperlancar membayar kreditnya.
5. Analisa agunan (Collateral)
Terakhir adalah analisa agunan. Analisa ini menitik beratkan pada aset yang diserahkan kepada bank sebagai jaminan. Dalam istilah perbankan, agunan memiliki pengertian yang berbeda dengan jaminan.
Yang dinamakan jaminan adalah keseluruhan dari “5 C’s of Credit” di atas yang memberikan keyakinan bahwa pinjaman bersifat aman. Tidak hanya aman, bahkan proses pengembaliannya, lancar sesuai yang diperjanjikan.
Jadi, bila Anda melakukan pinjaman dengan cara mengagun, sebaiknya yang perlu Anda perhatikan adalah kelancaran dalam membayar cicilan dalam proses pengembaliannya.
Dengan begitu, pihak bank tidak akan meminta agunan tambahan berupa rumah tempat tinggal calon peminjam.
Selain melakukan penialaian terhadap kelima faktor tersebut, pihak bank juga akan meneliti identitas calon peminjam KPR seperti alamat tinggal, status kepegawaian apakah pengusaha atau profesional, lokasi bekerja, penghasilan sampingan, riwayat hubungan bisnis dengan bank, dan pengamatan terhadap mutasi trasaksi keuangannya.
Karena pihak bank juga memiliki alat deteksi kewajaran data, maka jangan coba-coba untuk membuat mutasi transaksi palsu, karena denga kualitas percetakan secanggih apapun pada akhirnya akan ketahuan. Dan pada akhirnya, pengajuan kredit Anda pun ditolak
Rabu, 04 Mei 2016
Lakukan ini Sebelum membeli mobil bekas
Saat Anda berniat membeli mobil, salah
satu pilihannya adalah dengan membeli mobil bekas. Apalagi jika anggaran
yang Anda miliki masih belum cukup untuk meminang mobil baru impian
Anda. Dengan membeli mobil bekas, terkadang mobil impian generasi lama
masih menawarkan banderol harga yang tergolong 'ramah di kantong'. Meski
begitu, Anda tetap perlu memperhatikan beberapa hal agar tak terlena
dengan banderol harganya yang terjangkau sehingga melupakan kekurangan
yang berada di belakangnya.
Pasalnya, tidak sedikit pembeli mobil bekas
yang 'kecolongan', sehingga mereka menjadi lebih banyak mengeluarkan
dana guna menutupi perbaikan dan bila dihitung jumlahnya, bisa menjadi
lebih mahal dibandingkan meminang mobil kondisi baru dari dealer. Oleh
karenanya, saat Anda berburu mobil bekas idaman diperlukan
langkah-langkah dalam rangka mengantisipasi kejadian yang tidak
menguntungkan tersebut.
Seperti apakah langkah-langkah itu? Di bawah ini kami paparkan lebih detil:
1. Survei Pasaran Harga Mobil
Pertama, Anda membutuhkan survei pasar
untuk mengetahui mobil bekas jenis apa dan berapa harga pasaran mobil
yang akan Anda beli. Cara paling mudah untuk menggali informasi mendalam
tersebut adalah melalui survei kecil-kecilan. Sekarang, Anda sudah bisa
melakukan hal ini via metode konvensional yakni mencari iklan baris di
media cetak atau di situs-situs jual beli mobil yang mulai menjamur di
dunia maya.
Iklan baris mobil mempunyai data
tergolong singkat, pada umumnya hanya berisikan tipe mobil, tahun,
harga, kilometer dan nomor telepon yang bisa dihubungi dan tanpa
dilengkapi foto. Hal ini berbeda dengan situs jual beli mobil, karena
cukup memasukan dua atau tiga variabel pencarian, maka akan tersaji
hasilnya penelusurannya secara lengkap dan informatif. Tentunya, cara
ini lebih memudahkan Anda dan pastinya lebih praktis.
Yang perlu diperhatikan saat survei
adalah tahun pembuatan, kilometer yang sudah ditempuh dan perihal
harganya. Mengenai tahun pembuatan dan kilometer tentu berbanding lurus
dengan banderol yang ditawarkan, semakin jauh jarak tempuhnya dan tahun
pembuatannya sudah lama maka harganya akan lebih murah dibandingkan
mobil bekas dengan jarak tempuh pendek dan pembuatannya masih 1-2 tahun
ke belakang.
2. Perhatikan Lokasi Membeli Mobil
Usai mengetahui mobil apa yang diincar,
hal yang harus diperhatikan berikutnya adalah lokasi pembeliannya.
Sebabnya, transaksi pembelian mobil baru dengan mobil bekas itu berbeda,
dimana proses pembelian mobil baru via dealer sedangkan mobil bekas
transaksinya dengan pedagang atau penjual mobil bekas. Tercatat, ada
tiga jenis pedagang yakni pedagang rumahan, showroom mobil bekas dan
sentra mobil bekas. Ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangannya
sendiri baik untuk harga, pilihan stok sampai perihal garansi.
Pedagang rumahan biasanya memiliki 1-3
mobil bekas dengan harga yang bersaing. Namun di sini, jika Anda tidak
mendapatkan mobil yang diinginkan, sulit untuk mengetahui informasi
lebih banyak perihal mobil yang dicari. Berbeda halnya dengan pedagang showroom mobil
bekas umumnya. Mereka biasanya memiliki koleksi mobil bekas lebih
banyak dan tidak berdiri sendiri, sehingga jika mobil yang Anda cari
tidak ada, biasanya Anda bisa mendapatkan rujukan ke showroom lain.
Sedangkan, jika Anda datang ke sentra mobil bekas, disini tidak hanya
memiliki banyak pilihan mobil, namun juga menawarkan fasilitas tambahan
lainnya.
Di Tanah Air, beberapa merek mobil sudah
terintegrasi dengan sentra mobil bekasnya sendiri, seperti autoSAFE
untuk mobil Hyundai, Mercedes-Benz dengan ProMotor, CAR dan Mercindo,
Premium Selection khusus mobil bekas BMW,
sementara MINI dengan MINI Next. Disamping itu, terdapat pusat
penjualan mobil bekas yang heterogen seperti Mobil88 milik group Astra
International, yang Sebelumnya, hanya melayani merek Toyota dan
Daihatsu, tapi sekarang menyediakan beragam merek mobil bekas lainnya.
Setelah mengetahui tiga pilihan tadi,
silahkan Anda putuskan akan melakukan pembelian dimana. Mengingat, data
pasaran harga dan model yang diinginkan sudah Anda di tangan. Alangkah
baiknya, saat berkunjung, menanyakan kondisi mobil yang ditargetkan dan
mengapa harganya berada di atas atau bawah pasaran serta garansi apa
yang diberikan.
3. Test Drive Mobil
Melakukan test drive bukan hanya berlaku
ketika membeli mobil baru, karena mobil bekas pun perlu dicoba. Dengan
langkah ini, Anda bisa merasakan kondisi mesin dan sektor
pengendaliannya lebih variatif dibandingkan hanya menyalakan mesin
selama 30 menit dan mobil dalam posisi diam. Kekurangan yang umumnya
bisa terdeteksi adalah bagian kaki-kaki, pengendalian pada lingkar
kemudi dan performa yang dilontarkan dari depot tenaga.
Ketika mengujinya, silahkan ajukan
pertanyaan ke penjual yang ikut mendampingi agar dapat mengetahui
kekurangannya lebih pasti. Biasanya, kekurangan yang ditemukan bersama
ini bisa menjadi salah satu senjata dalam melakukan negosiasi harga.
Tapi perlu dipertimbangkan bila masalah tersebut berdampak besar,
misalnya kerusakan mesin yang memerlukan turun mesin atau sistem
transmisi otomatis yang kurang optimal sehingga perlu perbaikan atau
kaki kaki yang memerlukan penggantian suspensi karena pemakaian
sebelumnya.
Sambil mengendarainya, jangan lupa untuk
menjajal fasilitas atau fitur yang ada didalamnya, seperti pendingin
udara, peranti hiburan hingga indikator-indikator yang ada di panel
instrumen. Selain itu, jika memungkinkan, lakukan test-drive bersama
dengan kerabat atau keluarga, karena mereka dapat memberi masukkan
alternatif sebelum Anda memutuskan untuk membeli.
Usai menjajal mobil tersebut, ada
baiknya memeriksa kondisi bodi, kelistrikan dan bagian kolong mobil.
Bila ditemukan keanehan atau menimbulkan pertanyaan silahkan langsung
ditanyakan ke penjual, hal ini untuk mencegah membeli mobil yang pernah
terlibat kecelakaan berat, terendam banjir ataupun kerusakan mesin yang
parah.
4. Memeriksa Dokumen Mobil
Langkah berikutnya adalah legalitas
kepemilikan mobil yang terdiri dari STNK, BPKB dan faktur penjualan.
Mengapa ini menjadi penting? Agar mengetahui bila mobil yang tadi di
test jalan ini bukanlah hasil rampasan atau tindak pencurian. Luangkan
waktu juga untuk memeriksa nomor rangka, nomor mesin dan nomor polisi di
surat dengan yang di mobil.
Kemudian perhatikan di BPKB mengenai
status tangan ke berapa ketika kita akan balik nama. Apakah menjadi
tangan kedua, tangan ketiga atau tangan keempat. Perlu diingat bahwa
harga resalenya nanti akan semakin jatuh ketika mobil tersebut dijual
dalam kondisi tangan ketiga dan seterusnya.
Selain itu pada STNK pun harus
diperhatikan lembar pajak tahunannya apakah sudah terlambat atau
mendekati masa berlakunya habis. Pasalnya biaya pajak kendaraan bermotor
ini bisa jadi pengeluaran tambahan tak terduga kepada pembeli.
5. Catatan Perawatan Mobil
Setelah cocok saat di uji coba jalan dan
surat-surat tidak ada masalah, maka mobil bekas idaman pun harus
mempunyai data rekam jejak perawatan di bengkel resmi. Cara mudahnya
dengan melihat buku riwayat servis. Dari situ terlihat apa saja yang
sudah mengalami penggantian dan apa yang perlu diperbaiki ketika
membelinya.
Perlu ditambahkan, apabila mobil bekas
tersebut masih berada dibawah 3 tahun atau belum menempuh 100.000
kilometer, biasanya garansi dari produsen masih berlaku dengan syarat
sudah melakukan perawatan secara rutin dan ketentuan tidak melakukan
modifikasi atau perawatan diluar dari spesifikasi dan bengkel resmi.
Bila kurang yakin, Anda bisa mendatangi
langsung bengkel resmi dimana mobil bekas tersebut biasa melakukan
perawatan berkala. Sehingga terkuak semua informasi yang Anda inginkan
dan menekankan bahwa mobil bekas tersebut dalam keadaan 'sehat' untuk
dimiliki.
Jika dari kelima langkah diatas sudah
terpenuhi, maka perburuan mobil bekas idaman Anda sudah dapat dikatakan
selesai. Langkah selanjutnya adalah memutuskan untuk meminangnya
Langganan:
Postingan (Atom)