Warga penghuni apartemen Green Pramuka City, Cempaka Putih, Jakarta,
mempertanyakan keabsahan hak pengelolaan apartemen tersebut oleh PT
Mitra Investama Perdana.
Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni
Satuan Rumah Susun (P3SRS) Green Pramuka City Widodo Iswantoro
mengatakan, sesuai pasal 56 ayat 4 UU No 20 tahun 2011 tentang Rumah
Susun, pengelolaan rumah susun di DKI Jakarta harus dilakukan oleh
pengelola yang berbadan hukum dan mendapatkan izin usaha dari Gubernur
DKI Jakarta.
Selama ini, PT Mitra Investama Perdana memungut
Iuran Pengelolaan Lingungan (IPL), pemakaian listrik dan air, parkir dan
Pajak Bumi Bangunan (PBB) dari warga Green Pramuka City tanpa Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dari Kantor Pelayanan Pajak.
"Maka
sebagai hal yang wajar apabila warga Green Pramuka City mempertanyakan
keabsahan pengelolaan Green Pramuka City kepada PT Mitra Investama
Perdana," katanya melalui siaran pers, Minggu (28/2/2016).
Menurutnya,
dalam pertemuan antara P3SRS Green Pramuka City dengan PT Mitra
Investama Perdana pada Sabtu (27/2), Property Manager PT Mitra Investama
Perdana, Johanes E. Mediyoen belum bisa menunjukkan dokumen legalitas
yang menunjukkan bahwa pihaknya berwenang mengelola Green Pramuka City.
PT
Mitra Investama Perdana mengaku hanya bisa menunjukkan dokumen tersebut
pada saat serah terima dengan P3SRS yang definitif. PT Mitra Investama
Perdana tidak mengakui keberadaan P3SRS yang ada saat ini sebagai P3SRS
yang definitif.
PT Duta Paramindo Sejahtera selaku pengembang
Green Pramuka City memang belum memfasilitasi pembentukan P3SRS
sebagaimana diamanatkan UU sejak serah terima satuan rumah susun pertama
kali kepada pemilik pada 2012.
Padahal pada pasal 59 ayat 2 UU
Rumah Susun disebutkan bahwa masa transisi pengelolaan rumah susun milik
oleh pelaku pembangunan ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak
penyerahan pertama kali satuan rumah susun kepada pemilik.
Widodo
mengemukakan bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya
P3SRS paling lambat sebelum masa transisi tersebut berakhir. Namun,
karena hal tersebut tidak dilakukan, warga menyelenggarakan Musyawarah
Pembentukan P3SRS sendiri pada Oktober 2015.
Hal tersebut sesuai
dengan pasal 74 ayat 1 UU Rumh Susunbahwa pemilik satuan rumah susun
wajib membentuk P3SRS. "Seharusnya P3SRS lah yang berhak mengelola rumah
susun milik yang dalam teknisnya dapat membentuk atau menunjuk
pengelola sesuai pasal 75 ayat 2, 3 dan 4 UU Rumah Susun," katanya.
Menurutnya,
pihaknya telah memiliki akte notaris pendirian P3SRS, tetapi status
izin mengelola Green Pramuka City masih dalam proses.
Persyaratan-persyaratan yang diperlukan tidak mendapatkan dukungan dari
pelaku pembangunan dan Badan Pengelola Green Pramuka City.
Widodo
menyampaikan bahwa pihaknya berharap Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat dan Gubernur DKI Jakarta serta instansi terkait dapat
memperhatikan mengenai kepengelolaan Green Pramuka City.
"Masalah
ini tidak hanya terjadi di Green Pramuka City namun juga sebagian rumah
susun lainnya di DKI Jakarta.Kami berharap Badan Pengelola Green Pramuka
City tidak menjalankan pengelolaan Green Pramuka City secara sepihak
tanpa mengikuti peraturan yang tercantum dalam UU Rumah Susun," katanya.
Konflik
antara P3SRS Green Pramuka City dan PT Mitra Investama Perdana bermula
dari keputusan sepihak PT Mitra Investama Perdana menaikkan IPL dari
Rp13.000/m2/bulan menjadi Rp16.500/m2/bulan.
Nilai tersebut
tergolong mahal dibandingkan dengan IPL di rumah susun dan apartemen
lainnya, misalnya Kota Kasablanka, Puri Park View, Seasons City,
Kebagusan City dan Kalibata City.
Padahal, sejatinya Green Pramuka
City adalah rumah susun sederhana milik (rusunami) yang masuk dalam
program pemerintah, yaitu 1.000 menara rusunami. Meski saat ini
penjualan unit Green Pramuka City sudah ditambahkan biaya peningkatan
mutu, tetapi Green Pramuka City bukanlah rumah susun kelas atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar