Kadang orang lupa siapa “sang pemula”
yang berhasil mewujudkan angan-angan menjadi sebuah kenyataan, dari
sekadar fenomena menjadi sesuatu yang nyata.
Bisa ditebak,
sebagian dari kita lupa atau bahkan tidak pernah tahu nama Lalu
Langgalawe. Padahal, dialah pencetus calon kepala daerah dari jalur
independen.
Politik Tanah Air kembali dihangatkan sekaligus diingatkan oleh
istilah “calon independen” kepala daerah, baik untuk bupati/walikota
maupun gubernur.
Wa bil khusus untuk calon gubernur indenden Provinsi DKI Jakarta, ketika
Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok yang kini berstatus petahana, memproklamirkan diri sebagai calon gubernur independen untuk Pilkada 2017.
Dari namanya, Lalu Langgalawe, mungkin sudah bisa ditebak muasalnya. Ia merupakan
menak
Lombok sekaligus anggota DPRD Nusa Tenggara Barat yang berhasil
“memaksa” Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatannya, 23 Juli 2007. Lalu
mengajukan
judicial review terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah soal perlunya calon independen pada Pilkada.
MK
lalu mengabulkan gugatan Lalu. Melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 yang mengubah undang-undang 32/2004 sebelumnya, jalur independen
kepala daerah yang tidak tergantung partai politik dapat disahkan.
Irwandi Yusuf yang pernah menjadi Gubernur Aceh seharusnya orang
pertama yang berterima kasih kepada Lalu Langgalawe ini. Sebab, dialah
gubernur pertama dari jalur independen.
Nanti, siapapun di antara
Ahok,
Adhyaksa Dault,
Marco Kusumawijaya, atau siapapun nanti yang menjadi Gubernur DKI dari
jalur independen dan memenangi pertarungan Pilkada, ia juga harus
berterima kasih kepada Lalu.
Fajroel Rahman
cum suis pada tahun 2009 juga pernah mengajukan
judicial review
alias gugatan hukum terhadap Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden, khususnya pasal yang menegaskan bahwa calon presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Namun,
upaya Fajroel kandas. MK tidak mengabulkan permohonannya, sehingga
Pilpres 2014, 2019 dan boleh jadi seterusnya, belum dapat mengadopsi
calon presiden independen.
Padahal, seru juga seandainya ada capres independen. Apalagi kalau kemudian terpilih, Presiden benar-benar independen tanpa
cawe-cawe parpol yang merasa berjasa telah mengusungnya.
Sekadar memutar ingatan ke masa silam, tahun 1992 dan 1994 di Amerika
Serikat pengusaha kaya dari Texas, Ross Perot, menjadi legenda
tersendiri setelah menyatakan diri sebagai calon independen, menantang
calon yang diusung dua partai politik besar, meski berakhir dengan
kegagalan.
Tidak mengapa, setidak-tidaknya itu menunjukkan
instrumen demokrasi berjalan baik di negeri “mbah”-nya demokrasi, di
mana hak bersuara tidak melulu hegemoni partai politik, tetapi
perorangan juga.
Jalur independen adalah penyempurna demokrasi. Seorang calon dari
jalur independen, entah karena percaya diri tinggi karena merasa tokoh
panutan, pengusaha tajir seperti Perot, atau karena beken di mata
masyarakat seperti artis, bisa bertempur di arena Pilkada tanpa harus
menggantungkan diri kepada kebaikan partai politik.
Adakah
kebaikan partai politik yang gratis? Hampir pasti tidak ada. Semua
berakhir dengan pamrih. Kalau tidak uang muka, uang panjar, uang
sosialisasi atau apapun namanya, setidak-tidaknya bisa ikut tanam saham
jika sang calon jadi kepala daerah.
Saham yang ditanam itu kelak berbuah proyek, jabatan, atau posisi
penting yang basah. Mana ada posisi penting yang kering. Ini belum
termasuk mahar sesungguhnya yang tentu jauh lebih mahal dibanding
down payment itu tadi.
Maka calon yang berkhidmat pada kebaikan partai siap-siaplah “diporotin”, meminjam anak-anak ABG sekarang. Siap
kere kalau gagal
nyalon, apalagi kalah setelah
nyalon. Tidak jarang tersiar kabar, banyak politisi stres, depresi bahkan sakit jiwa setelah gagal
nyalon.
Nah, jalur independen boleh dibilang memutus rantai politik fulus
sekaligus mengobrak-abrik tatanan yang sudah karatan ini, di mana calon
harus dari partai politik.
Beda dengan memilih calon anggota
parlemen yang tentu harus memilih partai politik. Akan tetapi, memilih
calon bupati/walikota, gubernur dan bahkan Presiden RI, mestinya tidak
harus.
Perorangan pun, seperti yang dilakukan
Ahok,
Adhyaksa atau Marco untuk Gubernur DKI di Pilkada 2017 kelak, mestinya
dimungkinkan. Keberadaan jalur independen dijamin undang-undang
kok!
Undang-undang mengamanatkan, tanpa dukungan partai politik seorang
calon dari jalur independen hanya memerlukan persyaratan yang ditetapkan
Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Putusan MK.
Untuk calon
Gubernur DKI Jakarta, misalnya, komisi menetapkan angka minimal 523.210
alias 7,5 persen dari jumlah pemilih DKI yang diperkirakan sebanyak 7
juta. Angka yang ditetapkan itu diwujudkan lewat pengumpulan fotokopi
kartu tanda penduduk yang terverifikasi.
Jumlah ini jauh lebih
ringan dari persyaratan sebelumnya, yakni 7,5 persen dari 10 juta
penduduk DKI atau harus mengumpulkan fotokopi KTP sebanyak 750.000.
Dari tiga nama;
Ahok, Adyaksa dan Marco, sebagaimana kabar yang tersiar di media massa dan media sosial, baru
Ahok yang melalui relawan “Teman
Ahok”, telah berhasil mengumpulkan KTP DKI Jakarta melampaui persyaratan yang diminta komisi.
Relawan
ini konon bertekad mengumpulkan bukan hanya 750.000 fotokopi KTP,
tetapi mengumpulkan minimal 1 juta fotokopi KTP. Jumlah ini dianggap
aman karena adanya kekhawatiran beberapa fotokopi KTP digugurkan KPU
Daerah saat dilakukan verifikasi nanti.
Fenomena calon independen ini sangat menarik, layak masuk bilik
kampus dan ruang-ruang akademi untuk dikaji, khususnya calon gubernur
independen DKI Jakarta.
Mudah dipahami, DKI Jakarta adalah
miniatur Indonesia di mana 70 persen perekonomian negeri sering
disebut-sebut berputar di wilayah seluas “hanya” 740 kilometer persegi.
Bandingkan dengan wilayah provinsi tetangga, Jawa Barat, yang memiliki
luas 35.000 kilometer persegi atau 47 kali luas DKI Jakarta.
Menjadi Gubernur DKI Jakarta boleh jadi lebih bergengsi dari sekadar
Ketua DPR RI. Ia menjadi “Presiden RI Kecil” atau “Rajanya Gubernur
se-Indonesia” yang mengelola secuail daerah khusus Ibukota.
Bukan
daerah yang kaya raya karena sumber daya alamnya, melainkan karena
wajah ekonomi Indonesia ada di sini. Jakarta adalah etalase ekonomi
Indonesia yang tercermin dari berdirinya gedung perkantoran, hotel dan
kantor pemerintahan pusat, yang semua ada di wilayah yang secuil ini.
Itu
sebabnya, menjadi Gubernur DKI adalah cita-cita sekaligus ambisi;
perorangan dalam hal ini independen maupun kelompok, yaitu partai
politik.
Calon independen juga sekaligus menyiratkan, sesungguhnya mesin
politik tidak terlalu penting dan dominan dalam perhelatan Pilkada.
Pengaruh, ketokohan,
track record, dan prestasi yang melekat pada diri si calon, akan menjadi penentu. Irwandi sudah membuktikannya di Aceh.
Barangkali salah satu dari tiga nama ini;
Ahok,
Marco dan Adhyaksa, akan membuktikan keampuhan “jalur murah” ini jika
berhasil menjadi Gubernur DKI berikutnya di tahun 2017 nanti.
Selamat datang gubernur independen DKI Jakarta!