Praktik pemerasan dan suap-menyuap dalam perkara pidana narkoba telah
menjadi rahasia umum. Kejahatan yang sebetulnya ada, tapi berselubung
sengap si korban. Sulit diungkap.
Tapi Anto, nama samaran, menolak bungkam. Melalui sebuah surat yang
tersimpan dalam memori ponselnya, pria berkacamata itu ingin membuktikan
adanya upaya mempermainkan hukum.
Surat berkop instansi penegak hukum itu dikirim kakaknya, Bambang,
juga nama samaran, dari dalam penjara. Bambang adalah narapidana kasus
narkoba. Surat terlihat resmi, lengkap dengan nomor, tanggal surat, cap,
dan tanda tangan pejabat tinggi di instansi tersebut. Sebuah surat
penting tentang rekomendasi pemberian hak remisi.
Tidak ada yang salah dengan surat tersebut. Hanya saja, surat itu
didapatkan dengan cara ‘membeli’. Berstatus terpidana kasus narkoba yang
divonis lebih dari lima tahun, Bambang kehilangan hak remisi. Pria itu
rela membayar puluhan juta rupiah demi selembar surat yang bisa menjadi
‘voucher diskon’ hukuman penjaranya.
“Kita buat surat (rekomendasi), biar dapat remisi, bayar,” ungkap Anto mewakili Bambang saat ditemui belum lama ini.
Jual beli surat remisi, hanya satu dari sekian banyak ‘fasilitas’
yang ditawarkan aparat penegak hukum dalam perkara pidana narkoba.
Fasilitas yang disediakan tergantung kebutuhan ‘kliennya’.
Sebelumnya, Bambang pernah mengalami proses panjang pemerasan, atau
bisa juga dikatakan suap, saat ditangkap pada awal 2000-an lantaran
ketahuan memiliki narkoba.
Saat di-BAP, Bambang dijerat Pasal 82 UU Narkotika dengan ancaman
hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Pasal yang biasanya digunakan untuk menjerat para pengedar atau bandar
narkoba. Polisi lalu menyodorkan tawaran mengganti Pasal 82 dengan Pasal
72 yang lebih ringan ancaman hukumannya. Negosiasi pun dimulai.
Tawar-menawar harga berhenti di angka dua puluhan juta rupiah.
“Keluarga saya memang proaktif menghubungi polisi. Tapi memang ada negosiasi di sana. Ngurangin pasal doang, bayar dua puluhan juta. Jadi udah bikin BAP, BAP-nya satu halaman diambil, diganti. Udah cuma gitu aja, men-delete,” tutur Anto yang ikut mengurus kasus kakaknya ini.
Tidak hanya sampai di situ, keluarga Bambang dipaksa mengeluarkan
uang untuk membayar ‘fasilitas’ lainnya selama proses persidangan. Kali
ini, membayar uang jasa buat jaksa. Anto tidak tahu persis jasa apa yang
diberikan oleh aparat kejaksaan itu. Yang pasti, setiap kali sidang,
keluarganya harus mengeluarkan ratusan ribu rupiah.
Jaksa lantas menuntut Bambang lima tahun penjara, setengah dari
ancaman maksimal pidana penjara dalam Pasal 78 UU Narkotika. Majelis
hakim kemudian menjatuhkan vonis lebih ringan, setelah keluarga Bambang
memyogok ‘wakil Tuhan’ itu puluhan juta rupiah.
“Total habis 65 juta (rupiah) buat ngurus kasus kakak saya ini. Ibu saya sampai jual rumah,” ujar Anto.
Anto sendiri pernah ditangkap polisi pada 2008 karena narkoba. Ia
ditangkap bersama dua orang temannya. Anto merasa lebih beruntung
lantaran dilepas setelah semalam berada di kantor polisi. Tentu tidak
bebas begitu saja. Ada harga yang harus dibayar.
“Awalnya, minta 30 juta setiap orang, tapi sama kakak teman saya di-nego, jadinya 10 juta (rupiah) masing-masing,” tutur Anto.
Anto dan kawan-kawan pun lepas dari jeratan hukum.
Pola Pemerasan
“Kalau mau ubah pasal ya bisa aja. Angkanya ada di 15 juta. Kalau kamu mau ‘86’ biar bisa turun di jalan juga bisa aja. Kira-kira 150-an lah untuk sendiri, kalau mau berdua dengan temen kamu yang barengan ketangkep kemaren ya jadi 300-an,” ujarnya tanpa tedeng aling-aling.
“Maksudnya turun di jalan itu gimana ya, Pak?’ Rajata sedikit bingung.
“Yaaah, saat kamu diantarkan menuju lembaga rehab di Lido itu nanti
kamu bisa turun di jalan. Bisa pulang. Bebas,” petugas itu menjelaskan
lebih detail kepada Rajatta yang masih terbingung-bingung.
Percakapan antara Rajatta dan petugas berseragam cokelat itu dikutip dari buku Dari Balik Lima Jeruji terbitan SvaTantra, 2015. Rajatta adalah terpidana kasus narkoba yang ditangkap sekitar 2014 di Jakarta.
Buku tersebut menceritakan kesaksian sejumlah konsumen narkoba yang
pernah dipidana. Kisah di dalamnya nyata, ditulis Suksma Ratri
berdasarkan hasil penelitian Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
yang memotret sisi gelap peradilan Indonesia. Kisah yang dituangkan
dalam buku itu menguatkan terjadinya praktik pemerasan dan suap dalam
perkara narkoba.
Perputaran uang dari bisnis narkotika memang menggiurkan. Disinyalir
mencapai trilunan rupiah. Menjadikan bisnis ini lahan basah bagi
siapapun, tak terkecuali aparat penegak hukum, yang berniat mengeruk
kekayaan. Modus operandi yang dilakukan oknum aparat bermacam-macam,
mulai dari suap, pemerasan, hingga kriminalisasi konsumen narkoba yang
tengah menjalani terapi metadon.
Beragam pola pemerasan terjadi di setiap tahapan proses hukum.
Penangkapan dan penyidikan di kepolisian, dakwaan dan tuntutan di
kejaksaan, vonis hakim, bahkan kehidupan di penjara yang melibatkan
petugas lapas. Tak ketinggalan, pemerasan dalam proses rekomendasi
rehabilitasi oleh oknum tim asesmen terpadu.
Sesuai Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No. 11
Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/ atau Terdakwa
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga
Rehabilitasi, Tim Asesmen Terpadu adalah tim yang terdiri dari tim
dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat
berdasarkan surat keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan
Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/
Kota.
Saat konsumen narkoba ditangkap, oknum polisi kerap membuka peluang
negosiasi. Biasanya, diawali dengan menjerat konsumen dengan pasal yang
berat ancaman hukumannya. Kemudian, diajukan tawaran mengganti pasal
dengan harga tertentu.
Pasal ‘berat’ yang digunakan lazimnya Pasal 111 dan 112 tentang
kepemilikan narkoba. Pasal penggantinya adalah Pasal 127 tentang
penyalah guna narkoba yang ancaman hukumannya lebih ringan. Pasal ini
juga kerap dijadikan alat negosiasi untuk rehabilitasi.
Di tahap penyidikan ini, tawaran ‘86’ yang disodorkan antara lain bebas tanpa di-BAP, rehabilitasi, dan ubah pasal.
Di tahap dakwaan dan tuntutan, ubah pasal jadi alat negosiasi jaksa
untuk memeras konsumen narkoba. Sedangkan vonis ringan atau
rehabilitasi, menjadi motif hakim memeras atau menerima suap dari
terdakwa kasus narkoba.
Ketika masuk penjara, para konsumen dipaksa membeli sejumlah
fasilitas yang semestinya dibayar negara. Begitu pula asesmen. Penilaian
gratis guna mendapatkan rekomendasi rehabilitasi ini malah dijadikan
alat pemerasan.
“Di dalam prosesnya, mulai dari asesmen, mereka (tim asesmen) datang,
sampai ke layanan rehabilitasi, sampai pascarehabilitasi, tidak
dipungut biaya sama sekali, satu perak pun. Kalau ada yang biasa mungut
di situ, laporkan! Pasti itu pungli,” kata Juru Bicara BNN,
Sulistiandriantmoko saat ditemui di kantornya, pertengahan Oktober lalu.
Tidak mudah menghitung jumlah uang yang terakumulasi dalam bisnis
jual beli perangkat hukum ini. Namun dari pengakuan korban, biasanya
uang yang harus dikeluarkan mencapai belasan juta hingga ratusan juta
rupiah.
Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis hasil Survei Nasional
Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014, yang antara lain
menghitung biaya konsekuensi konsumsi narkoba per orang per tahun.
Survei itu mengungkap besaran uang yang keluar saat konsumen berurusan
dengan aparat penegak hukum, termasuk peluang oknum aparat penegak hukum
melakukan pemerasan.
Ketika
penyalah guna tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum, maka ada
proses panjang yang harus dilalui sampai keluarnya keputusan di tingkat
pengadilan. Dalam proses tersebut, terbuka peluang berbagai oknum aparat
penegak hukum meminta sejumlah uang untuk menghentikan kasus atau
mengurangi masa hukuman. Median biaya yang dikeluarkan oleh responden
berkisar antara 6,5 juta sampai 10 juta rupiah. Nilai maksimal tertinggi
yang dinyatakan responden adalah 80 juta rupiah per orang.
Di
penjara merupakan salah satu tempat yang potensial terjadinya transaksi
keuangan dari para oknum. Para penyalah guna ketika berurusan selama di
penjara harus mengeluarkan median biaya antara 7 juta sampai 10 juta
rupiah per orang per tahun.” (Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014, halaman 42)
Di 2014, estimasi kerugian biaya ekonomi akibat narkoba diperkirakan
mencapai 63,1 triliun rupiah. Jumlah tersebut sekitar 2 kali lipat
dibandingkan tahun 2008, atau naik sekitar 31 persen dibandingkan tahun
2011. Di 2017, angkanya meningkat menjadi 84,7 triliun rupiah. Di
tahun tersebut, biaya pribadi yang dikeluarkan untuk berurusan dengan
aparat hukum mencapai 1,8 triliun rupiah dan penjara 2 triliun rupiah.
Kepala Subdit Bidang Penelitian Puslitdatin BNN, Siti Nurlela
menyebutkan, biaya yang dikeluarkan para pengguna narkoba di poin
berurusan dengan aparat hukum dalam survei 2017, tidak dibeberkan secara
detail. Namun, ia tidak memungkiri ada biaya ‘membayar’ aparat penegak
hukum yang masuk dalam biaya pribadi pengguna.
“Ada (yang mengaku diperas), tapi kita tidak bisa menggeneralisir
pemerasan sekian persen dari itu. Ada yang mengaku (diperas), kita tidak
menutup itu tidak terjadi. Ada yang mengaku. Tapi, pertanyaan itu tidak
khusus (soal) sogok ini sogok ono. Kita hanya (menghitung) berapa budget yang dikeluarkan saat terkena hukum,” kata Siti saat ditemui di kantornya, Kamis 18 Oktober 2018.
Survei yang berjudul Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Penyalahguna 2017 ini menggunakan metode purposive sampling dengan
jumlah sampel 1.702 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 21 persen
responden mengaku pernah ditangkap oleh aparat penegak hukum karena
kasus narkoba.
Tidak Terendus
Meski praktik pemerasan dan suap dalam pemidanaan narkoba terbukti ada, namun lembaga penegak hukum terkait membantahnya.
Sulistiandriantmoko menyatakan praktik ‘kongkalingkong’ akan sulit
dilakukan di BNN dengan alasan mereka berhadapan dengan bandar-bandar
narkoba kelas kakap yang sulit diampuni. Sementara, jumlah personel BNN
sedikit, hingga mudah dipantau.
Menurutnya, penyalahgunaan wewenang lebih mungkin terjadi di tingkat
penyidik yang berhadapan langsung dengan para penyalah guna narkoba.
“Kita tidak berkaitan dengan penyalah guna. Penyimpangan-penyimpangan
ini kan lebih dekat kepada penyalah guna, yang minta direhabilitasi dan
seterusnya. Sementara, kita tidak pernah berhubungan dengan itu. Kita
berhubungan dengan bandar-bandar, gak ada accuse, gak
ada rehab bandar-bandar itu. Kalau saya interpretasi, itu angka-angka
yang tipis-tipis lah, barang buktinya sedikit, gak mau ditahan, minta
direhabilitasi, dan itu levelnya di level kepolisian,” ujar Sulis.
Tapi, Humas Polda Jabar, Kombes Polisi Trunoyudho Wisnu Andiko
mengaku belum menemukan praktik pemerasan atau suap terkait pidana
narkoba di lembaganya. Sejauh ini, katanya, belum pernah ada laporan.
“Kalau masalah internal tentang itu kita tidak ada data. Kalaupun ada, ngobrol-nya
harus per data. Salah satu yang kita buktikan adanya suatu penyimpangan
itu, baik penyimpangan kode etik, disiplin, bahkan pidana, harus ada
dasar laporannya. Sejauh ini kita belum (menerima laporan),” ujar
Trunoyudho.
Sementara itu, menanggapi soal dugaan praktik jual beli remisi dan
fasilitas di lapas, Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM, Sri
Puguh Budi Utami menyatakan, tidak mudah melakukan kongkalingkong di
lingkungan lapas. Sebab, setiap proses pengajuan hak-hak narapidana,
misalnya pengajuan hak remisi, harus melalui Dirjen Pemasyarakatan.
Selain itu, setiap data warga binaan telah masuk dalam Sistem Database
Pemasyarakatan, sehingga terpantau secara online.
Meski demikian, Sri mengatakan, tidak menutup kemungkinan terjadi ‘main mata’ antara petugas dengan narapidana.
“Karena (setiap pengajuan hak narapidana) melalui kita, di mana
kongkalingkongnya? Tidak mungkin itu terjadi, kecuali dipalsukan. Tapi,
saya belum pernah menemukan kondisi seperti itu. Di lapas itu seru
banget. Antar mereka juga saling memonitor. Jadi, kalau terjadi
pemalsuan, pasti akan muncul ke permukaan, sangat kecil kemungkinan
untuk itu. Kongkalikong, pemalsuan, tapi pada akhirnya ditolak oleh
sistem, gak juga mendapatkan hak yang bersangkutan,” tutur Sri.
Kejahatan Sistemis
Kriminolog, Yesmil Anwar menilai, pemerasan dalam pidana narkoba
merupakan kejahatan sistemis. Artinya, suatu kejahatan yang bertalian
dan berhubungan satu sama lain dengan sistem atau susunan yang
beraturan. Ini tak mengherankan, mengingat penyalahgunaan narkotika
masuk dalam extraordinary crime dan secara bisnis sangat menggiurkan bagi orang yang terlibat di dalamnya.
“Kejahatan (pemerasan dan suap) ini sudah dari hulu sampai hilir.
Persoalan ini kita bicarakan lama. Dan ini melibatkan berbagai pihak,
termasuk juga tentu saja dalam hal penegakan hukumnya,” ujar Yesmil.
Menurut Yesmil, dalam penegakan hukum peradilan narkotika terjadi
faktor kriminogen yang memberikan ruang terjadinya bentuk-bentuk
kejahatan, seperti pemerasan dan suap-menyuap.
“Yang terpenting lagi bahwa kejahatan ini kan memberikan banyak
peluang, uang yang beredar itu sangat banyak dan penjahatnya sudah
memiliiki sistem tertentu di dalam menangani ini. Jadi kalau dia
katakan, dia diperas, menurut hemat saya, semuanya bagian dari sistem
itu sendiri,” kata dosen di Fakultas Hukum Unpad ini.
Parahnya, kejahatan ini dilanggengkan oleh sikap masyarakat yang
permisif dan enggan melapor. Ditambah lagi, budaya hukum belum tumbuh
dengan baik.
Yesmil tidak sepakat jika pemerasan terjadi akibat rendahnya kesejahteraan aparat penegak hukum.
“Gajinya sudah lebih tinggi dari saya sebagai dosen, mereka
insentifnya banyak, tapi faktor mental menurut saya,” kata Yesmil yang
aktif mendampingi konsumen narkoba yang menjadi korban pemerasan aparat.
Yesmil menuturkan, ulah nakal aparat penegak hukum ini terjadi
lantaran lemahnya koordinasi, harmonisasi, dan sinkronisasi antara
sistem peradilan pidana, yang terdiri dari perundang-undangan, penegak
hukum, fasilitas penegakan hukum, kesadaran hukum masyarakat, dan budaya
hukum. Dari lima unsur itu, sistem perundang-undangan dinilai sudah
kuat, sedangkan unsur penegak hukum menjadi prioritas pertama yang perlu
diperbaiki.
Mengapa pidana narkoba ini menjadi lahan basah suap dan pemerasan bagi aparat?
Manajer Media dan Data Rumah Cemara, Patri Handoyo menjawab, akar
masalahnya ada di aturan pidana narkoba. Saat semua narkoba dilarang dan
konsumennya dituduh sebagai pelaku kriminal, maka semakin subur pasar
gelap narkoba, sekaligus pula menyuburkan jumlah konsumen narkoba yang
dijerat pidana. Kondisi ini melemahkan posisi konsumen sehingga rentan
dijadikan objek pemerasan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan
dan kekuasaan.
“Selama ini, puluhan ribu tersangka kasus narkoba inilah yang jadi objek pemerasan, karena penerapan hukum pidana yang gak
rasional,” ujar Patri yang juga pendiri Rumah Cemara, komunitas yang
aktif meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV-AIDS, konsumen
narkoba, serta kaum marginal ini.
Seharusnya, lanjut Patri, hukum pidana narkoba mulai ditinggalkan dan
beralih ke pengaturan atau pengelolaan narkoba. Langkah itu diyakini
Patri bisa memberantas pasar gelap narkoba, seperti yang terjadi di
Kanada dan Portugal.
“Sediakan narkoba di layanan-layanan kesehatan misalnya,
atau dekriminalkan (hapuskan hukum pidana bagi) kepemilikan narkoba
untuk konsumsi pribadi dengan batas tertentu. Saat pendekatannya bukan
pidana, penjara bukan lagi jadi tujuan regulasinya, maka polisi gak perlu repot ngurus kepemilikan narkoba,” kata Patri.
Pengawasan Lemah
Kompolnas, sebagai lembaga pengawas kepolisian, mengaku belum
menerima laporan terkait praktik pemerasan yang dilakukan aparat. Sejauh
ini laporan terkait kasus narkoba yang diterima Kompolnas, adalah
diskresi polisi dalam menangkap keliru karena berdasarkan pelapor barang
bukti tidak ditemukan.
“Tetapi laporan terkait kasus-kasus narkoba ke Kompolnas memang
sedikit. Untuk laporan ‘86’, jual beli pasal, dan jual beli vonis, tidak
ada laporan masyarakat kepada kami. Meskipun hal-hal tersebut mungkin
saja dilakukan,” kata anggota Kompolnas, Poengky Indarti.
Walaupun tercium indikasi pemerasan, tapi Poengky mengaku sulit
melakukan tindakan. Pasalnya, tugas dan wewenang lembaganya dalam hal
pengawasan dibatasi.
“Tercium juga (praktik pemerasan). Malah ada yang diduga jual beli
barang bukti. Tapi kami kan tidak ada kewenangan investigasi. Kalau ada
kasus dugaan pemerasan seperti itu kan yang memproses adalah pengawas
internal yaitu Itwasum atau Itwasda dan Propam,” ujar pendiri Imparsial
ini.
Poengky tidak membantah soal sikap pasif Kompolnas dalam melakukan
pengawasan, yang hanya menunggu laporan dari masyarakat. Bagaimanapun
hal itu mengacu pada Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi
Kepolisian Nasional. Karena itu, ia meminta masyarakat lebih aktif
melaporkan kasus pemerasan yang dialaminya.
“Kompolnas hanya bisa menyarankan yang merasa diperas untuk lapor
Propam dan Kompolnas. Jika tidak ada laporan resmi, akan sulit bagi
Kompolnas untuk bertindak. Kami tidak bisa menindaklanjuti, rumor atau
berita yang tidak dilengkapi alat bukti,” katanya.
Masyarakat yang merasa diperas oleh oknum polisi, kata Poengky, bisa melapor melalui e–mail ke kabareskrim2018@gmail.com, akun Facebook Bareskrim 2018, Instagram @bareskrim2018, dan Twitter @bareskrim2018.
“Kalau ke Kompolnas, silakan kirim ke
secretariat@kompolnas.go.id. Pengaduan harus disertai
scan (pindaian) atau foto identitas serta kronologi dan bukti-bukti yang mendukung,” pesan Poengky