Ini bukan perkara baru. Sengketa klaim antara perusahaan asuransi jiwa
dengan nasabahnya bak kisah klasik yang kerap berulang. Persoalan yang
muncul nyaris serupa: pihak asuransi menolak klaim biaya perawatan
nasabahnya.
Ironi industri asuransi mulai dari kekecewaan para nasabah hingga yang
berujung kematian. Apalagi mengingat betapa gigihnya para agen asuransi
saat menawarkan produknya, yang penuh janji manis soal kemudahan klaim.
Berangkat dari kasus klaim PT Asuransi Allianz Life Indonesia yang
berujung pidana dan penetapan tersangka dua petingginya, kami pun
mencoba menelusuri persoalan yang mendasari munculnya sengketa klaim
asuransi jiwa.
Baca: Geger Klaim Asuransi
Konon, seorang karyawan asuransi dianggap berprestasi bila berhasil
mencari nasabah baru. Selain itu, khusus di bagian klaim, prestasi
diukur dari keberhasilan menggugurkan pengajuan klaim nasabah.
Memang belum ada fakta keras soal target pengguguran klaim yang mesti
dilakukan seorang karyawan asuransi. Namun, seorang pengacara nasabah
asuransi, Alvin Lim, mengungkapkan secara blakblakan hasil penyelidikan
dari beberapa kasus sengketa klaim yang pernah ditanganinya.
“Klaim itu ada target. Jadi, misalnya masuk (pengajuan) klaim Rp100
miliar. Kalau diterima semua, si manajer klaim mungkin tidak bertahan
lama di sana. Selain itu, target bonus mereka juga dilihat dari performa
berapa banyak (klaim) yang bisa ditolak,” ujar Alvin saat berbincang
dengan Metrotvnews.com di Jakarta, Senin 2 Oktober 2017.
Jadi, ia melanjutkan, kalau klaim bisa ditolak, kenapa tidak? Sementara
sisanya, yang tidak bisa ditolak, diupayakan pembayarannya diperlambat.
“Ini bicara cashflow. Bila dalam satu waktu premi masuk lebih
kecil daripada pengajuan klaim, tentu memperlambat pembayaran (klaim)
menjadi sebuah strategi,” ucapnya.
Perilaku semacam ini tampak wajar dalam sebuah bisnis. Pemasukan
diupayakan sebesar mungkin. Adapun sebaliknya, beban pengeluaran ditekan
sekecil-kecilnya. Semua dilakukan atas nama menjaga “kesehatan"
perusahaan.
Pembayaran klaim termasuk dalam kategori beban perusahaan jika merujuk laporan keuangan perusahaan asuransi.
Nah, persoalan ini turut menjadi sorotan Warsito Sanyoto selaku
pengacara yang juga sebagai investigator klaim sejumlah perusahaan
asuransi ternama. "Ya, perusahaan asuransi tentu menghendaki adanya claim ratio serendah mungkin dibanding premi yang masuk," kata Warsito kepada Metrotvnews.com, Selasa 3 Oktober 2017.
Namun, menurut Warsito, seharusnya pengajuan klaim tidak boleh dihindari
apabila klaim itu benar dan terbukti terjadi suatu kerugian. Walaupun
begitu, sebagai seorang claim investigator yang dibayar oleh
perusahaan-perusahaan asuransi, Warsito berusaha menjelaskan bahwa ia
masih tetap mampu bekerja secara profesional.
"Meski perusahaan asuransi yang membayar saya, tapi penyelidikan saya
atas sebuah pengajuan klaim tetap objektif, tidak memihak, baik kepada
perusahaan maupun tertanggung (nasabah)," paparnya.
Jangka Waktu
Setiap penolakan pengajuan klaim oleh perusahaan asuransi ternyata tidak
melulu sah dan benar. Dalam beberapa kasus, kami menemukan kejanggalan
yang mengisyaratkan penolakan secara halus.
Modus yang kerap dipakai pun beragam. Salah satunya memanfaatkan perjanjian di polis asuransi.
Umumnya, nasabah atau pihak pengaju asuransi enggan membaca secara rinci
kesepakatan dalam polis yang diberikan seorang agen asuransi. Alasan
yang muncul adalah kepercayaan.
Ambil misal, persoalan batas waktu proses pencairan klaim. Hal ini tidak
di atur di dalam polis. Biasanya dialami pemegang polis asuransi yang
bersifat reimburse atau penggantian pembayaran.
Artinya, setelah nasabah mengajukan klaim, pihak asuransi berhak
membayarnya kapanpun - tanpa batas waktu. Boleh jadi ini terkait claim ratio tadi, memperlambat pembayaran klaim saat premi asuransi yang masuk kecil.
Sebaliknya, nasabah diberikan batas waktu untuk mengajukan klaim sejak
dirinya dirawat. Bila dalam tenggat waktu tertentu klaim tidak diajukan,
maka dianggap tidak mengajukan klaim.
Begitu pula soal pembayaran premi. Bila nasabah atau tertanggung
mengalami keterlambatan dalam membayar premi, dalam jangka waktu
tertentu, polisnya bisa ditutup sepihak oleh perusahaan asuransi.
Mantan Ketua Dewan Asuransi yang juga Dosen Asuransi dan Manajemen
Risiko di Universitas Indonesia, Hotbonar Sinaga, menyatakan perjanjian
dasar di sebuah perusahaan asuransi seharusnya dibuat sederhana.
Pasalnya, banyak agen asuransi yang tidak menjelaskan detail ihwal
perjanjiannya kepada calon tertanggung.
"Sebaiknya tidak boleh lagi (perjanjian dalam polis) hurufnya
kecil-kecil. Kalau hurufnya masih kecil-kecil dan agen tidak menjelaskan
detail, laporkan ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," cetusnya saat
ditemui di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 30 September 2017.
Syarat tambahan
Modus lainnya adalah meminta dokumen secara terus menerus, sebagai
syarat pencairan klaim. Alvin Lim mengatakan, cara ini banyak ditemukan
di sejumlah sengketa klaim.
"Seperti (kasus) Allianz yang meminta surat klarifikasi. Terus menerus
meminta keterangan medis lanjutan dari dokter, sehingga dokter yang
merawat (nasabah) marah dan tidak mau mengisi," kata Alvin.
Saat dokumen tidak lengkap, ditambah habisnya tenggat waktu pengajuan
klaim, maka perusahaan asuransi memiliki alasan yang cukup untuk
menggugurkan klaim si nasabah. "Parahnya lagi, syarat (surat klarifikasi
dan rekam medis) yang diminta itu tidak tertera dalam prosedur
pengajuan klaim di dalam buku polis," ungkap Alvin.
Sepatutnya, menurut Alvin, perusahaan asuransi sudah mengetahui bahwa catatan medis lengkap itu sifatnya rahasia.
Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008. Dokter yang menangani pasien atau pihak rumah
sakit hanya bisa memberikan ringkasan atau resume medis. Dilarang
mengeluarkan catatan lengkap riwayat pasien alias rekam medis.
“Soal ketentuan catatan medis lengkap, yang saya tahu cuma Allianz saja
yang memberlakukan. Mereka sudah menerapkannya sejak lama,” papar Alvin.
Alhasil, dari sederet sengketa klaim berbasis permintaan rekam medis
ini, tersisa satu perntanyaan besar. Apakah pihak asuransi tidak
mempercayai dokter dari rumah sakit yang menjadi rekanannya?
Opini dokter
Dalam sebuah perusahaan asuransi, biasanya ada seorang dokter yang
bertugas memeriksa atau memverifikasi pengajuan klaim dari nasabah.
Kepentingannya, agar perusahaan mengetahui kebenaran penyakit dan
perawatan nasabahnya.
Nah, yang jadi masalah, sering kali dokter verifikator di perusahaan
asuransi atau sering disebut dokter klaim, menegasikan keputusan dokter
di rumah sakit. Pendapat kedua dokter ini kerap berbeda.
Sebagai contoh, seorang dokter rumah sakit merujuk pasiennya untuk
dirawat. Pada sisi lain, dokter klaim berdasarkan resume medis
menganggapnya tidak perlu dirawat. Dengan begitu perusahaan asuransi
tidak perlu menanggung biayanya.
"Itu karena dokter klaim hanya melihat diagnosa atau resume, tidak melihat kondisi pasiennya," kata Alvin.
Situasi semacam ini ditemukan dalam kasus penolakan klaim nasabah Allianz, mendiang Belki Sukiyo.
Belki adalah penerima manfaat Hospital Surgical, Hospital Income, juga Critical Income. Belki dirawat di RS Siloam selama empat bulan. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp6 miliar lebih.
Karena klaimnya ditolak, maka keluarga memutuskan merawat Belki di
rumah. Pada Juli 2017, Belki pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Tidak ada yang salah dengan penolakan klaim itu. Sebab, semasa Belki
sakit, dokter belum mengetahui persis penyakit apa yang dideritanya.
Hasil pemeriksaan laboratorium pun tidak menunjukkan adanya kelainan.
Tapi, kondisi fisik Belki terus menurun dan melemah, bahkan hilang
kesadaran. Selama empat bulan itulah Belki dipantau dan diberikan
perawatan intensif oleh rumah sakit.
"Bagi dokter rumah sakit, walau tak terdiagnosa (penyakitnya), mereka
mempertimbangkan kondisi fisik. Bila mengkhawatirkan, pasien dirujuk
untuk dirawat. Sementara dokter klaim hanya melihat hasil laboratorium
saja. Ya, keduanya adalah dokter, tapi kepentingannya beda," kata Alvin.
Namun, setelah kisah wafatnya Belki ini menyeruak di media sosial, pihak
Allianz pun menyetujui untuk membayarkan salah satu klaim mendiang
Belki, sebesar Rp135 juta.
"Semoga klaim lainnya juga segera dibayarkan," cetus Alvin.
Tak terdaftar
Tak hanya Allianz, Alvin mengungkapkan bahwa sengketa klaim juga menimpa
banyak perusahaan asuransi yang lain. Termasuk persoalan "kesaktian"
dokter klaim.
"Ada sejumlah nasabah berbagai perusahaan asuransi yang saya dampingi
soal ini. Sedikitnya 15 klien yang kasusnya sedang berjalan," kata
Alvin.
Dari informasi ini, kami pun mencoba memeriksa status dokter klaim di
sejumlah perusahaan asuransi, melalui aplikasi cek dokter di situs resmi
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Hasilnya, kebanyakan dokter klaim di beberapa perusahaan asuransi
statusnya tidak terdaftar alias tidak memiliki Surat Tanda Registrasi
(STR) dari KKI. Meskipun ada yang terdaftar, namun STR-nya banyak yang
sudah kedaluwarsa.
Aturan mainnya, tanpa STR, kompetensi seorang dokter patut
dipertanyakan. Sudah dipastikan juga dokter tersebut tidak memiliki
rekomendasi profesi, termasuk Surat Izin Praktek (SIP).
Satu di antaranya adalah Manager Claim Allianz Indonesia yang kini
berstatus tersangka, dr. Yuliana Firmansyah. Dari hasil pencarian, nama
Yuliana dinyatakan tidak terdaftar di KKI.
Sayangnya, setelah beberapa kali menghubungi pihak Allianz, kami belum
mendapatkan respon terkait hal ini. Termasuk pesan singkat kepada Head
of Corporate Communications Allianz Indonesia, Adrian DW, tidak
berbalas.
Bila dokter klaim di perusahaan asuransi tidak memiliki STR, maka mahfum
jika kompetensinya dipertanyakan saat memutuskan seorang pasien berhak
atau tidak untuk dirawat di rumah sakit.
Soal STR dan SIP, pemerintah sudah mengaturnya dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Merujuk pada Pasal 78 UU Praktik Kedokteran, setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanankepada masyarakat, seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
yang telah memiliki STR atau SIP, dapat dipidana penjara paling lama
lima tahun, atau denda paling banyak Rp150 juta.
Sementara bagi perusahaan atau seseorang yang dengan sengaja
mempekerjakannya, berdasarkan Pasal 80, dipidana penjara paling lama 10
tahun atau denda paling banyak Rp300 juta.
Perlu revisi
Lantas, bagaimana pendapat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait status "bodong" dokter klaim ini?
Ketua PB IDI Daeng M. Faqih tidak melihatnya sebagai pelanggaran hukum.
Alasannya, belum ada aturan khusus untuk dokter verifikator alias dokter
klaim di perusahaan asuransi.
Menurut Daeng, dokter klaim bukan dokter yang sifatnya terapis,
mendiagnosa dan mengambil tindakan. Dokter klaim adalah dokter umum yang
dikelaskan sebagai dokter penilai.
Biasanya, bila berhadapan dengan penyakit yang spesifik atau lebih
kompleks, dokter klaim meminta pendapat dokter spesialis lain, atau
bertanya ke profesi, dalam hal ini IDI. Setelah itu barulah dia
mengambil keputusan untuk perusahaan asuransi tempat dia bekerja.
Tetapi, kata Daeng, secara substansi, karena dokter klaim turut
menentukan apakah seseorang dirawat atau tidak dalam tindakan medis
selanjutnya, sepatutnya terdaftar KKI.
"Sebab, kalau teregistrasi pasti terjaga kualitas, mutu, dan
pengetahuannya. Ini terkait juga kepercayaan masyarakat," tutur Daeng
saat kami hubungi, Sabtu, 7 Oktober 2017.
Dia pun mengakui, perbedaan pendapat antara dokter di rumah sakit dengan
dokter klaim masih sering terjadi. “Makanya, saya pribadi setuju,
standarisasi dokter verifikator perlu diperbaiki, agar penilaian yang
dikeluarkan untuk perusahaannya (asuransi) berbasis standar kedokteran
terkini.”
IDI berharap, dokter yang bekerja sebagai verifikator terdaftar di KKI
dan memiliki rekomendasi profesi, sebagaimana laiknya seorang dokter.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan asuransi lebih elok bila mempekerjakan
dokter yang terdaftar