Jadi teringat cerita lama. Ketika
papa mengajak kami bersaudara ke Restoran Padang terkenal, ia berkata,
"Pilih satu-satu lauknya ya..", dan kami pun memilih satu dari sekian
banyak lauk enak yang terhidang di meja. Yang dibanyakin cuman kuahnya.
Kami tahu bahwa kami bukan orang
kaya. Kami juga tahu bahwa papa masih berusaha membahagiakan kami bersaudara
dengan mimpi indah, makan di restoran.
Meski begitu, kami juga tahu
bahwa ia mengajarkan kami untuk realistis. Sesuai apa yang ada, tidak perlu
berlebih jika memang tidak ada.
Realistis, itulah yang diajarkan
kepada kami dan itulah yang banyak hilang sekarang ini. Banyak orang tertipu janji manis
dengan menanam uang di sebuah koperasi yang menjanjikan pendapatan 30 persen
sebulan. Orang menjual semua hartanya hanya untuk sebuah mimpi dan akhirnya
mereka terpuruk bermandikan hutang dan janji manis.
Ada lagi yang tertipu dengan pakaian agama, menjanjikan keuntungan dunia berlipat ganda. Janji manis ditambah aksesori agamis, membuat banyak orang kembali lupa diri. Akhirnya mereka menangis kembali terperosok dalam lubang hitam kebangkrutan dan hutang yang sulit ditanggung anak istrinya.
Semakin kesini, semakin banyak
ulama yang menjanjikan surga. Seakan cukup dengan ritual, banyak orang terperdaya
memborong ayat yang dijual. Sehingga mereka mabuk dan lupa bahwa Nabinya
diturunkan untuk memperbaiki ahlak manusia. Seluruh manusia, bukan hanya mereka
yang seiman.
Kita sudah lupa arti kata
realistis. Melihat sesuatu dengan apa adanya dan mengembangkan apa yang sudah
kita punya.
Puluhan tahun kita mengalami
banyak calon pejabat mengumbar janji manis, bahkan lebih manis dari sesendok
bubuk kopi ditambah seember gula. Banyak orang yang percaya, dan sampai sekarang
mereka masih hidup begitu-begitu saja.
Yang di pinggiran kali, masih
berkutat dengan taik mengambang dan malaria. Yang tinggal di pinggiran rel
kereta, bermimpi indah karena rumah kardus mereka mau dicat warna-warna.
Mereka selama ini lebih baik
membeli mimpi dengan menjual suara, karena berfikir realistis bahwa tidak akan
ada orang yang bisa memperbaiki taraf hidup mereka.
Sampai disini banyak yang
bingung, "Apakah saya realistis atau apatis?".
Dan lucunya, ketika ada seseorang
yang realistis yang ingin membantu memperbaiki taraf hidup mereka, mengangkat
harkat dan derajat mereka sebagai manusia, mereka menolak. Alasannya sederhana,
karena tidak seagama.
Mereka kembali pada pekerjaan
lama, menelan janji-janji manis dan mimpi yang melambung bahwa satu waktu akan
ada yang menolong mereka. Tuhan harus menyediakan orang yang seiman dengan
mereka. Kalau tidak bisa, paksa Dia.
Aku mengambil lauk yang kusuka,
sepotong rendang dan kubanjiri dengan kuah gule ayam yang terlihat nikmat. Mata
kecilku menatap wajah ayahku yang tersenyum senang karena kami semua mengerti.
Aku berjanji saat itu, "Satu
saat nanti, jika aku besar dan mapan nanti, papa boleh mengambil semua lauk di
meja.." Dan ketika aku besar dan mapan, kuajak ayahku yang sudah menua
makan di tempat yang sama, dan ia hanya mengambil satu lauk saja.