Jati (Tectona grandis) merupakan salah satu spesies pohon komersial yang memiliki nilai jual tinggi karena telah dikenal sebagai bahan baku plywood,
lantai, furnitur dan kerajinan. Di pulau Jawa, sebagian besar pohon
jati diproduksi oleh Perhutani. Sekitar 512 ribu m3 kayu jati dihasilkan
oleh Perhutani pada tahun 2007 dan sebanyak 200 ribu m3 kayu jati
kualitas menengah telah dijual oleh perusahaan ini.
Selain Perhutani, ribuan petani juga menanam jati meskipun total
produksinya tidak terdokumentasi dengan baik. Sensus perdagangan
nasional tahun 2003 menunjukkan bahwa 80 juta pohon jati berada di lahan
rakyat dan 25% diantaranya siap tebang.
Kabupaten Gunung Kidul memiliki potensi yang sangat besar dalam industri
kayu jati. Sebanyak 1.130.290 batang atau sekitar 50,8 m3 kayu jati
dari Gunung Kidul diangkut dalam bentuk kayu bulat ke wilayah lain,
sebagian besar ke Jepara untuk industri furnitur dan ke Rembang untuk
bahan baku kapal.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan DI Yogyakarta tahun 2007,
menunjukkan luas hutan jati rakyat DIY sekitar 58.486,6 hektar dan
separuhnya (29.230 hektar) berada di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.
Luasan tersebut ditanami sekitar 19.211.715 batang pohon jati yang
merupakan 70,4% dari seluruh pohon jati di DIY.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu jati di Indonesia yang cukup besar,
petani jati menghadapi berbagai kendala dalam mengelola tanaman jatinya
agar menguntungkan. Kendala-kendala tersebut antara lain: (1) teknik
silvikultur yang kurang memadai sehingga menghasilkan kualitas kayu yang
rendah; (2) kurangnya modal sehingga petani mengalami kesulitan jika
harus menunggu rotasi pertumbuhan pohon; (3)
ketidakpahaman akan informasi pasar yang menyebabkan harga jual rendah
Petani sering menjadi korban biaya transaksi yang seharusnya ditanggung
oleh pedagang; (4) kebijakan pemerintah yang belum
berpihak pada petani. Misalnya saja, prosedur perijinan penebangan dan
pengiriman yang dirancang untuk perusahaan kayu berskala besar
diaplikasikan pada petani kecil, sehingga menimbulkan biaya tak terduga.
Memahami alur jual beli kayu jati di tingkat petani
Petani umumnya menjual kayu jati dalam bentuk pohon yang
masih berdiri di lahan mereka. Informasi tentang jati yang akan dijual
diperoleh para pedagang kayu dari perantara yang disebut sebagai makelar
kayu. Setelah terdapat kesepakatan harga dan pedagang kayu membayar
kepada makelar kayu, penebangan dilakukan oleh pedagang kayu jati.
Sistem seperti ini memunculkan risiko yang cukup besar bagi petani dan
pedagang. Petani kehilangan kesempatan mendapatkan harga jual yang lebih
tinggi karena pembeli tidak melihat langsung ukuran pohon yang akan
dijual, sedangkan pedagang berspekulasi dengan marjin keuntungannya
karena pembayaran harus dilunasi sebelum pohon ditebang. Sementara itu
pedagang masih harus menanggung biaya pengurusan dokumen yang tidak
selalu sama di tiap desa serta biaya transaksi tak terduga lainnya.
Dalam kajian alur pemasaran kayu jati, beberapa peran penting pedagang diidentifikasi sebagai berikut:
- Sebagai fasilitator pencarian, bersama dengan makelar pedagang
mencari pohon jati, untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan pasar.
Pedagang akan melakukan survey ke lokasi pohon yang siap ditebang untuk
menaksir harga pohon dan bernegosiasi dengan petani. Di samping itu,
pedagang juga menghubungi para calon pembeli untuk mendapatkan informasi
mengenai kebutuhan kayu mereka dan harga penawaran pembeliannya. Dalam
hal ini pedagang benar-benar menjadi perantara produsen dan konsumen
kayu jati dengan tujuan memperoleh keuntungan dari transaksi jual beli
ini;
- sebagai penyortir yaitu memilih kayu yang sesuai dengan keinginan
konsumen. Pedagang mengumpulkan kayu sesuai dengan tingkat kualitas
yang sama untuk dijual ke konsumennya;
- sebagai pendata contact person dalam saluran pemasaran. Petani
tidak perlu menghubungi satu persatu pembeli kayu jati glondongan,
tetapi cukup menghubungi makelar dan pedagang kayu, selanjutnya
pedaganglah yang akan melakukan pencarian pembeli. Begitu juga
sebaliknya, jika konsumen membutuhkan kayu maka pedagang akan
dihubungi untuk mencarikan kayu yang sesuai dengan keinginannya.
Bilamana dilihat dari sisi nilai, ketiga peran tersebut merupakan
kegiatan yang meningkatkan nilai produk (value-added activities) yang
menyertai proses transformasi bentuk pohon ke kayu glondongan. Ketiga
peran pedagang di atas melibatkan berbagai komponen biaya dengan
bermacam-macam interaksi, yaitu komponen penguasaan fisik, kepemilikan,
promosi, negosiasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan pembayaran yang
semuanya memiliki beban biaya masing-masing. Di pihak pedagang, pada
setiap alur pemasaran ada biaya yang dikeluarkan yang bersifat sunk cost
atau tidak dapat dipulihkan lagi karena harga pohon ditawar, disepakati
dan dilunasi sebelum pohon ditebang. Harga jual ke konsumen disesuaikan
dengan penawaran pembeli karena konsumen pasti tidak akan mau menaikkan
harga beli dan pedagang juga tidak bisa banyak menurunkan harga jual.
Dalam hal ini muncullah biaya yang menjadi beban pedagang kayu.
Beberapa kebijakan yang berimplikasi pada biaya tak terduga
Permasalahan lain adalah perbedaan biaya transaksi, misalnya
ijin tebang berbeda antar satu desa dengan desa lainnya, ada desa yang
mengikuti aturan dari dinas ada pula yang menggunakan aturan sendiri.
Hal ini mengakibatkan pembebanan biaya tinggi pada pedagang.
Biaya-biaya yang rentan ini masih ditambah biaya tak terduga lain yang
meresahkan para pedagang, misalnya jika harus mengirim kayu ke luar
propinsi.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk mengangkut hasil hutan yang
berasal dari hutan hak masih dipegang teguh oleh kebanyakan pedagang
kayu. Sebenarnya peraturan tersebut telah diubah melalui Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2007 untuk pengangkutan hasil hutan
kayu yang berasal dari hutan hak (lahan milik) masyarakat. Perubahan
tersebut mulai berlaku 24 Agustus 2007 terutama Pasal 1g yang menyatakan
bahwa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan yang
menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan
kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat.
Perubahan PERMENHUT tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kayu
dari lahan rakyat cukup berkembang dan banyak diminati oleh industri
kayu serta memiliki potensi pasar yang besar. Namun yang terjadi di
lapangan, banyak kendaraan angkutan kayu diberhentikan oleh aparat
berwenang yang menganggap pengangkutan tersebut menyalahi aturan
pengangkutan. Mereka berpegang pada peraturan yang melindungi
kelestarian kawasan hutan tehadap perilaku manusia yang berkaitan dengan
pembalakan liar (illegal logging) yang diatur pada pasal 50 UU Nomor 41
Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
UU. Terutama, pasal 78 ayat 1-15 yang mengatur tentang ketentuan pidana
terhadap segala pelanggaran dari ketentuan pasal 50 tersebut.
Kebijakan kehutanan dalam Permenhut No. 55 tahun 2006, yang memberikan
kewenangan kepada perusahaan kayu untuk mengeluarkan dokumen Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), ternyata juga memiliki celah
untuk berkembangnya modus baru pembalakan liar yang melibatkan
masyarakat. Ada kelemahan dalam kebijakan tersebut, yaitu kesulitan
pengawasan apabila ada kayu liar yang dibawa masyarakat untuk disisipkan
di penampungan kayu dan disahkan agar menjadi legal. Pihak berwenang
mensinyalir bahwa sudah banyak cukong kayu menggunakan modus baru dengan
mendanai masyarakat untuk membabat hutan. Untuk mencegah terjadinya hal
ini, pihak berwenang menggunakan peraturan tentang pembalakan liar agar
dapat menghentikan dan menginterogasi pengangkutan kayu ke luar
propinsi. Jika pengangkut bisa menunjukkan keabsahan dokumen serta
peraturan yang lebih detil maka pihak berwenang akan sepenuhnya
membebaskan jalannya pengangkutan atau membebaskan dengan syarat. Syarat
inilah yang menambah deretan biaya tak terduga yang dibebankan kepada
pedagang.
Beberapa pembelajaran
Pembelajaran dari tumpang tindih peraturan dan permasalahan
pemasaran kayu jati di Gunung Kidul mengarahkan kepada beberapa
rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
- Pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pengembangan masyarakat perlu
memberikan perhatian terhadap upaya penguatan kapasitas petani jati dan
pedagang perantara kayu jati dalam strategi pemasaran kayu mereka.
Perhatian khusus perlu difokuskan pada penerapan sistem kelas mutu dan
pengukuran kayu bulat pada tingkat kebun/desa. Pemerintah daerah dapat
memanfaatkan sistem penilaian pohon yang diusulkan oleh kegiatan ICRAF
di Kabupaten Gunung Kidul untuk mengurangi risiko kerugian petani maupun
pedagang dalam proses jual beli kayu jati.
- Pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pengembangan masyarakat perlu
memfasilitasi petani dengan menyediakan sistem informasi pasar kayu jati
yang lebih baik, seperti antara lain melalui siaran radio untuk
memantau perkembangan harga serta kualitas kayu jati yang dibutuhkan
industri kayu.
- Pemerintah daerah perlu memfasilitasi kelompok-kelompok tani dengan
menghubungkan mereka ke jaringan industri kayu, seperti melalui
pengembangan kontrak jangka panjang antara kelompok petani jati dengan
perusahaan mebel bersertifikat.
- Pemerintah pusat dan daerah perlu menyederhanakan aturan-aturan
dalam perdagangan kayu (SKSKB dan SKSHH) yang berpeluang meningkatkan
biaya transaksi dalam perdagangan kayu. Disarankan agar aturan tata
usaha kayu jati dimasukkan dalam skema Surat Keterangan Asal Usul (SKAU)
kayu.
Diharapkan terdapat titik temu antara pembuat kebijakan dan pihak-pihak
terkait dengan pemasaran kayu jati agar bisa menghasilkan solusi yang
saling menguntungkan untuk menghidupkan mesin pendapatan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengelola pohon jati.